Jumat siang, 11 Februari 2011, di Aula Timur Institut Teknologi Bandung yang ramai. Lima pelajar Bandung memberi kuliah umum. “Mahasiswa” mereka guru, dosen, anggota DPR, mahasiswa, dan masyarakat umum. Mereka Arrival Dwi Sentosa (kelas VIII SMPN 48 Bandung), Taufik Aditya Utama (kelas XI SMAN 25 Bandung), Muhammad Yahya Harlan (kelas VII SMP Alam Bandung), Fahma Waluya Rosmansyah (SMP kelas VII), dan Hania Racika Rosmansyah (kelas 1 SD).
Disiarkan langsung oleh stasiun televisi TV One, mereka mendemonstrasikan karya terbaiknya ke seantero tanah air. Arrival Dwi Sentosa dan Taufik Aditya Utama dengan antivirus bernama ARTAV (akronim dari Arrival Taufik Antivirus). Muhammad Yahya Harlan dengan situs jejaring sosial “salingsapa.com.” Sementara kakak-adik Fahma Waluya Rosmansyah dan Hania Racika Rosmansyah dengan game edukasi di telepon seluler dan komputer.
Lewat sambungan telepon, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar berjanji menggratiskan bea pembuatan hak cipta. Tak mau kalah, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa berjanji berikan beasiswa kepada mereka.
Mereka dihargai karena membuat terobosan. Terobosan tak selalu sesuatu yang baru. Sebab tak ada lagi penemuan yang baru secara otentik. Sesuatu ditemukan setelah ditemukan sesuatu sebelumnya. Sesuatu yang lama menjadi dasar penemuan sesuatu yang baru. Di dalamnya terjadi proses modifikasi; penambahan, pengurangan.
ARTAV antivirus kesekian ratus ribu. Namun kemampuannya mengundang pujian banyak kalangan. Salingsapa mengikuti jejak jejaring sosial Facebook, namun penambahan fitur-fitur islami membuat orang-orang berdecak kagum. Game untuk ponsel dan komputer “barang lama”, namun kreativitas mereka yang terbaik dalam ajang Asia Pasifik ICT Award (APICTA) dan Indonesia ICT Awards (INAICTA) 2010.
Lalu kenapa disebut terobosan?
Bukan karena usia mereka lebih muda ketimbang orang-orang dewasa yang mestinya bisa membuat terobosan-terobosan. Itu lantaran mereka membuat sesuatu yang “tak biasa” dilakukan dan dipikirkan oleh teman-teman seusianya.
Robert Toru Kiyosaki, seorang investor, usahawan, motivator, dan penulis buku best seller ‘Rich Dad Poor Dad’, memilih berpikir berbeda dari ayahnya. Ayahnya, seorang guru berpendidikan tinggi, selalu menekankannya untuk giat bersekolah. Tujuannya untuk mendapatkan nilai bagus di sekolah dan pekerjaan yang terjamin di masa mendatang. Intinya, selulus sekolah dengan nilai tinggi, dapat bekerja sebagai pegawai di lembaga pemerintah atau perusahaan bonafit dengan gaji besar.
Robert memilih mengikuti saran ayah temannya—seorang usahawan yang tidak berpendidikan tinggi. Sarannya: berani ambil risiko membangun usaha dan menjadi investor selulus sekolah. Dan Robert berhasil. Ia mengaku bisa pensiun—artinya tak perlu lagi bekerja keras mencari uang—di usia 40-an!
Robert melakukan terobosan: berpikir berbeda dari kebanyakan teman-teman seusianya. Namun ia tidak pongah. Ilmu dari ayah kandungnya tak disia-siakan. Ia menjadi pengajar banyak orang mengenai pendidikan ekonomi yang diciptakannya.
Maka untuk jadi penerobos harus berani berpikir berbeda. Berani? Ya, sebab banyak orang yang tidak berani berpikir berbeda. Banyak orang senang menjadi orang biasa dan merasa nyaman punya pikiran yang sama dengan orang lain. Mereka bangga dan mencukupkan diri menjadi pengagum orang yang berani berpikir berbeda.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar