Total Tayangan Halaman

Kamis, 19 Mei 2011

Orangtua dan Kesadaran Kita

Tadi, di perempatan Jalan Kolonel Sugiono, Duren Sawit, Jakarta Timur, usai acara berbuka puasa bersama di rumah teman, saya menunggu lampu lalu lintas berwarna hijau. Seorang bocah perempuan, tampak sebagai pengamen, melintas. Tiba-tiba hati kecil saya berkata, “Bill, lihat, hidupmu lebih beruntung dari dia. Kamu beruntung punya orangtua seperti sekarang.”

Tiba di rumah, sembari istirahat, saya duduk merenung di belakang rumah. Sunyi. Ungkapan hati kecil itu muncul lagi. Lalu saya ke kamar, menggelar matras biru, mematikan lampu, berbaring, memejamkan mata. Sekadar melepas penat sembari mengumpulkan tenaga bekal shalat isya dan tarawih sendiri. Dalam gelap ingatan saya menggelinding pada pengamen cilik itu. Kemudian melompat pada kata hati kecil, “Kamu beruntung punya orangtua seperti sekarang.”

Air mata saya kemudian berlinang. Ingatan saya berlompatan; dari perilaku buruk saya pada orangtua dan pembandingan dengan orangtua si bocah cilik.

“Bill, pernahkah kamu menyadari bahwa hidupmu lebih beruntung dari bocah itu? Lihat, dia malam-malam masih mengamen mengais rezeki! Ke mana orangtuanya? Tidakkah mereka bertanggung jawab pada anak-anaknya; membiarkan anak mereka menggelandang dari satu kendaraan ke kendaraan lain berharap belas kasih orang, tak memikirkan kesehatan si anak, atau tidak memberi jaminan pendidikan yang layak.

“Lalu bagaimana dengan orangtuamu? Sekarang hidupmu terbilang nyaman, Bill. Kamu bisa hidup lebih layak dari bocah itu. Tidur nyaman. Makan terjamin. Sekolah tinggi. Dan kamu kini bisa mengusahakan kerja ditempat yang baik pula. Kamu tak perlu repot-repot menggelandang di jalanan mengumpulkan uang. Tidakkah itu membuktikan bahwa kedua orangtuamu, bapak-ibumu, telah berhasil membuatmu ‘hidup mewah’? Setidaknya hidup yang didambakan oleh pengamen, tunawisma, preman, dan gelandangan.

“Mungkin kamu tidak puas dengan kesederhanaan hidup yang diberikan bapak-ibumu. Mereka tidak memberimu kamar yang luas, rumah mewah, mobil, ruangan berpendingin udara, perabotan mewah, playstation. Atau kamu tidak mendapat sosok yang kamu inginkan pada diri mereka; saleh, teladan baik, santun, pengertian, perhatian, dermawan, memiliki jabatan tinggi, perusahaan, dan banyak warisan.

“Bahkan mungkin kamu membenci mereka. Itu tampak dari cara bicaramu yang ketus pada mereka. Mengucapkan ‘ah’ untuk merespon perilaku mereka yang tidak berkenan di hatimu. Atau kamu mengabaikan ucapan mereka karena kamu anggap tidak berbobot.

“Tapi, Bill, lihatlah! Buka matamu baik-baik! Gunakan akal sehatmu! Tidakkah kedua orangtuamu telah berhasil menjauhkanmu dari kehidupan kejam jalanan? Mereka tidak membiarkanmu menggelandang. Mereka tak membiarkanmu mencari uang di jalan agar hari ini dan besok bisa makan sejumput nasi.

“Mereka, sejak kau lahir, bekerja keras membanting tulang menguras keringat agar hidupmu layak. Mereka mengurangi bagian makanannya untukmu demi pertumbuhan tubuhmu. Mereka mendoakanmu siang-malam agar hidupmu sehat, pintar, dan mencapai keberuntungan.

“Tapi apa yang kau perbuat pada mereka, Bill? Kamu membentak mereka lantaran kecewa. Kamu mengabaikan mereka. Kamu selalu merasa benar karena pendidikanmu lebih tinggi dari mereka. Kamu tidak memberi toleransi jika mereka bersalah.

“Bill, buka kesadaranmu tinggi-tinggi! Siapa sesungguhnya yang telah membuat kedua orangtuamu menjagamu hingga kau dewasa kini? Siapa yang menanamkan kasih sayang dan tanggung jawab di hati mereka kepadamu?

“Tuhanmu, Allah! Dialah yang lewat tangan kedua orangtuamu memberimu keberuntungan hidup. Dia tidak menakdirkanmu hidup di jalan, mengais rezeki dari mengemis, dan mengumpulkan uang dari cara tak halal. Itulah nikmat yang Allah berikan padamu, Bill! Dan itu belum seberapa!

“Maka kenapa ketika Ia memintamu agar menghormati orangtuamu, menjaganya kala mereka renta, kamu tidak melakukannya? Di mana harga dirimu? Di mana nilai kemanusiaanmu? Maukah kau disamakan dengan binatang ternak yang melupakan orangtuanya  setelah beranjak dewasa? 

“Bill, jujurlah pada dirimu sendiri, tidakkah nikmat-nikmat Tuhanmu telah kau dustakan? ‘Fabiayyi aa laaa irabbikumaa tukadzdzibaan. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?’ Sebanyak 31 kali Ia mengingatkanmu dalam surat Ar-Rahman; ayat 13, 16, 18,21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, 77.

“Kau beruntung diberikan rumah yang melindungimu dari panas dan hujan. Tubuh sehat. Banyak teman. Sekolah tinggi. Pekerjaan layak. Kasih sayang saudara-saudara. Apalagi yang kurang sehingga segala perintah Tuhanmu tak kau indahkan?

“Maka, Bill, perlakukan kedua orangtuamu dengan baik. Kalau tidak setuju pendapat mereka, bantahlah dengan cara yang baik. Kecilkan suaramu di hadapan mereka. Hibur mereka kala sedih. Beri mereka seulas senyum tiap hari. Apakah itu memberatkanmu?

“Bill, keberatanmu terhadap kualitas mereka tak sebanding dengan pengorbanan mereka untukmu.”

Teman, inilah kesadaran yang saya miliki hari ini. Kesadaran yang barangkali sudah kalian rasakan jauh-jauh hari. Maka izinkan saya membagi cerita ini kepada teman-teman yang belum tersentuh kesadarannya, bahwa kita, anak, harus menghormati orangtua. Apapun kesulitannya.

Cilungup, Duren Sawit, Jakarta Timur.
Sabtu, 05 September 2009. 22.21 WIB. 

Tidak ada komentar: