Total Tayangan Halaman

Minggu, 08 Mei 2011

Karya Ilmiah VS Karya Jurnalistik

Tolong beritahu aku, bagaimana membuat karya ilmiah yang baik.


Pertanyaan ini muncul ketika seorang adik kelasku sewaktu kuliah di Jurusan Teknik Elektro sebuah universitas negeri satu-satunya di Jakarta, Astuti namanya, bercerita sesuatu yang bagiku menggelitik—aku bertemu dengannya empat hari lalu di sebuah resepsi pernikahan seorang teman. Suatu hari ia bertemu Sri Sujanti, Dosen Pembimbing II skripsiku. Ia melihat sebuah skripsi tergeletak di meja Sujanti dan berkata, “Oh ibu Dosen Pembimbing skripsi Kak Billy ya?” Sujanti lalu menanggapi, “Iya. Kalau baca skripsi Billy kayak baca koran.” Sujanti, kata Astuti, menginginkanku menulis secara ilmiah, bukan model koran. Sebab skripsi adalah karya ilmiah.

Ternyata pendapat Sujanti tidak berbeda dengan Dosen Pembimbing Skripsi I ES. Triday. Saat aku menyodorkan proposal skripsi ke Triday, kalimat pertama yang terlontar dari mulutnya adalah, “Kamu biasa menulis di majalah ya?” Aku menjawab apa adanya. Bahwa aku pernah menggarap majalah saat bergabung di Lembaga Pers Mahasiswa Didaktika, dan masih aktif mengelola tabloid Transformasi—tabloid kampus.    

Kesamaan pendapat dua dosen ini membuatku tertawa. Apa masalahnya dengan gaya tulisanku? Apakah sulit dicerna? Tidak terasa aroma akademis? Atau apa sehingga tulisanku tidak digolongkan sebagai ilmiah?

Sebelum dan saat menggarap skripsi, aku banyak membaca skripsi mahasiswa lain. Tidak hanya dari jurusan Teknik Elektro atau Fakultas Teknik, aku juga membaca skripsi mahasiswa dari lintas fakultas, seperti Fakultas Ilmu Pendidikan dan Fakultas Ilmu Sosial. Aku ingin mengambil referensi dan mengetahui bagaimana isi sebuah skripsi yang ideal; lengkap dan tuntas pembahasannya. Sebanyak kubaca skripsi-skripsi itu, rasanya tidak ada yang tergolong lengkap dan tuntas pembahasannya. Dari sini aku ingin menciptakan sebuah skripsi yang masuk kriteria ini.

Aku membaca skripsi mahasiswa jurusanku serta Fakultas Teknik dan aku mengalami kebingungan. Banyak sekali kutemui salah eja, penempatan tanda baca, dan yang parahnya penggunaan kata hubung serta diksi. Kamu tahu, kesalahan penggunaan kata hubung dan pemilihan diksi berakibat fatal. Deksripsi dan pemaparan atas karya-karya penelitian keteknikan haruslah akurat. Tidak boleh salah pilih kata dan tanda hubung; dari, ke, untuk, bagi, dengan, pada, dan, dll. Aku bertanya-tanya, inikah sebuah karya ilmiah? Sebuah karya yang sangat kaku bahasanya, sulit dimengerti, dan banyak mengandung kesalahan berbahasa? 

Aku termasuk orang yang ketat dalam berbahasa, terutama dalam hal penulisan. Aku tak segan-segan membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia bila kesulitan memahami sebuah kata atau mencari padanan kata yang pas untuk sebuah situasi. Sebisa mungkin aku menerjemahkan kata asing ke dalam bahasa Indonesia, walau tidak kuterapkan seluruhnya untuk kata-kata serapan bidang keteknikan, seperti input, output, dan mouse. Jurnalisme sangat kental memengaruhi gaya menulisku.

Makanya aku selalu berusaha menulis dengan pilihan kata yang lentur, lancar, luwes, tidak kaku, dan mudah dimengerti. Inilah ciri sebuah karya jurnalistik. Dan inilah pengertian ‘ilmiah’ yang kupegang. Bahwa tulisan/karya baru dikatakan ilmiah bila dapat dengan mudah dimengerti dan dicerna pembacanya. Aku menjauhkan diri dari penulisan yang sangat menginduk pada buku teks (textbook) serta pengertian apa adanya. Aku merangkai kalimat baru untuk mengungkap sebuah makna atau pengertian sejelas-jelasnya.

Salahkah caraku menerapkan hal-hal di atas pada sebuah karya ilmiah bernama skripsi?

Setelah membaca skripsiku, kupikir dosen pembimbing dan penguji, juga mahasiswa pembaca tidak akan mengerutkan dahi untuk memahami sebuah pengertian atau pemaparan. Tulisanku renyah, tidak berbelit-belit, dan langsung ke pokok permasalahan. Ekonomi kata terjaga, sebanyak mungkin menggunakan kata sinonim sehingga tidak ditemui repetisi kata.

Salahkah caraku menerapkan gaya menulis jurnalistik pada sebuah karya ilmiah bernama skripsi?

Aku tetap menggunakan ‘istilah ilmiah’ dan tidak berkeinginan memaksakan padanan katanya. Aku hanya ingin ketika istilah tersebut dimunculkan, pembaca memahami asal-usul dan kegunaannya. 

Saat revisi skripsi, aku menemukan perbedaan beberapa prinsip kepenulisan dengan dosen. Salah satunya mengenai paragraf. Aku berpedoman bahwa satu paragraf terdiri dari satu pikiran utama dan dijelaskan oleh kalimat kedua dan seterusnya. Namun revisi itu menginginkan aku menggabung sejumlah pikiran utama ke dalam satu paragraf. Hal begini juga kutemui pada skripsi yang pernah kubaca. Inikah karya ilmiah? Atau kesalahan dosen dalam memahami cara penulisan karya ilmiah? Kupikir hal kedua jawabnya.

Satu semester kemudian (aku diwisuda Maret 2006) aku mendengar keluhan seorang teman. Kami sama-sama aktivis organisasi. Katanya, saat sidang skripsi digelar, sama sekali tidak terjadi suasana diskusi secara sehat. Dosen ingin mahasiswa yang diujinya mendengarkan dan membenarkan kata-katanya. Tidak boleh digugat. Sementara mahasiswa yang ingin menjelaskan argumennya secara komprehensif—walau pada akhirnya terlalu panjang—dianggap tidak berkelakukan baik. Ngeyel. Mana dialektika sebuah sidang karya ilmiah? Mahasiswa aktivis organisasi sudah sering berdiskusi dan menganggap perbedaan pendapat adalah kewajaran. Kecuali terhadap hal-hal bersifat teknis dan tak dapat dibantah, semua pendapat dapat didiskusikan. Tapi dalam sidang skripsi? Jangan harap semua itu terjadi! Sebab aku juga mengalaminya. Pada akhirnya kami ‘mengalah’ pada ketidakadilan ini. Karena kelulusan ada di tangan mereka.

Sebaiknya pemaknaan ilmiah terhadap karya skripsi perlu dikaji ulang. Aku masih bisa menahan diri bahwa aku tidak menulis skripsi dengan gaya feature atau hardnews. Aku menuliskannya secara ‘ilmiah’ sebagaimana pemahamanku atas istilah tersebut.


Duren Sawit, 12 April 2007, 22.42 WIB.  


 

Tidak ada komentar: