Total Tayangan Halaman

Minggu, 19 Februari 2012

Kampanye



Menyimak pengakuan sejumlah orang yang pernah mencalonkan diri jadi gubernur, di televisi, yang mengeluarkan miliaran rupiah, membuat bulu kuduk saya berdiri. Gamawan Fauzi, Menteri Dalam Negeri, habiskan Rp 3 miliar saat pencalonan diri gubernur Sumatera Barat. Abdul Wahab, calon gubernur Sumatera Utara, habis Rp 35 miliar. Marissa Haque mengeluarkan Rp 1 miliar dari kantong pribadi plus Rp 1,5 miliar dari rekan-rekannya saat bertarung dalam pemilihan gubernur Banten.

Kebanyakan uang itu mengalir ke partai politik. Partai politik, singkatnya, bagi sebagian orang, dijadikan mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM), difungsikan sebagai alat mencari uang. Calon yang terpilih jadi gubernur pun akhirnya berupaya mati-matian untuk mengembalikan uang miliaran rupiah yang habis diisap partai politik. Sistem politik materialistis ini menciptakan banyak koruptor. Namun bukan soal ini yang hendak saya kisahkan.

Tiga tahun lalu, tahun 2009, saat pemilihan calon legislatif (caleg), dua caleg dari dua partai besar menyambangi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Nusa Indah Duren Sawit Jakarta Timur, tempat saya mengajar. Saya terkagum-kagum sendiri dengan “reputasi” PAUD Nusa Indah. Bagaimana bisa PAUD di sebuah kampung jadi salah satu lokasi kampanye dua caleg partai besar?

Caleg pertama bernama Selamat Nurdin dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ia kini Ketua Fraksi PKS di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DKI Jakarta. Caleg kedua bernama Hayono Isman dari Partai Demokrat, kini anggota Dewan Perwakilan Rakyat. 

Saya tidak tahu bagaimana proses mereka memilih kampanye di Kampung Cilungup. Namun saya yakin ini merupakan “kepintaran” pengurus Rukun Warga (RW) 01 Kelurahan Duren Sawit dalam meyakinkan tim kampanye dua caleg tersebut. Dan saya tak tahu imbalan apa yang mereka terima atas keberhasilan memberi tempat dan massa.

Kami, pengurus PAUD, tak terlibat dan dilibatkan dalam proses tersebut. Kami hanya menerima instruksi dari pengurus RW bahwa pada hari yang telah ditentukan, yaitu usai kegiatan belajar-mengajar PAUD digelar, orangtua siswa tidak boleh pulang dulu. Harus menyimak kampanye caleg partai. Menghadapi kondisi yang tak punya pilihan begitu, akhirnya kami berpikir pragmatis saja: keuntungan apa yang bisa kami dapatkan dari kedatangan mereka. Harus ada simbiosis mutualisme, saling menguntungkan.

Perlu diketahui, pendirian PAUD Nusa Indah pada Februari 2008 merupakan inisiatif warga Kampung Cilungup. Warga kampung kebanyakan miskin, tak mampu menyekolahkan anak balitanya ke Taman Kanak-kanak yang berbiaya tinggi. Lokasi belajarnya di Balai Warga yang sempit dan harus menutup jalan gang jika kegiatan belajar-mengajar digelar.

Orangtua murid ditarik iuran Rp 10.000 per bulan. Dalam seminggu ada tiga kali pertemuan. Namun percayalah, untuk mendapatkan iuran itu saja sulitnya minta ampun. Belakangan kami ketahui, orangtua lebih mengutamakan uang jajan anak yang melebihi Rp 1.000 per hari dan jatah rokok sang ayah. Ini salah satu masalah yang dihadapi orang kampung.    

Jadi jangan salahkan kami jika berpikir pragmatis. Mengandalkan masyarakat untuk pengadaan alat belajar sangatlah sulit. Pemerintah pun absen. Sejak awal berdiri hingga akhir 2010, tak ada bantuan pemerintah, kelurahan sekalipun.

Bu Pepen, pengurus PAUD dan Ketua Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), berinisiatif membuat proposal. Proposal isinya permohonan bantuan pengadaan sarana-prasarana pembelajaran PAUD.

Caleg PKS tak beri apa-apa selain seorang psikolog yang membagi gratis ilmu bagaimana mendidik anak. Sementara caleg Demokrat memberi sumbangan Rp 100 ribu per bulan untuk operasional PAUD dan beberapa pasang kursi dan meja belajar—istri Hayono Isman memberi sumbangan rutin kepada sejumlah PAUD.

Sumbangan itu, sekecil apapun, sangat berharga dan kami syukuri. Ibu-ibu orangtua siswa dapat tambahan ilmu baru—kegiatan ini pun diteruskan jadi kegiatan rutin Bina Keluarga Balita (BKB)-PAUD dengan mengundang psikolog lain. Dana Rp 100 ribu per bulan bermanfaat untuk tambah-tambah biaya operasional. Sejumlah pasang kursi dan meja belajar juga memberi kesempatan lebih banyak siswa dapat duduk dengan layak saat belajar—sebelumnya siswa belajar di atas tikar.

Belakangan, usai pemilu, PAUD Nusa Indah juga dikunjungi lima anggota dari Fraksi Partai Demokrat DPRD DKI Jakarta yang sedang reses. Setelah sosialisasi dan berdiskusi dengan masyarakat di Balai Warga, kami menggiring mereka untuk mengunjungi bangunan PAUD Nusa Indah yang sedang dibangun di atas kebun. Tentu saja, setelah itu, minta mereka untuk beri bantuan.   


Layak jual
Kembali ke pertanyan di atas, reputasi apa yang dimiliki PAUD Nusa Indah sehingga “layak jual”?

Berikut ini fakta-faktanya. Alat pembelajaran sangat terbatas. Latar belakang ekonomi orangtua siswa mayoritas berpendapatan rendah (sopir, tukang lemari, buruh cuci, pembantu rumah tangga, pekerja bangunan, pekerja serabutan). Latar belakang pendidikan orangtua pun maksimal lulusan SMA—latar belakang ini berpengaruh pada pola asuh anak di rumah.

Namun, tiap mengikuti lomba PAUD dan TK, siswa-siswi PAUD Nusa Indah selalu mengukir prestasi. Ini tentu menjadi kebanggan tersendiri bagi orangtua dan guru. Kegiatan di luar pun, oleh pengurus PAUD, diupayakan rutin digelar, seperti berenang dan wisata murah meriah. PAUD Nusa Indah pun sudah menelurkan sejumlah alumni yang berhasil meneruskan pendidikan ke jenjang SD.

Barangkali beberapa pencapaian itulah, ditambah biaya pendidikan yang sangat murah, masyarakat seakan berlomba-lomba memasukkan anaknya ke PAUD Nusa Indah. Tiap penerimaan siswa baru, selalu saja jumlahnya fantastis dan membeludak. Kuota yang telah ditetapkan selalu dilanggar karena tak tega menolak siswa.

Saya mendengar pengelola TK yang tersebar di kampung Cilungup ketar-ketir. Kabarnya pula sebuah PAUD yang baru berdiri dan dikelola swasta gulung tikar lantaran kekurangan siswa. PAUD Nusa Indah seperti menjadi “ancaman” bagi bisnis pendidikan.     

Beberapa pengurus RW mendengar pujian warga terhadap prestasi PAUD Nusa Indah. Barangkali itulah yang membuat mereka berani “menawarkan” PAUD Nusa Indah sebagai sasaran kampanye.  

Di tengah berbagai keterbatasan upaya untuk terus bertahan dan menjaga kualitas, kesadaran untuk mengelola PAUD secara profesional terus bergelora di kalangan pengurus dan guru. Memang, mestinya, kampanye di lembaga pendidikan tidak boleh. Namun, jika itu terpaksa terjadi, apa boleh buat.     



Billy Antoro
Tangerang, 17 Februari 2012

Moral Fungsional


Di negeri ini, bicara tentang moral sangatlah riskan. Apalagi jika sifatnya menggugat: di mana moral mereka? Sebab, kadang tak bisa dihindari, pertanyaan itu jadi bumerang bagi diri penggugat: janganlah bicara soal kebenaran kalau Anda pernah berbuat salah.

Namun, jika hal demikian dituruti, siapa manusia di negeri ini yang suci dari berbuat salah? Persoalannya, banyak contoh, orang-orang yang bicara soal moral jatuh karena perbuatan amoralnya terungkap.

Maka, untuk mencari aman, sebagian orang membicarakan moral dengan menutup sebelah hati. Dimunculkan dikotomi antara ilmu dan kesadaran. Moralnya dibangun dengan irisan ilmu dan kesadaran yang menguntungkannya, yang mendukung apapun perilaku menyimpangnya, dan siap membungkam irisan moral dan kesadaran lain yang menjerit-jerit mengusik nuraninya.

Jadi janganlah heran jika orang-orang macam itu berani tampil gagah saat bicara tentang kebenaran. Juga hal-hal ilmiah dan logis. Profesi mereka pun hebat-hebat. Ada pejabat, guru, dosen, menteri, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), gubernur, bupati, lurah.

Beberapa tahun lalu, seorang dosen kriminologi yang juga anggota Komisi Pemilihan Umum masuk penjara gara-gara tertangkap basah melakukan penyuapan. Moral apa yang dibangunnya berkaitan relasi antara ilmu hukum dan perbuatan menyuap?

Kini, seorang dosen ekonomi Universitas Indonesia terus mengajar mahasiswa kendati berstatus tersangka kasus penyuapan. Logika ekonomi seperti apa yang dibangunnya untuk mendapatkan kedamaian dari jalinan ilmu ekonomi dan korupsi? Bukankah ilmu ekonomi mengkategorikan penyuapan sebagai perbuatan amoral dan merusak tatanan ekonomi sehingga harus dihindari?

Di Tangerang, guru memerkosa muridnya. Apakah status dan ilmu yang diajarkannya membenarkan perbuatan itu?

Ilmu, bagi banyak orang, tak berhubungan dengan moral. Maka tak heran penjahat besar banyak bergelar doktor, master, dan sarjana. Ilmu tak difungsikan sebagai sarana untuk menjadi manusia berguna, melainkan supaya jadi serigala.

Ironisnya, moral, bagi sebagian orang, tak berhubungan dengan ajaran agama. Maka tak aneh jika penjahat kelas kakap bergelar haji, namanya menyandang nama nabi dan gelar Tuhan, amalannya berimbang antara ibadah dan maksiat.      

Yang makin bingung anak-anak usia sekolah. Di rumah, perilaku sebagian orangtua buruk: egois, mau menang sendiri, haus dihormati, kata-katanya harus dituruti. Di luar rumah, aktivitas lingkungan masyarakatnya gemar saling melukai dan membunuh dalam ajang tawuran massal. Berbeda pandangan atau tersinggung sedikit, pukul. Tak puas, lapor ke polisi. Demonstrasi diartikan merusak dan membakar fasilitas umum. Sementara mereka ditekan untuk menjadi orang baik yang artinya tak boleh mencontoh apa yang dipraktikkan orangtua dan lingkungannya. Akhirnya mereka berontak dan memutuskan aktif dalam “ekstrakurikuler” populer: tawuran pelajar.

Hanya di sekolah mereka bisa sedikit berpikir rasional. Di sekolah bagus, perilaku mereka bisa terjaga. Di sekolah buruk, perbuatan mereka berubah serigala.

Maka moral pada akhirnya bernasib sama dengan kebenaran: bersifat relatif. Bermoral bagi sebagian orang namun tak bermoral bagi sebagian lain. Sebab moralitas murni tak ada lagi. Yang ada moralitas berbalut kepentingan.


Filosofis versus fungsional
Dalam ilmu jurnalistik dikenal kebenaran filosofis dan kebenaran fungsional. Dikotomi ini digunakan untuk mencari jalan tengah bagi penyelesaian konflik yang berujung pada penafsiran dan pemahaman ihwal kebenaran yang dianut tiap orang. Apalagi jika konflik melibatkan antarpemeluk agama. Kebenaran akan keyakinan yang dianut bersifat mutlak, perbedaan dianggap salah dan tak ada toleransi bagi perbedaan itu. Pada gilirannya persoalan duniawi yang sederhana menjadi rumit. Semua menutup mata pada pemecahan masalah yang elegan sebagaimana diajarkan sang penerima wahyu.

Itulah jika penyelesaian masalah menggunakan kebenaran filosofis. Sebaiknya, masalah diselesaikan dengan kebenaran fungsional. Perbuatan buruk, kendati dilakukan oleh orang yang rajin ibadah atau bergelar doktor, tetap saja dipandang buruk. Tak ada hubungannya antara perbuatan buruknya dengan ibadah dan keilmuan yang dikenyamnya.

Penjahat tetaplah harus dihukum. Tak memandang agama, suku, ras, golongan, dan status sosial. Sebab, pada dasarnya, perbuatan jahatnya merupakan bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai luhur yang membentuk dan memberikan identitas kepada dirinya.

Moral, tak ayal, dapat diletakkan pada posisi tersebut: moral ditegakkan secara fungsional. Dengan begitu, moral berkaitan dan berpengaruh pada profesi dan status sosial seseorang. Terlebih profesi dan status itu berkaitan dengan pelayanan publik dan relasi dengan banyak orang.

Dosen yang telah menyandang status tersangka penyuapan/korupsi mestinya tak boleh mengajar lagi. Penetapan status tersangka telah membuatnya cacat secara moral dan cacat moral itu merusak tatanan ilmu yang diajarkannya serta institusi yang menaunginya. Guru yang memerkosa tak boleh lagi mengajar karena pemerkosaan itu amoral dan merusak citra guru sebagai profesi mulia. Kepala sekolah yang korupsi harus diberhentikan dan diproses hukum, bukan dipindah ke sekolah lain sebagai kepala sekolah atau guru biasa. Sebab korupsi itu amoral yang merusak profesi mulia guru dan kepala sekolah sebagai pendidik dan praktisi manajemen (sekolah).

Begitu pula di gedung batok kelapa itu. Anggota DPR yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi harus dipecat, sebab perbuatan amoralnya itu merusak citra DPR. Partai politik pun harusnya demikian. Anggota yang terkena kasus korupsi, baik sudah ditetapkan jadi tersangka, terdakwa, ataupun terpidana, harus dipecat dengan tidak hormat dari keanggotaan partai.

Pada dasarnya, tak ada koruptor yang melakukan aksinya karena terpaksa. Mereka melakukan dengan penuh kesadaran, terencana, dan sistematis, dan tahu bahwa perbuatannya merugikan rakyat dan menafikan ajaran agama.

Hakikatnya mereka adalah benalu. Dipotong daunnya, akan tumbuh lagi daun baru. Dipotong dahannya, akan tumbuh lagi dahan baru. Agar tak tumbuh lagi, akarlah yang harus dibasmi. Malah, pada pohon, bagian dahan yang ditumbuhi benalu dipotong.

Negeri ini butuh orang-orang bermoral yang menjaga integritas pada profesi dan status sosialnya. Kesadaran untuk menyingkirkan orang-orang tak bermoral dari lingkup kehidupan berbangsa dan bernegara harus terus diembuskan. Sebab, anehnya, lambat laun makin banyak tersingkap orang-orang tak bermoral menguasai sendi-sendi kehidupan negeri ini. Tapi, berharap pemerintah, pejabat, partai politik, dan anggota DPR berubah sungguhlah riskan. Sama riskannya ketika kita bicara tentang moral.



Billy Antoro
Tangerang, Jumat 17 Februari 2012

Politisi dan Media



Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat negeri ini mendapat pesan beruntun dari Black Berry Messenger (BBM). Isinya, pada Ahad 5 Februari 2012, Komisi Pemberantasan Korupsi menggelar rapat. Dua pimpinan KPK tak setuju dengan keputusan rapat. Ketua KPK marah hingga memukul meja.

Anggota DPR itu lalu “bernyanyi” di hadapan media. Intinya, terjadi perpecahan di antara pimpinan KPK seakan membenarkan dugaan yang telah menyeruak lama: KPK pecah. Ia tak melakukan klarifikasi kepada pimpinan KPK.

Di media, seorang pimpinan KPK memberi klarifikasi. Katanya tak ada rapat KPK pada tanggal itu. Selain tanggal merah, 5 Februari juga libur nasional: Tahun Baru Imlek. Ketua KPK pun sedang di Mekkah menjalani umroh. Keterangan tersebut membantah secara telak isi BBM itu: tak ada rapat KPK pada 5 Februari. Itu pesan sampah alias bohong.  

Besoknya gantian anggota DPR itu beri klarifikasi. Ia bersikukuh sekadar menerima pesan sampah itu. Kesan tak bersalah ditampilkannya.

Begitulah perilaku memuakkan sebagian besar politisi negeri ini: tak berani mengakui kesalahan dan kebodohan sendiri. Andai ia cerdas, setelah terima pesan BBM, ia akan menimbang-nimbang: apakah isi pesan itu benar? Mana mungkin lembaga yang dihuni Pegawai Negeri Sipil gelar rapat dihari libur nasional? Terlebih sampai menggebrak meja, kenapa dramatis sekali? Jika nuraninya sehat, ia akan mengklarifikasi langsung ihwal kebenaran pesan itu kepada pimpinan KPK.

Politisi itu tak merasa perlu tahu kebenaran faktual dari pesan yang diterima. Ia hanya peduli pada fakta bahwa ia telah menerima pesan itu. Jadi ia tak perlu melakukan klarifikasi. Ihwal pesan itu bohong soal belakangan.

Jadi layaklah dipertanyakan kualitas anggota DPR itu. Mudah sekali memercayai informasi bohong yang jika dipikirkanpun tak logis. Mestinya, anggota DPR yang mewakili ratusan juta rakyat negeri ini, memiliki kepintaran, kecerdasan, dan kualitas nurani di atas rata-rata.

Saya sering mendapat pesan layanan singkat (SMS-Short Messge Service) yang pada akhirnya langsung saya hapus. Diakhir kalimat, pesan itu berharap diteruskan ke pemilik ponsel lain. Isinya, tak diragukan lagi, tak logis. Pada beberapa kesempatan, saya bertanya pada pengirimnya. Jawabannya seragam: hanya meneruskan pesan. Mereka pun tak tahu kebenaran pesan itu.

Pernah, sebuah SMS mampir di telepon seluler (ponsel) saya. Isinya anjuran agar meneruskan ucapan selamat ulang tahun mantan Presiden Soeharto ke sepuluh pemilik ponsel lain. Imbalannya, ponsel akan otomatis terisi Rp 50 ribu usai meneruskan pesan itu.

Saya tertawa usai menerima dan membaca pesan itu. Sang pengirim, seorang guru, saya tanya apakah dia sudah mendapatkan Rp 50 ribu. Katanya, dia masih menunggu. Besoknya saya tanya lagi, katanya ia tak menerima Rp 50 ribu. Dalam hati saya bertanya: bagaimana bisa seorang guru beserta kualitas di dalamnya memercayai pesan berantai yang tak bisa diklarifikasi kebenarannya?

Tentu saja ini kasuistis, tak bisa digeneralisasi. Namun, perilaku paling menyebalkan tentu saja ditunjukkan politisi itu. Ia telah melakukan kesalahan namun tak sadar telah melakukanya. Persoalannya lagi, ketika ia ditunjukkan kesalahannya dan diajak untuk berpikir logis, ia masih berusaha mengelak.    

Maka kloplah dengan isi ceramah khatib shalat Jumat tadi siang. Mengutip tulisan cendekiawan muslim Dr. Yusuf Qardhawi, khatib mengatakan bahwa kejahiliyahan masa kini yang melebihi kejahiliyahan pada masa kafir Quraisy adalah orang yang melakukan kesalahan namun tak menyadari dirinya telah berbuat salah. “Pejabat tahu korupsi itu salah, menyengsarakan rakyat, tapi mereka melakukannya dan merasa tak bersalah,” kata khatib.      

Apa pelajaran yang bisa diambil dari kesalahan dan kebodohan politisi itu? Jangan terlalu memercayai informasi yang beredar di sekitar kita! Jika ada informasi datang pada kita, langkah pertama adalah mengukur kelogisannya. Jika logis, masuk akal, langkah berikutnya memverifikasi kebenarannya. Jika tak dapat verifikasi, anggap saja itu informasi netral yang masih terus menunggu klarifikasi. Jangan gunakan untuk melegitimasi argumentasi pribadi.

Tiap hari, jutaan informasi beredar luas di media cetak dan elektronik. Ada yang benar, banyak yang salah, dan lebih banyak lagi yang perlu diverifikasi kebenarannya. Perlu ketelitian untuk memilahnya.


Billy Antoro
Tangerang, Jumat 10 Februari 2012