Aku memacu motor di tengah guyuran hujan melewati Jalan Raya Kali Malang. Jalanan begitu padat. Macet. Setiba di pertigaan Halim, kami melihat bus-bus angkutan yang biasa mangkal dekal halte Halim diparkir dekat perempatan. Wew, ternyata halte sampai terowongan arah Cawang kebanjiran. Memang daerah itu langganan banjir tiap tahun.
Adikku, Merlin, mengeluh. Memang ia tak berharap lagi bus jemputannya datang. Ia ingin naik mobil omprengan yang bisa membawanya ke kantornya di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Mobil omprengan biasanya mangkal di halte Halim.
Aku memenuhi keinginannya. Bila tidak bisa melewati jalan yang tergenang air itu, cobalah jalan di sebelahnya yang berlawanan arah menuju Cawang. Semoga mobil omprengan masih ada di Cawang.
Ternyata kondisinya sama. Jalan Mayjen D.I. Panjaitan menuju Cawang juga tergenang air. Akhirnya kami berbalik arah, menuju Prumpung. Semoga ada mukjizat bus jemputan terlambat datang atau pulang saja. Belum sampai Penas, jalanan macet total. Mobil, bus, dan motor berhenti bergerak terhadang banjir. Di sisi kanan Jalan Mayjen D.I. Panjaitan, para pengendara motor memarkir kendaraannya. Istirahat menunggu hujan reda. Aku, mengikuti pengendara lain, menaikkan motor ke bahu trotoar dan bergabung dengan mereka. Kami istirahat di Kebun Nanas itu. Lumayan, kondisinya cukup nyaman. Tidak kehujanan karena kami tepat berada di bawah jembatan layang tol Ir. Wijoto Wiyono yang terbentang antara Prumpung hingga Halim.
Merlin menghubungi Bu Maria, rekan kerjanya, lewat telepon seluler. Ternyata ibu itu sedang berada di atas bus jemputan yang terjebak banjir di Penas. Syukurlah, Merlin masih bisa tersenyum di tengah kecemasan tidak sampai kantor untuk melakukan banyak aktivitas yang sudah direncanakan dan berharap bus itu melewatinya. Aku berpikir saat itu, kalau bus tersebut lewat Kebun Nanas dan menjemput Merlin, pastilah ia tidak akan bisa melewati Halim. Halim satu-satunya jalan menuju Cawang yang jalannya tertutup banjir.
Sebuah bus dari kejauhan tampak mendekat. Merlin berharap itu bus jemputannya. Ternyata tidak. Bus Patas P2 jurusan Kota-Kampung Rambutan yang lewat. Kupikir itu bus akan berhenti sebelum halte Halim. Padahal rute sebenarnya lewat Terminal Kampung Melayu dan Jalan Otto Iskandar Dinata (Otista). Kemungkinan besar jalan itu kebanjiran. Usaha yang sia-sia.
Merlin kecewa. Ia menghubungi lagi Bu Maria. Itu ibu bilang ia sedang berada di atas tol Tanjung Priok. Berarti itu bus berbalik arah. Tiada lagi harapan. Kami pulang dan Merlin menelan kecewa. Hujan terus menderas.
Ulang tahun
Sebenarnya ini hari ulang tahunnya ke-25. Dua kue Karamel yang Ibu buat kemarin siang sengaja ia bawa untuk dinikmati bersama teman-teman kantornya. Terpaksalah itu kue jadi dinikmati sendiri, karena besok Sabtu libur kerja.
Aku bilang padanya, ini berkah ulang tahun. Berkah karena hujan sepanjang hari adalah anugerah Tuhan. Tapi sayangnya ini hari bagi sebagian besar orang tidak menjadi berkah, malah musibah.
Sejak semalam Jakarta diguyur hujan deras. Televisi memberitakan sejumlah daerah di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi terendam air. Yang parah Ciledug, malam-malam air setinggi satu meter merendam wilayah yang masuk Provinsi Banten itu. Tidak, tidak, ada yang lebih parah tertimpa lebih dulu, yaitu kawasan sekitar Kampung Melayu yang dilalui Sungai Ciliwung. Penduduk yang tinggal di bantaran kali mengungsi. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Hari ini Jakarta memang dikepung banjir. Sejumlah ruas jalan ibu kota terendam. Pengendara motor diperbolehkan menggunakan jalan tol pada beberapa ruas jalan tol.
Di Tangerang ketinggian air menjangkau atap rumah. Kompleks perumahan di Jakarta dan Bekasi kebanjiran. Jalan-jalan di Depok terendam. Kali Pesanggrahan yang meliuk-liuk di atas tanah Bintaro meluap, melahap perkampungan dan jalan yang di lewatinya. Ini mengingatkan kita pada banjir yang menenggelamkan Jakarta pada 2002.
Meski belum terdengar banjir hari ini merenggut korban jiwa, aku berpikir bencana ini bagian dari musibah yang mendera negeri ini berturut-turut. Tadi Khatib Jumat di rumahku mengutip sebuah ayat Qur’an, bahwa musibah akibat kerusakan di darat, laut, dan udara merupakan ulah manusia. Musibah di tiga ruang itu sudah terjadi di awal tahun ini. Korbannya massal. Pertama tenggelamnya Kapal Senopati Nusantara di perairan Laut Jawa pada akhir Desember 2006 yang mengangkut 600-an penumpang, kedua pada 1 Januari 2007 pesawat Adam Air jatuh di perairan Sulawesi yang membawa 102 orang, kemudian anjloknya Kereta Api Bengawan yang menelan beberapa korban jiwa. Gempa, Tsunami, longsor, dan lumpur daftar musibah sebelumnya.
Lantas apa yang bisa menerangkan ini semua? Apakah kita masih bisa menjawab santai dengan mengatakan ini semata ujian dari Tuhan? Kalangan agama mengatakan tragedi tsunami 26 Desember 2006 yang menewaskan ratusan ribu jiwa warga Aceh dan Sumatera Utara, serta sejumlah negara di kawasan Samudera Hindia, sebagai ujian dari Tuhan. Saat meletus Gunung Merapi membayang kemudian disusul gempa di Yogyakarta dan Pantai Pangandaran, masih santer terdengar “suara-suara menghibur” bahwa Tuhan masih menyayangi rakyat negeri ini dengan mengirim musibah. Namun ketika tragedi lumpur di Sidoarjo muncul, lalu berturut-turut aneka bencana menerpa, “suara-suara bernada menghibur” itu makin lenyap. Kenapa?
Adakah ilmu yang bisa menerangkan semua kejadian ini?
Mati listrik
Lebih tujuh jam listrik padam di sekitar tempat tinggalku Duren Sawit. Mulai pukul 15.05 dan berakhir pukul 22.15. Efeknya sangat terasa ketika hari beranjak malam. Sepanjang jalan aku dan adikku pergi ke Mal Citra depan Pasar Klender, jalanan gelap; Duren Sawit, Buaran, Pondok Kopi, Klender. Lampu lalu lintas di perempatan depan Apotek Swadaya yang menghubungkan Jalan Raya Pendidikan dan Jalan Kolonel Sugiyono mati. Lampu penerangan di jalan raya pun tidak ada yang hidup. Cahaya hanya berasal dari sorot lampu mobil dan motor. Untungnya jalanan tidak tergenang air. Hujan reda usai Salat Jumat.
Setiba di rumah pukul 21.15, listrik masih mati. Aku, Merlin, dan Ibu ngobrol sambil tidur-tiduran di ruang tamu ditemani cahaya redup lilin. Ibu bercerita Kompleks IKIP, tempat tinggal dosen-dosen Universitas Negeri Jakarta, kebanjiran. Bahkan perahu karet dipakai untuk sarana transportasi. Anak-anak sekolah kesulitan pulang karena terjebak banjir. Tiga sekolah yang terletak di pinggir Kompleks IKIP dan jaraknya berdekatan yaitu SMPN 194, SDN 05, dan SDN 09, plus TK Permata Bunda. Untuk mencapai Jalan Raya Penidikan di mana angkutan umum melintas, mereka harus melewati jalanan Kompleks IKIP yang berliku dengan dua selokan air di sisi kiri dan kanannya. Memang kawasan ini tergolong dataran rendah yang mendapat buangan air dari kampungku Cilungup.
Nikmati saja
Aku berusaha menikmati segala kondisi yang kualami. Senang-sedih dibawa gembira. Aku ingin Merlin juga begitu. Setelah memutuskan pulang dan tidak pergi ke kantor, dari bawah tol layang Ir. Wijoto Wiyono kami meluncur pulang melewati Jalan Raya Kali Malang. Hujan makin deras. Jalanan macet. Pengendara menuju Halim memakan semua badan jalan. Aku yakin mereka tidak tahu apa yang terjadi di jalan yang mereka tuju. Beberapa pengendara di arah berlawanan menuju Bekasi, termasuk aku, menyarankan mereka berbalik arah.
Kami tiba di rumah pukul 09.15. Percuma pakai jas hujan setelan. Baju-celanaku tetap basah. Hujan masih turun deras. Aku pun tak berpikir pergi ke kantor di bilangan Kemayoran Jakarta pusat untuk ikut rapat pukul 10.00. Berita di beberapa stasiun televisi sudah cukup menyeramkan: Jakarta di kepung banjir!
Duren Sawit, 3 Februari 2007, 00.20WIB
Nb. Kutulis naskah ini di komputer dua kali. Pertama yang berakhir pukul 15.05 karena listrik padam, dan kedua setelah listrik hidup pukul 22.15. Awal menulis siang 2 Februari, dan mengakhiri tulisan pukul 00.20 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar