Pertanyaan tentang siapa yang pertama kali membuat saya mengenal banyak hal mendasar dalam ilmu pengetahuan, atau bagaimana mereka mengajarkannya pada saya, kini menggelitik pemikiran saya. Pada beberapa pertemuan terakhir ini, di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Nusa Indah Kelurahan Duren Sawit, Jakarta Timur, saya mengajari anak-anak mengenal huruf. Sebelumnya saya mengajari mereka mengenal angka, huruf, dan warna dalam bahasa Inggris—karena saya mengajar bahasa Inggris.
Saya mengalami kesulitan saat mengajari seorang anak untuk membaca hanya huruf-huruf vokal (a-i-u-e-o). Sulit sekali gadis kecil itu menghafal lima huruf sederhana ini. Sementara anak-anak lain sudah hafal meski masih terbata-bata. Namun saya bersyukur tadi pagi, saat saya kembali mengajarinya a-i-u-e-o, dia sedikit hafal.
Nama gadis kecil itu Juniarti. Umurnya sekitar 3 tahun. Ia bertubuh kecil, berkulit sawo matang, berambut sebahu, dan matanya tajam bila memandang. Saat diajar, dia lebih sering melihat mimik dan mulut saya ketimbang buku di hadapannya. Suaranya kecil sehingga saya terkadang memintanya agar membesarkan suaranya.
Saya yakin, dengan perhatian terus-menerus, Juniarti akan bisa mengenal huruf. Makanya saya minta ibunya, tadi pagi, untuk menempelkan poster huruf di kamar Juniarti. “Kalau Juniarti tiap hari melihat poster itu di kamarnya, dia akan hafal,” kata saya. “Sebelum tidur, ajak dia untuk menghafalnya.”
Saat TK
Kesulitan mengajari Juniarti membuat hati saya bertanya, “Bagaimana dengan guru saya yang sekitar 23 tahun lalu mengajari saya tentang huruf? Apakah dia, atau mereka, bekerja keras agar saya bisa menghafal huruf?” Pertanyaan ini yang bikin kesabaran saya menebal, bahwa kesabaran mengajari Juniarti dan anak-anak lain tentang huruf adalah salah satu cara saya membalas budi pada guru saya dulu.
Saya, juga barangkali kamu, hanya mengingat sepenggal masa saat duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Itu pun samar. Dari cerita Ibu saya tahu bahwa saya tidak mau ke sekolah bila tidak ditemani Ibu. Bahwa saya pernah naik mainan dan jatuh hingga hidung saya berdarah yang menandakan saat itu saya anak nakal. Satu hal yang membuat bangga hanya sejumlah sertifikat penanda saya siswa teladan—sampai sekarang dokumen itu saya pegang. Juga sebingkai lukisan hadiah guru TK Bu Retno saat saya berulang tahun ke-5—foto itu masih terpajang di ruang tamu.
Mungkin Tuhan ingin memberikan saya gambaran saat-saat duduk di bangku TK dengan menghadapkan suasana PAUD kepada saya. Suasana ketika sulit sekali seorang anak lepas dari orangtua saat belajar. Menangis bila tersinggung sedikit saja oleh teman. Mengambek dengan bersembunyi di balik punggung dan perut ibu bila tidak bisa mengerjakan apa yang langsung guru ajarkan. Berebut main ayunan atau perosotan tanpa mengantre. Jajan makanan dan minuman saat belajar. Memasang muka masam beberapa lama jika ibu tidak memenuhi keinginan.
Saya masih ingat bagaimana, ternyata, orangtua saya sangat memerhatikan pendidikan saya. Saat saya kecil, mereka membelikan saya kapur berwarna dan membiarkan saya mencorat-coret dinding ruang tamu sepuas hati. Agar tidak bertengkar dengan adik, dinding dibagi dua dengan memberikan garis pemisah. Dan, pada perjalanan berikutnya, dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan, mereka membiayai ongkos pendidikan hingga saya duduk di bangku kuliah.
Bertanyalah kamu tentang sepenggal masa, ketika kamu sama sekali belum mengenal angka, huruf, dan warna. Bertanyalah kamu tentang sepenggal masa, di mana kamu terbata-bata mengucapkan ‘a’. Bertanyalah kamu tentang sepenggal masa, karena di sanalah kamu memulai hidup yang penuh arti.
Duren Sawit, 11 September 2008. 11.10 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar