Total Tayangan Halaman

Selasa, 22 Maret 2011

Kloset

Di negeri yang korup ini, hukum sudah jadi kloset umum. Tiap orang yang masuk ke dalamnya harus membayar sejumlah uang agar hajatnya terpenuhi. Ketika peluit menyalak, pintu kloset terbuka. Semua mata terbelalak. Orang-orang yang biasa buang hajat di dalamnya terkuak; polisi, jaksa, hakim, pengacara, Pegawai Negeri Sipil, pengusaha.

Presiden dipertanyakan hati nuraninya karena masih bisa senyum ketika dirinya ramai-ramai dikhianati anak buahnya sendiri. Masyarakat tak lagi percaya aparat penegak hukum. Tawuran warga merebak di mana-mana. Mereka malas mengadukan perkara ke polisi. Malah, mereka berani menyerang polisi saat hajat terhalang. Polisi tak lagi dekat di hati masyarakat.

Sebagian lagi terbengong-bengong. Mudah sekali rakyat cilik dijerat hukum. Prosesnya begitu cepat. Beda dengan kasus pejabat yang lamanya bukan main. Masyarakat sudah paham soal itu: hukum sedang diperjual-belikan.

Yang protes diintimidasi. Seniman eks-nara pidana diancam bunuh usai menelurkan lagu yang membuka aib itu: hukum bisa dibeli. Demontrasi dibalas pentungan dan penangkapan.

Di gedung batok kelapa, segelintir penghuninya tak kalah brengseknya. Sebelum palu diketuk, draft hukum ditukar-tukar dengan uang, harta, dan jabatan. Yang tertangkap basah berbuat tak senonoh, seperti memeras dan korupsi, masih bangga cekakak-cekikik di depan kamera televisi dengan pakaian necis. Mereka tahu dan hafal tempat buang hajat alias kloset umum belum berubah, dan para penjaganya akan tetap memuliakannya.

Sudah selesai? Belum. Satu saja lagi: koruptor masih dilantik jadi pejabat walikota, lalu melantik bawahannya, lalu santai di hotel prodeo. Logika ini mestinya tak keluar dari kerangkeng mistik. 

Sebutan ‘halus’ apa bagi negeri seperti ini? ‘Negeri Para Bedebah’, kata Adhie Massardi.

Gerakan
Dulu, setahun setelah terjungkalnya sang diktator Presiden Soeharto, seorang cendekiawan muslim mempertanyakan para sarjana hukum dan kampus-kampus yang meluluskan mahasiswa jurusan hukum: masak tak bisa menyeret sang tiran ke meja hijau? Setelah sang tiran mati, para sarjana hukum diam seribu bahasa dan membiarkan sang cendekiawan pulang dengan tanya yang belum terjawab.

Pertanyaan itu memang masih relevan: ke mana para sarjana hukum Indonesia? Kenapa membiarkan para bedebah menguasai negeri ini dengan menggunakan hukum-hukum positif?

Pertanyaan diperluas: kemana para aparat penegak hukum yang jujur, yang bertekad mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari rongrongan para bedebah lokal dan internasional? Apakah mereka sudah merasa nyaman dengan posisi sekarang?

Bagaimana dengan ulama, cendekiawan, tokoh masyarakat, dan pemuda? Apakah sudah apatis dengan kondisi ini? Apakah mereka masih bisa tersenyum-tawa sembari melihat para bedebah berbuat tidak senonoh terhadap hukum negeri ini dan mengisap kekayaan alam negeri sebuas-buasnya?

Mestinya ada sebagian masyarakat, baik berkelompok maupun indvidual, yang secara sistematis dan terencana melakukan ‘pembongkaran’ terhadap status quo ini. Juga seharusnya ada sekelompok polisi, jaksa, hakim, pengacara, PNS, pengusaha, dan pejabat yang secara perlahan menyingkirkan para bandit-bedebah yang merusak  korps dan institusinya.

Politisi pun harus menyingkirkan para politisi busuk yang memanipulasi kekuasaan demi kepentingan pribadi dan golongan. Mereka yang berhasil dijebloskan ke penjara harus dihinakan. Hukum seberat-beratnya, sita semua harta bendanya sampai miskin. Kalau perlu, pajang fotonya di tempat umum sebagai pengkhianat negara. Negara ini tidak membutuhkan politisi korup, pengusaha hitam, dan aparat penegak hukum pelanggar sumpah jabatan.

Sebab merekalah yang menghalang-halangi rakyat negeri ini untuk mendapatkan kemakmuran. Pajak dikorup. Uang negara dipreteli. Kekayaan alam disedot habis-habisan, keuntungannya dinikmati segelintir pejabat. Dan ini dibiarkan terus-menerus terjadi. Bahkan, presiden mana yang berani mengambil alih penguasaan tambang emas dan tembaga terbesar di dunia dari Amerika Serikat? Padahal tambang emas dan tembaga itu ada di Pulau Papua yang masih terdaftar dalam peta Indonesia. 

Rakyat negeri ini telah kehabisan air mata. Para bedebah berdasi tak hanya menyedot kekayaan, harta, darah, juga air mata mereka.

Bagaimanapun para pengkhianat negeri tak boleh dibiarkan merajalela. Mereka harus disingkirkan dan dihabisi.

Maka tak bisa tiap individu masyarakat negeri ini tinggal diam terus ditindas oleh para bedebah itu. Tidak bisa tiap orang memikirkan diri sendiri sementara masyarakat kecil tak berdaya terus meratapi nasib yang tak kunjung membaik. Sebab, yang harus disadari, masyarakat kecil itu dengan sepenuh tenaga telah menyokong negeri ini agar senantiasa berjalan baik dan seimbang. Mereka bekerja dari pagi hingga sore, memasok hasil bumi ke desa dan kota, membayar pajak, dan memanjatkan doa bagi kemakmuran dan keselamatan negeri tiap hari.

Tiap orang, terutama yang pernah mengenyam bangku sekolah, punya kewajiban bagi keikutsertaan melakukan perubahan negeri. Orang-orang yang diam dan merasa nyaman dengan kondisi yang ada merupakan orang-orang tak tahu diri dan tak mengerti balas budi. 

Perubahan itu dimulai dari diri, keluarga, masyarakat, lalu negara. Dapat diterapkan langsung sesuai kemampuan dan profesi yang digeluti. Jika tidak memiliki kekuasaan atau jabatan, upaya melakukan perubahan bisa melalui lisan dan tulisan.


Kepada mereka yang sedang menyusun dan melancarkan gerakan pembersihan terhadap pengkhianat negara, rakyat menaruh harapan. Rakyat butuh orang-orang yang bersih dan jujur untuk membawa negeri ini kepada kemakmuran dan kesejahteraan.

Jumat, 18 Maret 2011

Terobosan

Jumat siang, 11 Februari 2011, di Aula Timur Institut Teknologi Bandung yang ramai. Lima pelajar Bandung memberi kuliah umum. “Mahasiswa” mereka guru, dosen, anggota DPR, mahasiswa, dan masyarakat umum. Mereka Arrival Dwi Sentosa (kelas VIII SMPN 48 Bandung), Taufik Aditya Utama (kelas XI SMAN 25 Bandung), Muhammad Yahya Harlan (kelas VII SMP Alam Bandung), Fahma Waluya Rosmansyah (SMP kelas VII), dan Hania Racika Rosmansyah (kelas 1 SD).
  
Disiarkan langsung oleh stasiun televisi TV One, mereka mendemonstrasikan karya terbaiknya ke seantero tanah air. Arrival Dwi Sentosa dan Taufik Aditya Utama dengan antivirus bernama ARTAV (akronim dari Arrival Taufik Antivirus). Muhammad Yahya Harlan dengan situs jejaring sosial “salingsapa.com.” Sementara kakak-adik Fahma Waluya Rosmansyah dan Hania Racika Rosmansyah dengan game edukasi di telepon seluler dan komputer.

Lewat sambungan telepon, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar berjanji menggratiskan bea pembuatan hak cipta. Tak mau kalah, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa berjanji berikan beasiswa kepada mereka.

Mereka dihargai karena membuat terobosan. Terobosan tak selalu sesuatu yang baru. Sebab tak ada lagi penemuan yang baru secara otentik. Sesuatu ditemukan setelah ditemukan sesuatu sebelumnya. Sesuatu yang lama menjadi dasar penemuan sesuatu yang baru. Di dalamnya terjadi proses modifikasi; penambahan, pengurangan.

ARTAV antivirus kesekian ratus ribu. Namun kemampuannya mengundang pujian banyak kalangan. Salingsapa mengikuti jejak jejaring sosial Facebook, namun penambahan fitur-fitur islami membuat orang-orang berdecak kagum. Game untuk ponsel dan komputer “barang lama”, namun kreativitas mereka yang terbaik dalam ajang Asia Pasifik ICT Award (APICTA) dan Indonesia ICT Awards (INAICTA) 2010.

Lalu kenapa disebut terobosan?

Bukan karena usia mereka lebih muda ketimbang orang-orang dewasa yang mestinya bisa membuat terobosan-terobosan. Itu lantaran mereka membuat sesuatu yang “tak biasa” dilakukan dan dipikirkan oleh teman-teman seusianya.
Robert Toru Kiyosaki, seorang investor, usahawan, motivator, dan penulis buku best seller Rich Dad Poor Dad’, memilih berpikir berbeda dari ayahnya. Ayahnya, seorang guru berpendidikan tinggi, selalu menekankannya untuk giat bersekolah. Tujuannya untuk mendapatkan nilai bagus di sekolah dan pekerjaan yang terjamin di masa mendatang. Intinya, selulus sekolah dengan nilai tinggi, dapat bekerja sebagai pegawai di lembaga pemerintah atau perusahaan bonafit dengan gaji besar.

Robert memilih mengikuti saran ayah temannya—seorang usahawan yang tidak berpendidikan tinggi. Sarannya: berani ambil risiko membangun usaha dan menjadi investor selulus sekolah. Dan Robert berhasil. Ia mengaku bisa pensiun—artinya tak perlu lagi bekerja keras mencari uang—di usia 40-an!

Robert melakukan terobosan: berpikir berbeda dari kebanyakan teman-teman seusianya. Namun ia tidak pongah. Ilmu dari ayah kandungnya tak disia-siakan. Ia menjadi pengajar banyak orang mengenai pendidikan ekonomi yang diciptakannya.

Maka untuk jadi penerobos harus berani berpikir berbeda. Berani? Ya, sebab banyak orang yang tidak berani berpikir berbeda. Banyak orang senang menjadi orang biasa dan merasa nyaman punya pikiran yang sama dengan orang lain. Mereka bangga dan mencukupkan diri menjadi pengagum orang yang berani berpikir berbeda.*

Kamis, 10 Maret 2011

Menerbitkan Buku Indie untuk Mengurai Sebagian Sejarah Hidup

Ketika saya menulis pengalaman ihwal hari-hari mengajar di sebuah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dalam bentuk blog, yang saya tulis usai mengajar seminggu tiga kali dalam rentang akhir Januari 2008 hingga akhir 2009, saya tak berpikir untuk membukukannya. Naskah-naskah itu saya biarkan mengendap di blog saya dan akun Facebook. Saya juga membuat blog khusus PAUD yang berisi foto-foto kegiatan seputar pengajaran dan kegiatan PAUD.

Namun ketika PAUD Nusa Indah, tempat saya mengajar, menginjak usia 3 tahun, saya berpikir untuk membuat buku tentangnya. Apalagi pengalaman mengajar yang saya tulis memuat pula sejarah berdiri dan beragam kegiatan PAUD, maka saya membulatkan diri untuk membukukannya.

Saat berpikir untuk mengirimkan naskah ke penerbit, saya merasa tak yakin penerbit tertarik membukukannya. Sebab kebanyakan tulisan bersisi pengalaman saya yang belum terkenal apa-apa. Jika diterbitkan, entah berapa lama bisa beredar ke pasaran. Sementara persiapan ulang tahun PAUD tak lama lagi—Ulang Tahun PAUD Nusa Indah tiap 8 Februari.

Maka saya meneguhkan diri untuk membukukannya secara mandiri. Saya persiapkan segalanya. Saya beli mesin cetak printer. Menyusun kumpulan naskah, mengeditnya, menampilkannya bersama foto-foto, memfotokopi, kemudian menyusun ulang hingga jadi buku.

Kendati untuk konsumsi terbatas, saya tidak mau tampilan buku sembarangan. Dengan keterbatasan keterampilan dan pengetahuan mendesain buku, dan memang ini pengalaman pertama mendesain buku, saya membuat tata letak sebaik mungkin. Naskah tulisan juga telah melalui proses editing yang ketat, baik tata bahasa maupun penyampaian. Hingga, pada bagian akhir, yaitu proses pencetakan, saya tak bisa memaksakan diri; fotokopi yang tidak bagus serta penjilidan softcover yang tidak sempurna. Namun itu tak banyak berarti. Buku difotokopi sebanyak empat eksemplar.

Buku memuat 23 tulisan yang disusun berdasarkan waktu penulisan. Merentang waktu dari Februari 2008 hingga Oktober 2009. Judul buku “Pelangi di Ujung Gerimis”, diambil dari salah satu ungkapan di artikel bertajuk “Pak Guru Itu Aku” (hal. 67).

Pada perjalanannya, dari awalnya saya meniatkan buku untuk PAUD dan pengurus RW, tetapi buku ini teryata dimiliki oleh orang-orang “istimewa”. Pertama, pengurus PAUD. Kedua, salah satu peserta pelatihan menulis. Ketiga, anggota DPRD DKI Jakarta yang mengadakan kunjungan ke PAUD Nusa Indah. Buku ini awalnya milik pengurus RW, tetapi mereka memberikan lagi ke saya untuk diberikan ke anggota DPRD. Keempat, perempuan yang saya pinang sebagai bahan pertimbangan.

Salah satu tujuan saya membukukan tulisan adalah membuat “bangunan sejarah hidup” dengan ribuan deret kalimat. Kapanpun saya bisa mempelajarinya kembali. Orang-orang yang membacanya dapat meraba sifat dan karakter saya, pengharapan dan kegelisahan hidup saya.

Sebagaimana tertuang dalam selembar halaman di buku itu, saya mempersembahkan buku itu “Untuk siswa-siswiku calon pemimpin bangsa yang sedang belajar menjadi manusia, serta guru dan tutor PAUD Nusa Indah yang mengabdikan diri secara ikhlas mendidik calon tokoh besar.”

Dari penerbitan mandiri ini saya berniat menerbitkan buku yang lain. Buku berisi kumpulan tulisan yang merangkum sebagian sejarah hidup saya. Ini akan menjadi sarana saya untuk berbagi, dalam suka maupun duka. Dengan membuat buku, hidup menjadi lebih hidup.


Rabu, 09 Maret 2011

Film Setan dan Ironisme Masyarakat Kita

Dua tetangga berusia balita kompak mendekati saya lalu berkata, “Om, lihat setan, dong!” Mereka merujuk pada notebook yang saya pakai.

“Om nggak punya setan. Takut!”

“Ah, Om bohong!”

Barangkali ini salah saya bahwa suatu hari saya menunjukkan gambar setan lewat tayangan internet kepada mereka. Bukannya takut, mereka malah senang. Padahal saya pikir buat apa melihat gambar setan kalau sekadar untuk bersenang-senang.

Tapi saya kemudian tak memenuhi permintaan mereka. Saya sedang sebal dengan film-film Indonesia yang sedang beredar di tengah isu penarikan film Holywood dari gedung bioskop negeri ini.

Seorang reporter televisi swasta menyampaikan isu tersebut dengan latar belakang dua layar besar bergambar film bertema setan di halaman sebuah bioskop terkenal di bilangan Cikini, Jakarta Pusat. Tayangan ini seolah menyindir film produksi dalam negeri, seakan tayangan itu ingin berkata, “Jika film Holwood tak lagi beredar, maka film-film setan lokal akan makin leluasa bergentayangan. Masyarakat tak punya banyak pilihan tontonan.”
Memang ini semacam peringatan. Film tentang beragam jenis setan (pocong, kuntil anak, genderuwo, dll) kembali marak menyambangi bioskop-bioskop lokal. Tetapi saya menyebut film tersebut bukan bergenre horor, melainkan seks. Ya, film seks dibalut horor. Tak ketinggalan disusupi humor.

Kenapa film seks? Sebab rata-rata adegan dan gambar yang disajikan didominasi oleh unsur-unsur seks, seperti adegan yang mengarah pada kegiatan seks, perempuan-perempuan dengan pakaian minim, dan dialog-dialog picisan yang mengarah pada wacana seksualitas.

Kombinasi lainnya yaitu seks, horor, dan sadisme. Ini merupakan tipikal film Holywood. Pada ranah inilah eksplorasi terhadap perilaku binatang yang dilakukan manusia diumbar habis-habisan. Bagaimana kegiatan membunuh, menyiksa, dan bentuk kesadisan lainnya dieksplorasi sedemikian detail. Tak ada ruang moral di sini, malah diharamkan.

Apakah ada imbas dalam paradigma orang-orang yang menggemari film seperti itu? Pastilah ada. Itu tercermin dari sikap dan cara berpikir mereka. Memang belum ada penelitian yang menyatakan penggemar film seks plus horor plus sadisme akan berperangai merusak. Tapi, perilaku salah dalam tayangan yang sering dilihat akan mengubah cara pandang seseorang dalam meninjau ulang kebenaran yang dipegangnya.

Kendati tak pernah nonton bioskop, dua balita tetangga saya seolah telah menganggap setan bukan lagi makhluk yang menakutkan—ini sangat berbeda waktu zaman saya dulu yang takut dengan setan walau tak pernah melihatnya. Ah, barangkali mereka sudah menonton banyak film tentang setan yang juga marak di televisi.

Saya tak sedang mengajak untuk menakuti setan. Saya cuma khawatir, perilaku setan berupa sadisme yang ditayangkan dalam film seks berbau horor perlahan menyusup ke otak bawah sadar generasi penerus bangsa.

Film seks berbalut horor dan humor plus sadisme akan terus bergentayangan lantaran tetap diminati banyak orang. Inilah ironisme masyarakat Indonesia yang ingin modern tapi masih menyenangi klenik dan hal gaib.


Kunciran, Tangerang. 09.22 WIB.

Dongeng dan Rekonstruksi Citra

Alkisah di sebuah negeri, lahir seorang putri yang cantik jelita. Gilang Rukmini namanya. Kecantikannya luar biasa, membuat Raja dan Ratu selalu memanjakannya, membuat rakyat bergelimang gembira.

Semakin meningkat usia, kecantikan putri itu bertambah-tambah. Rakyatnya memuja kecantikan putri dengan memberikan berbagai perhiasan dan hasil bumi kepadanya.

Namun perilaku Sang Putri membuat Raja dan Ratu mengurut dada. Dimanja-manja sejak balita membuatnya bertingkah semaunya. Tapi rakyat yang memuja kecantikan Putri tetap mengirimkan perhiasan dan hasil bumi terbaiknya.

Menjelang ulang tahunnya ke-17, Sang Raja membawa sebagian perhiasan ke pembuat kalung. Kalung terindah diberikan saat pesta ulang tahun Sang Putri. Tapi semua terpana. Sang Putri tak suka pemberian Raja, lalu mencampakannya begitu saja.

Raja dan Ratu sedih lalu menangis. Rakyat ikut menangis. Air mata mereka tumpah ruah, menggenang menjadi danau. Danau Telaga warna.
Kira-kira begitulah isi dongeng yang dibawakan seorang pendongeng di sebuah stasiun televisi swasta tadi pagi, 8 Maret 2011. Pendongeng menceritakan ketakjuban pada kecantikan Putri berulang kali dan inilah yang membuat penulis bertanya-tanya.

Pesan apa yang hendak disampaikan dari dongeng itu? Di akhir cerita pendongeng berkata: hikmahnya adalah kita harus mensyukuri pemberian orang lain.

Sepertinya pesan terakhir si pendongeng mengundang lagi koreksi terhadap dongeng yang disampaikannya. Pertama, hikmah yang dipaksakan. Tak ada dalam narasi cerita bahwa tokoh mensyukuri pemberian yang diterimanya. Sebaliknya, sang tokoh (Putri) menyia-nyiakan pemberian Raja. Bukannya Sang Putri dapat celaka, sebaliknya orang-orang menerima derita. Dalam cerita anak-anak, termasuk dongeng, setahu penulis, diakhiri dengan situasi di mana orang jahat mendapat hukuman dan orang baik diganjar kegembiraan.

Kedua, pembalikan logika. Dalam cerita anak, berlaku pakem sebab-akibat: yang baik berakhir gembira, yang jahat berakhir celaka. Beda dengan cerita dewasa: orang baik tak selalu berakhir gembira.

Dongeng itu tak mengganjar Putri dengan akhir yang buruk. Sebaliknya, tokoh antagonis ini “berhasil” membuat orang-orang baik menderita.

Penulis tak tahu cerita sebenarnya ihwal Danau Telaga Warna. Apakah sejak awal diceritakan memang Sang Putri tokoh jahat yang berakhir “gembira”. Namun, alangkah bijaknya jika pendongeng melakukan rekonstruksi cerita sehingga cerita benar-benar mengandung hikmah yang bisa diteladani anak.


Rekonstruksi Cerita, Membentuk Citra
Rekonstruksi cerita perlu dilakukan sebab tak semua dongeng yang diceritakan dari generasi ke generasi baik dikonsumsi anak. Misalnya cerita Sangkuriang. Bagaimana bisa seorang anak ingin menikahi ibunya dan membunuh ayahnya?

Ditilik lebih dalam, dongeng Danau Telaga Warna yang diceritakan pendongeng di atas, secara tak disadari, hendak membentuk citra ketubuhan dalam paradigma anak-anak: jika engkau cantik, maka semua orang akan memujamu. Perilaku burukmu tak akan mengubah keadaan itu. Maka berusahalah menjadi gadis yang cantik jelita seperti seorang putri raja.

Jika dikaitkan lebih jauh, pencitraan ketubuhan perempuan terus direproduksi dalam beragam sarana: iklan, film, dan berita. Keluarannya adalah stereotip: perempuan yang cantik bertubuh langsing, berparas elok, kulitnya putih, rambutnya panjang lurus. Konstruksi seperti ini dengan sangat mudah ditemui pada sosok boneka Barbie.

Ironisnya, hal demikian disokong lewat cerita dongeng yang disukai anak-anak. Apa jadinya anak-anak perempuan dikemudian hari jika sejak kecil ditanamkan paradigma untuk mengutamakan kecantikan tubuh ketimbang kebaikan perilaku?

Memang diperlukan kejelian pendongeng dalam menyampaikan dongeng-dongeng masa lalu. Pun dalam menyampaikan dongeng-dongeng yang baru. Bagaimanapun, rekonstruksi cerita diperlukan guna memberi hikmah yang patut diteladani oleh anak-anak. Betapapun sulitnya.


Kunciran, Tangerang. 8 Maret 2011. 23.20 WIB.

Rumah Dunia, Bangun Karakter Melalui Seni dan Sastra




Bagaimana Gol A Gong mendirikan Rumah Dunia untuk membangun generasi bangsa yang berkarakter.

Cuaca di sekitar Rumah Dunia pada Ahad siang 13 Februari 2011 begitu panas. Mentari menggantung tepat di tengah langit. Tak ada tanda-tanda hujan akan turun.

Sejak awal berdiri pada Maret 2002, Rumah Dunia yang beralamat di Kompleks Hegar Alam No. 40 Ciloang, Serang, Banten, identik dengan buku, perpustakaan, dan aktivitas baca-tulis. Dan, siang itu, dari pinggir jalan di Kampung Ciloang, Serang, Banten, tampak beberapa kendaraan ‘aneh’ terpaku ditempatnya.

Di pinggir sebelah kanan pintu masuk, sebuah bajaj berdiri gagah. Di badan kendaraan beroda tiga asal India itu terlukis dua anak sedang membaca buku. Dekat lapangan sepak bola teronggok badan kendaraan bertulis ‘Mobile Library’. Ada pula ‘Perpustakaan Motor’ dekat situ.

Yang mencolok adalah kumpulan buku dan majalah yang terserak begitu saja di atas rak buku yang ternaungi tenda hitam. Barangkali anak-anak kampung telah menikmati aneka bacaan itu dan ‘lupa’ membereskannya.

Sebuah rumah beratap rumbia dengan dinding penuh tempelan lukisan anak-anak tak kalah mencoloknya. Plang di bagian atas rumah itu tertera ‘Balai Belajar Bersama Rumah Dunia’.

Di depan rumah itu terbentang lapangan berlantai ubin hitam, agak luas, dilengkapi dipan panjang dari jalinan batang bambu. Inilah Teater Terbuka yang digunakan pegiat seni Rumah Dunia untuk unjuk kemampuan. Semuanya berada dalam kawasan Taman Budaya Rumah Dunia, sebuah areal seluas 3.000 m2 yang letaknya di luar kompleks Rumah Dunia—letak keduanya berdekatan.

Pembebasan lahan
Pengadaan Taman Budaya Rumah Dunia (TBRD) melalui pembebasan tanah melibatkan banyak orang. Rumah Dunia membuka diri bagi donatur yang ingin turut menyumbang. Pengumuman salah satunya disiarkan lewat situs jejaring sosial Facebook. Kini tinggal tanah seluas 1.800 m2 yang hendak dibebaskan.

Pendiri Rumah Dunia Gol A Gong berharap tanah tersebut bisa dibebaskan sebelum akhir tahun ini. Sebab, ke depan, TBRD akan menjadi role model, proyek percontohan, bagi pusat budaya dan taman bacaan di nusantara. “Kalau kita bersatu padu membebaskan ini, saya berani menjadi duta untuk membebaskan tanah di tempat lain,” kata Ketua Umum Forum Taman Bacaan Masyarakat ini.

Harga per meter tanah tersebut Rp 200 ribu. Total harga Rp 370 jutaan. Pembayaran dilakukan secara bertahap. Uang muka yang sudah dibayarkan Rp 74.800.000. Pembayaran tahap kedua pada Juli mendatang Rp 149 juta. Pembayaran berikutnya pada Desember Rp 149 juta. Dana baru terkumpul Rp 26 juta. “Saya selalu optimis kalau ada jalan, tapi jalannya yang mana nih,” ujar Gong di kedai depan TBRD.

Pendidikan karakter
Gong yakin ‘revolusi’ dimulai dari kampung. “Karena Indonesia hanya bisa diselamatkan dari kampung,” tegasnya. Orang-orang kampung ke kota (urbanisasi) lantaran masyarakat kota melakukan ‘provokasi’; fasilitas umum serba wah, pusat perbelanjaan menjamur, tempat hiburan di mana-mana.

Sayangnya, saat di kota, mereka hanya menjadi warga marjinal lantaran tak punya cukup kecakapan untuk bekerja. Sebagian menggelandang dan menjalani pekerjaan tak manusiawi; penjahat, bodyguard, copet, dan lain-lain. “Orang-orang kota sebagai simbol modernisasi membiarkan orang-orang kampung. Itu proyek mereka,” ungkap Gong. “Anak jalanan dibiarkan tumbuh.”

Maka Gong berusaha membangun kampung. Caranya lewat kegiatan seni dan sastra. Ia mendirikan panggung sebagai sarana pembentukan karakter. “Karena panggung bisa membuat orang berbeda,” katanya. “Tidak semua orang berani berdiri di panggung kalau dia tidak luar biasa.”

Selalu Gong katakan pada anak-anak pegiat Rumah Dunia, bahwa hanya orang hebat yang ada di panggung, berdiri dan berbicara pada banyak orang. “Untuk bisa hebat dia harus membaca, dengan membaca otak terisi penuh. Itu wawasan,” katanya. “Dengan wawasan dia lebih dari yang lain. Itu karakter calon pemimpin; percaya diri, bicara tidak tong kosong nyaring bunyinya, terstruktur, dan ada manfaatnya.”

Di panggung anak langsung tampil, bercerita apa saja termasuk tentang keluarganya. “Tidak malu bicara bapaknya tukang ojek, dan sebagainya. Itu karakter,” ujar Gong. Beda dengan para pemimpin sekarang yang tidak dilatih karakter sehingga orientasi hidupnya hanya materi. “Dia malu menyebut dirinya tidak sarjana. Sekarang yang terjadi memalsukan ijazah,” tambahnya. 

Nakal kreatif
Gong melihat pendidikan karakter kurang ditanamkan di sekolah-sekolah. Guru tak bisa memahami karakter siswa yang dinamis. Mestinya guru memberi keleluasan pada siswa untuk berekspresi dna menyampaikan pendapat. “Berikan pelajaran berbicara satu jam saja satu minggu,” ujarnya. “Mereka disuruh bicara di depan teman-temannya, berbicara apa saja.”

Gong berharap siswa kreatif, lebih jauh lagi ‘nakal’. Nakal kreatif. Misalnya saat guru menerangkan pelajaran, siswa berani memprotes.

Satu lagi yang ia tekankan adalah budaya membaca di kalangan siswa. “Baca buku dan beli buku. Ramaikan perpustakaan!” pesannya.