Mungkin itu bagian dari ekspresi. Sama halnya dengan penggunaan jilbab lain: jilbab gaul, jilbab pentol korek, jilbab seksi. Tapi, orang yang mengerti sepakat, jilbab bukan sekadar alat penutup kepala. Ia padu padan dengan pakaiannya; tidak menonjolkan lekuk tubuh.
Saya jadi ingat peristiwa sepanjang tahun 80-an—dari buku yang saya baca. Pemerintah menerbitkan peraturan yang melarang penggunaan jilbab bagi siswa sekolah negeri: Surat Keputusan Nomor 052/C/Kep/D/82. Demontrasi protes menggelombang. Siswi-siswi nekad dikeluarkan pihak sekolah. Ada yang membawa kasus ke pengadilan. Mahasiswa ikut protes. Masyarakat bersimpati. Pemerintah terdesak. Muncul SK 100/C/Kep/D/1991. Siswi bebas berjilbab. Sebuah perjuangan panjang.
Tapi kebanyakan pelajar, remaja, dan orangtua sekarang tak tahu soal itu. Kalaupun tahu sebatas sejarah saja. Kemerdekaan yang harus dinikmati.
Dan kini semua orang bebas berekspresi. Asal tidak melanggar ketertiban umum, bebas-bebas saja; bebas joget, bebas mabuk, bebas pacaran, bebas obat-obatan, seks bebas. Bebas asal tidak ketahuan. Kadang menjadi dilema bagi penegakan norma.
Pemakaian jilbab wajib hukumnya. Ada di Al-qur’an dan Hadits. Tapi tak rinci soal detail berjilbab. Makanya tiap wilayah/negara punya budaya sendiri soal alat penutup aurat.
Anak-anak juga punya tren berjilbab. Sebenarnya ini hanya kreasi desainer saja: jilbab bertelinga kelinci, kucing, dan beberapa binatang lain. Dipadu dengan wajah lugu anak-anak, pemakaian jilbab ini tampak lucu dan menyenangkan.
Apa rambut perempuan termasuk aurat? Mungkin itu tidak lagi penting kalau memperlakukan jilbab sebagai tren. Tidak mengaitkannya dengan fungsi berjilbab: turut memperbaiki akhlak. Mungkin nanti, atas nama tren, rambut hitam mereka yang menyembul di bagian depan jilbab, menjadi warna-warni; merah, kuning, hijau, biru, ungu, kombinasi. Atau jilbab tak lagi berwarna polos, melainkan bercorak binatang dinosaurus, tengkorak, dan hal-hal mengerikan lain.
Duren Sawit, 31 Agustus 2009. 23.30 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar