RUMAH
Selasa, 6 November 2007, pukul 14.30.
Aku menarik kain batik menutupi tubuh dan berbaring di atas matras biru usai mematikan televisi. Tiba-tiba rasa dingin menjalar ke sekujur tubuhku. Seluruh bagian tubuh, tidak seperti biasanya. Aku menggigil dan berharap itu terjadi sebentar saja.
Dingin terus memelukku, membungkus tulang dan dagingku. Badanku bergetar hebat seperti mesin perata jalanan. Kepala, badan, dan kaki terus bergetar. Aku meringkuk, mengencangkan tubuh, namun gigil telajur menyesap ke seluruh pori-pori. Semua usaha sia-sia. Aku menyerah, aku menyerah.
“Subhannallah.” Aku mengucap-ucap lafaz zikir, berharap Allah menurunkan mukjizat. “Alhamdulillah.” Suaraku bercampur dengan suara musik tak jelas dari bengkel sebelah rumah yang bunyi sejak pagi. “Allahu akbar.” Aku putus asa. Aku putus asa. “Arrrggghhh!” Aku memilih mengerang saja walau tahu tak seorangpun akan mendengar. “Arrrgggghhhh!” Aku bangkit sebentar, lalu ambruk lagi.
Lalu aku berpikir aku akan mati. Barangkali Allah sudah menentukan umurku. Malaikat pencabut nyawa mengelilingiku dan menggerayangi sekujur tubuhku dengan tangan dingin mereka. Oh, aku belum siap mati. Pasti aku masuk neraka kalau mati hari ini. Maka aku mengganti lafaz zikir menjadi kalimat syahadat, “Laa ilaaha illallah, muhammadurrasulullah.” Semoga kalau aku mati dalam keadaan khusnul khatimah.
Aku terus melafazkan kalimat itu, tapi tidak kuat menahan gigil. Aku mengerang dan mengerang. Aku berpikir keras bagaimana keluar dari kondisi itu. Aku berharap Bapak datang, tapi dia tak kunjung datang. Aku harus keluar. Aku berharap dia ada di luar dekat rumah. Maka aku keluar, masih dengan dekapan gigil.
Untunglah Bapakku ada di luar. “Pak, Billy kedinginan...!” Aku berteriak sebisaku.
Aku langsung masuk rumah, berbaring, dan menggigil. Bapak segera ke dapur dan sebentar kemudian kembali membawa sebaskom air panas dan balsem. Ia meletakkan baskom di atas matras dan mengusapkan balsem ke sekujur tubuhku. Tubuhku terasa panas oleh balsem. Ia pun menyuruhku tengkurap dan meletakkan perut di atas baskom. Pengobatan macam apa ini, pikirku.
Aku tengkurap dan meletakkan perut sekitar pusar di atas baskom berisi air panas. Tiap kulit perutku meenempel pada permukaan baskom aluminium itu, aku mengerang kepanasan. Aku bangkit. Bapak menyuruhku melakukan seperti tadi, tapi aku menolak. “Panas, perut Billy panas...” Aku merajuk seperti anak kecil. “Jangan sampai kena perut!” kata Bapakkku. Aku terus menolak karena tidak bisa menjaga berat badan untuk selalu di atas baskom.
“Ke rumah sakit saja ya?” ujar Bapakku. Barangkali dia sudah putus asa. Usahanya tak membawa hasil. Aku mengangguk.
Lalu ia keluar, hendak meminjam mobil tetangga. Aku bangkit, perutku mual. Aku berjalan buru-buru ke belakang dan muntah-muntah di sana.
Aku muntah dengan mengeluarkan banyak cairan. Setelah itu tubuhku terasa lega. Dingin tak lagi garang menusuk. Bapak memanggil. Ia tak berhasil meminjam mobil tetangga karena mereka sedang keluar. “Naik motor saja ya?” katanya. Aku mengangguk. Kulihat jam dinding menunjuk pukul 15.05. Aku menggigil 35 menit!
Aku memakai jaket dan topi. Sepanjang perjalanan aku kedinginan. Angin mengembus cukup kencang. Tak cukup berlindung di balik badan Bapak. Rumah Sakit Duren Sawit berjarak sekitar dua kilometer dari rumahku.
RS. DUREN SAWIT
Setiba di rumah sakit Bapak langsung membawaku ke ruang Unit Gawat Darurat. Ruangan itu sangat dingin. Aku masih bisa berjalan dan berbaring sendiri di atas tempat tidur. Dokter dan suster bertanya-tanya pada Bapakku sementara aku berbaring dengan menggigil dan keringat bercucuran.
Entah kenapa, di ruangan sedingin itu keringatku terus mengucur, terutama dari bagian kepala. Suster bertanya-tanya dan kujawab seadanya. Ia membersihkan lengan tangan kananku dan aku mulai berpikir akan segera disuntik. Ya Tuhan, aku takut disuntik. Aku pernah berikrar kalau sakit tidak ingin disuntik—pakai obat saja—dan tidak diinfus.
Tapi Tuhan menginginkan lain. Suster dan beberapa orang memegangi lenganku—aku meram. Cukup lama mereka mengkondisikan lenganku agar diam dan mudah disuntik. Aku diminta menggenggam telapak tangan, tidak tegang, dan melemaskan tangan.
Crep!
Aku menahan sakit. Ternyata itu tusukan pertama untuk masuknya selang infus. Ya, aku diinfus. Sebotol infus tergantung di sebelah kananku. Untuk beberapa lama aku menahan sakit. Baru kali pertama aku dipasangi selang infus.
Ternyata itu bukan kali terakhir ‘senjata tajam’ menghunjam tanganku. Suster mengambil sampel darah dari siku tangan kiriku. Darah untuk diuji laboratorium. Saat jarum suntik memagut kulit, aku berusaha memfokuskan pikiran ke tempat lain, berharap sakit berkurang. Ternyata benar, sakit berkurang. Saat suster kembali menyuntik lengan kiriku—jaraknya empat jari ke bawah—aku sengaja tidak mengalihkan pikiran ke tempat lain, melainkan membiarkannya fokus ke tempat suntik. Ternyata aku merasakan sakit dan penyuntikan terasa lama. Hah, pembuktian edan.
Lalu aku dibiarkan berbaring. Zikir terus terucap di bibir. Aku berpikir-pikir, apa yang hendak Tuhan berikan padaku. Lalu kenapa dokter di Puskesmas tadi pagi biasa-biasa saja saat menanganiku?
Aku tidak kuat lama berbaring. Bapak lama sekali mengurus administrasi di gedung sebelah—Gedung Utama tempat mengurus administrasi pendaftaran. Keringat terus menggenangi sekujur tubuh dan kubiarkan menetes di matras. Aku membolak-balik badan, tapi tetap tidak kuat terus berbaring. Saat membalik tubuh ke kanan, menghadap meja dokter jaga, seorang perempuan berjilbab, berkulit putih, berparas cantik, dan berpakaian putih-putih mendekati meja dan bercakap-cakap dengan dokter. Ya Tuhan, Engkau sedang menertawaiku atau menghiburku? Tak lama berselang perempuan itu pergi.
Barangkali dokter tahu aku terus bergerak-gerak gelisah. “Kalau bisa kamu boleh duduk,” ujarnya. Aku segera bengkit dan duduk. Keringat terus menetes, kali ini tetesannya mengenai jaket yang tadi dilepas suster sebelum diinfus. Aku berusaha mengusap-usap jaket ke keningku, tapi sulit. Tangan kiriku, yang sudah tertembus dua jarum suntik, lemas sekali untuk digerakkan.
Bapak datang, aku senang. Ia membawakanku seplastik teh manis hangat. Aku diminumkan teh itu memakai sedotan. Tubuh terasa hangat. Aku memintanya mengambil dompet di saku kiri celanaku—persiapan bila diperlukan, dan memang ternyata dibutuhkan—dan telepon selular di saku kanan celanaku. Aku ingin memberitahu keberadaanku pada adikku yang sedang berada di Bojonegoro, Jawa Timur, bersama Ibu.
Aku sulit menggerakkan telapak tangan, maka kuminta Bapak yang mengetikkan perintah di papan kunci ponsel. Bapak kebingungan. Maklum, Bapak tidak tahu bagaimana mengoperasikan ponsel. Aku memberi instruksi perlahan-lahan, berulang-ulang. Wew, sulit sekali. Aku sampai putus asa. Keringat terus bercucuran membasahi jaket dan matras. Akhirnya aku memaksakan diri mengambil alih pengetikan. Pesan kukirim “Billy di rs drn sawit”.
Bapak keluar lagi untuk mengambil hasil uji darah di laboratorium. Lama sekali aku menunggunya. Tubuhku mulai dingin. Aku masih berbaring-duduk di matras.
Bapak datang membawa hasil laboratorium dan memberikannya pada dokter. “Trombositnya 106,” kata dokter. “Kamu kena gejala demam berdarah. Kamu mau dirujuk ke mana? Ke Rumah Sakit Persahabatan atau Rumah Sakit Budhi Asih?”
Bapak tidak memberi keputusan. Ia menyerahkannya padaku. Soal Rumah Sakit Persahabatan, belum lama aku dengar perkataan seorang teman. Ia tidak menyukai fasilitas dan pelayanan rumah sakit itu. Ia memindahkan anaknya ke rumah sakit swasta lantaran anaknya tak mengalami kemajuan berarti setelah beberapa hari di rawat di sana. Mengenai Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih, aku selalu melihatnya kala melintasi Jalan Dewi Sartika. Gedungnya megah dan tinggi.
“Ke Rumah Sakit Budhi Asih saja,” ujarku mantap.
“Mau dibawa ke sana pakai apa, Pak?” tanya dokter pada Bapak. “Bapak bawa mobil?”
“Bawa motor,” jawab Bapak.
“Mau dibawa pakai motor? Kuat, tidak? Mending pakai mobil saja. Kalau tidak ada mobil, Bapak bisa pakai ambulans sini tapi ada charge-nya.”
“Ya sudah saya pulang dulu, mau pinjam mobil tetangga.” Usai berkata Bapak pergi.
Dalam penantian yang lama, aku menimbang-nimbang. Aku tidak pernah berpikir akan menjadi penderita demam berdarah, menjadi pasien di rumah sakit. Ah, rumah sakit. Apa Bapak bisa mengurus administrasi dan tetek-bengek birokrasinya hingga aku bisa berbaring di kasur empuk dengan tenang? Tadi dokter bilang, satu-satunya obat demam berdarah dengan minum yang banyak. Bukankah minum bisa dilakukan di rumah?
Berbaring di ranjang beberapa hari, ditunggui orang tua, dibesuk saudara dan teman—aku tak pernah memikirkannya. Pastilah tidak enak. Bagaimana nanti, ketika aku meninggalkan rumah sakit, di dalam mobil kuminta Bapak langsung pulang. Tidak ke Budhi Asih. Nanti di rumah aku minum air yang banyak hingga sembuh.
Tidak, tidak, aku tidak ingin menggigil lagi. Aku tidak mau panas-dingin lagi. Aku tidak mau tiduran terus di atas kasur ditemani lantunan musik brengsek dari bengkel mebel sebelah rumah.
Tapi, kalau masuk rumah sakit, pastilah biayanya mahal. Uang gajianku sudah banyak berkurang di awal bulan ini. Aku tidak mau membebani orang tua bea perawatan.
Ah, aku bingung. Aku sebenarnya tidak mau di rawat di rumah sakit, tapi aku pun tidak mau ‘hampir mati’ seperti tadi. Baiklah, aku ikuti saran dokter saja. Aku ke rumah sakit. Aku tidak mau memberontak.
Di luar hujan deras mengguyur. Tentu ini akan menyulitkan proses evakuasiku. Tapi sudahlah. Aku lagi sakit dan pasrah saja.
Akhirnya Bapak datang. Bersama taksi. Suster melepas selang infus dari pergelangan tangan kananku dan menutup lubangnya dengan kapas dan balutan selotip. Tertatih aku berjalan menuju taksi di bantu Bapak.
Di bawah guyuran hujan taksi meninggalkan UGD. Aku duduk di belakang sopir, Bapak di sampingku. Baru beberapa meter meninggalkan UGD, aku melihat darah segar mengucur dari pergelangan tangan kananku. “Darah, darah...!” teriakku sambil berusaha menahan cucurannya dengan telapak tangan kiri. Aku merasa aneh karena tidak merasa mual seperti biasa. Biasanya aku mual melihat darah.
“Berhenti, Pak, berhenti!” kata Bapak pada sopir taksi. Taksi berhenti. Bapak segera keluar menuju UGD.
“Pak, mundur, Pak!” ujarku. “Kita balik ke UGD.”
Taksi mundur dan berhenti di muka UGD. Aku membuka pintu. Suster membersihkan tanganku dari darah dengan kapas dan kain kasa. Ia kembali menutup lubang bekas infusan dengan perban baru. Syukurlah, darah tak lagi mengucur.
Taksi pergi meninggalkan RS Duren Sawit sekitar pukul 16.30. Di tengah cuaca buruk itu aku meringkuk memikirkan nasib menjadi calon pasien. Oh, apa atau siapa yang membuatku seperti ini?
Duren Sawit, 10 November 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar