“Billy, kamu nanti kalau punya istri, dukung dia. Jadikan rumah tangga untuk membuatnya maju dan berkembang.”
Sabtu sore 8 Maret 2008 di keriuhan massa pengunjung Islamic Book Fair. Hari itu Asma Nadia menjadi bintang di stan Penerbit Mizan. Sejak pukul 16.00 ia duduk manis di atas kursi di tengah stan. Di kanan-kirinya berdiri salon hitam yang meraung-raungkan suara fals milik seorang lelaki berkulit hitam memegang mik.
Sejak penulis buku laris itu duduk di kursi, aku memandanginya dari beberapa jarak, sekitar lima meter dekat tumpukan buku. Bergantian pengunjung stan mendekatinya, menyodorkan buku, senyum lebar usai bukunya dibubuhi tanda tangan, kemudian merapat manis di samping Asma sembari menyungging senyum ketika blitz kamera mengerjap.
Satu jam berlalu, Asma masih sibuk membubuhi tanda tangan dan berpose bersama penggemarnya. Perlahan gurat wajahnya layu namun senyumnya terus mengembang. Hm, Asma memang memiliki senyum yang khas. Senyum kemandirian, keteguhan, dan kepercayaan diri yang kuat.
Aku masih menunggunya. Beberapa teman aktivis Forum Lingkar Pena DKI Jakarta seperti Taufan E. Prast dan Arulkhan menemaniku, membincangkan banyak hal terutama dunia kepenulisan. Tiba-tiba seseorang berkaus loreng bercelana jins bertopi menutupi kepala plontosnya datang. Palris Jaya, dia orangnya. Sudah lama aku tidak menjumpainya lantaran kesibukan kerjanya. Arulkhan menjulukinya ‘Penulis Festival’, yaitu penulis yang produktif saat perlombaan menulis digelar. Ipal, begitu sapaan akrabnya, memang sering memenangi perlombaan penulisan. Ia ‘agak malas’ membuat karya untuk dibukukan, walau karya yang telah diterbitkannya tidak sedikit.
Arulkhan sendiri seorang penulis produktif. Ia selalu berpenampilan necis. Bagiku dia seperti tupai, melompat ke sana-kemari membuat karya. Ia dosen dan mendirikan sebuah penerbitan buku di Bandung, selain menulis puluhan karya, baik fiksi maupun non-fiksi. Karir menulisnya panjang. Nama penanya juga panjang berderet. Ia bilang sudah punya 16 nama—termasuk nama Arulkhan. Aku bergurau dengan mengusulkan padanya agar nama pena-nya mencapai 99 seperti Asmaul Husna.
Taufan E. Prast dulu wartawan Tangerang. Pernah jadi editor di sebuah penerbitan di Depok. Perawakannya gemuk dan senang humor. Kini, akunya, aktivitas kesehariannya ‘menunggu rumah’, meski kutahu ia produktif menghasilkan karya. Ia ‘bangga’ jadi suami seorang penulis, Era—bekerja sebagai penerjemah komik asing di sebuah penerbitan buku raksasa.
Aku masih menunggu Asma Nadia. Aku sudah bikin janji wawancara dengannya untuk majalah tempatku bekerja. Dewan juri Islamic Book Fair Award memberi penghargaan terhadap bukunya Istana Kedua. Seputar poligami novel ini bercerita. Keunikannya, Asma menyorot isu ini dari sudut pandang tiga pelaku; Arini, istri pertama; Pras, suami; dan Mei Rose, istri kedua. Sebelum menemui dan membuat janji wawancara dengannya, aku mengumpulkan data dari internet mengenai karyanya. Aku pun memasuki www.anadia.multiply.com, blog-nya. Banyak pujian terhadap Istana Kedua. Aku makin penasaran dibuatnya.
Aku tahu aku akan kembali menulis isu tentang poligami. Saat dai kondang asal Bandung menyunting seorang mantan model sebagai istri kedua, banyak buku bertema poligami bermunculan. Media massa mengangkatnya sebagai headline berita selama beberapa minggu sehingga isu skandal zina seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan seorang artis dangdut perlahan tenggelam. Asma Nadia, lewat blog-nya, mengundang orang-orang untuk angkat suara tentang fenomena ini. Aku mengirimkan sebuah artikel dan dimuat dalam sebuah antologi bertajuk Ketika Aa Menikah Lagi (LPPH, 2007).
Pukul 18.00 sudah lewat tapi Asma masih sibuk dengan penggemarnya. Pembawa acara, dengan mik di tangan, terus semangat memanggil orang-orang untuk membeli buku karya Asma Nadia dan memperoleh tanda tangan serta foto bersamanya. Kuperhatikan wajah Asma yang mulai lelah. Duduk selama dua jam membuat capek tubuhnya, terlebih harus terus mengulas senyum saat blitz kamera mengerjap.
Akhirnya acara booksigning alias tanda tangan buku selesai. Aku ‘menggiring’ Asma ke deretan kursi di belakang stan. Kupikir aku tidak boleh berlama-lama mewawancarainya karena ia sudah kelelahan. Cukup lontarkan pertanyaan yang penting-penting saja.
Saat mewawancarainya, kekaguman menjalari perasaanku. Pertama, walau lelah, ia menjawab pertanyaan-pertanyaanku dengan penuh semangat. Kedua, ia menerangkan isi buku dengan jelas. Ketiga, ia tak segan-segan memberiku nasihat. Dari sekian nasihat, aku selalu teringat kata-katanya yang begini, “Billy, kamu nanti kalau punya istri, dukung dia. Jadikan rumah tangga untuk membuatnya maju dan berkembang.” Aku senyum-senyum sendiri mendengarnya.
Kupikir itu nasihat wajar yang dilontarkannya, tepatnya nasihat seorang perempuan (yang sudah menikah) kepada seorang laki-laki yang belum menikah seperti aku. Selalu saja ada harapan dari seorang perempuan agar laki-laki memuliakan perempuan, suami mengangkat derajat istri. Mengingat banyak sekali keretakan rumah tangga terjadi akibat suami tidak menghargai istri, seperti kekerasan dan selingkuh.
Lalu bagaimana Asma menilai poligami? Asma tidak memasalahkan asal-muasal poligami yang tercantum dalam al-Qur’an. Ia hanya mengkritisi praktik poligami yang dilakukan berdasar nafsu semata atas nama agama. Alasan “agar tidak terjerumus zina”, “daripada selingkuh”, dan lain-lain kadang dijadikan senjata mereka. Asma ingin mengajak orang-orang yang hendak berpoligami mempertimbangkan banyak faktor, seperti perasaan perempuan, kehidupan anak-anak, dan nafkah keluarga.
Bagaimana dengan aku sendiri, punya rencana untuk berpoligami? Aku belum ingin memikirkannya, karena aku sedang memikirkan bagaimana agar bisa mendapatkan istri pertama.
28 Maret 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar