Menjelang siang, pukul 10.00, saya sekeluarga menyambangi keluarga paman yang beberapa hari lalu masuk rumah sakit karena harus menjalani operasi kanker prostat dan hernia—dua operasi dalam waktu berdekatan. Kembali ke rumah menonton acara ‘Kick Andy’ dan menerima kedatangan saudara dari Bekasi.
Tentu saja ada kebahagiaan tersendiri dalam acara rutin di hari yang fitri ini. Namun kebahagiaan yang hendak saya ceritakan dalam tulisan ini adalah kebahagiaan setelah bersilaturahmi ke rumah Bu Zahara, istri (alm.) Prof. Deliar Noer.
Tadi saya menyambangi rumahnya nan asri bersama seorang teman yang dulu pernah belajar mengaji di mushala belakang rumahnya. Ishak namanya. Ishak membawa anak dan istrinya. “Kamu, Bill?” tanya Bu Zahara. “Belum punya, Bu,” jawab saya disambut tawa.
Terakhir saya bertemu dengan Bu Zahara saat tahlilan meninggalnya Prof. Deliar Noer pada akhir Juni 2008. Tadi, alhamdulillah, beliau kelihatan sehat kendati sisa stroke masih tampak. Tante Yessy (saya dan Ishak memanggilnya demikian), menantunya, juga turut menemani.
Satu cerita tentang (alm.) Prof. Deliar Noer yang tadi diungkapkan Bu Zahara baru saya dengar, yaitu salah satu kebiasaan almarhum sebelum meninggal. “Bapak orangnya nggak bisa diam. Maunya jalan terus. Dia suka ke Gramedia naik bus kota. Sendiri,” urainya.
Toko Buku Gramedia terletak di Jalan Matraman Raya. Untuk mencapainya dari rumahnya di Jalan Swadaya Raya Nomor 7-9, Duren Sawit, beliau harus berjalan kaki sekitar 50 meter ke perempatan lampu merah di seberang Apotek Swadaya. Dari sana naik bus Metromini T 52 jurusan Cakung-Kampung Melayu. Turun di terminal Kampung Melayu, menyambung mikrolet M 01 jurusan Kampung Melayu-Pasar Senen. “Kalau naik mikrolet M 31, turun di Pasar Jatinegara lalu nyambung Mikrolet M 01,” tambah Bu Zahara. Toko Gramedia berada di sebelah kiri Jalan Matraman Raya.
Mendengarnya saya terkejut. Di usianya yang terbilang senja, beliau masih mau bersusah payah mencari buku naik bus kota. Padahal, kalau mau, ia bisa minta diantarkan sopir. Atau pesan buku lewat internet. Padahal perjalanan demikian bagi kakek bercucu tiga itu terbilang jauh. Belum lagi suasana jalanan yang macet, panas, banyak debu. Saya sendiri yang rumahnya beda dua gang dari rumahnya agak malas kalau ke Gramedia naik bus kota.
Bu Zahara juga bercerita, enam bulan sebelum meninggal, beliau masih aktif mengajar di Universitas Krisnadwipayana dan Universitas Indonesia.
Begitulah. Di awal Syawal ini, ada bekal baru yang saya dapat dari cerita Bu Zahara, ibu yang sangat saya hormati saat saya jadi muridnya di pengajian mushala An-Noer, tentang (alm.) Prof. Deliar Noer. Pelajaran tentang kesederhanaan hidup, kecintaan pada ilmu yang sangat tinggi, ketegasan sikap dan disiplin tinggi, serta semangat membuat perubahan yang terus berkobar.
“Saya juga merasa beruntung, Bu, diajari Iqra’ oleh seorang profesor,” ucap saya, tulus, pada Bu Zahara.
Usai berpulangnya beliau memenuhi panggilan Allah SWT., saya membuat beberapa tulisan tentang sosok beliau, suasana pemakamannya di Karet Bivak, dan pengalaman saya berinteraksi dengannya pada 21 Juni 2008. Tulisan tersebut dimuat di blog saya: www.billyantoro.multiply.com.
Duren Sawit, 22 September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar