Di negeri ini, bicara tentang moral sangatlah riskan. Apalagi jika sifatnya menggugat: di mana moral mereka? Sebab, kadang tak bisa dihindari, pertanyaan itu jadi bumerang bagi diri penggugat: janganlah bicara soal kebenaran kalau Anda pernah berbuat salah.
Namun, jika hal demikian dituruti, siapa manusia di negeri ini yang suci dari berbuat salah? Persoalannya, banyak contoh, orang-orang yang bicara soal moral jatuh karena perbuatan amoralnya terungkap.
Maka, untuk mencari aman, sebagian orang membicarakan moral dengan menutup sebelah hati. Dimunculkan dikotomi antara ilmu dan kesadaran. Moralnya dibangun dengan irisan ilmu dan kesadaran yang menguntungkannya, yang mendukung apapun perilaku menyimpangnya, dan siap membungkam irisan moral dan kesadaran lain yang menjerit-jerit mengusik nuraninya.
Jadi janganlah heran jika orang-orang macam itu berani tampil gagah saat bicara tentang kebenaran. Juga hal-hal ilmiah dan logis. Profesi mereka pun hebat-hebat. Ada pejabat, guru, dosen, menteri, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), gubernur, bupati, lurah.
Beberapa tahun lalu, seorang dosen kriminologi yang juga anggota Komisi Pemilihan Umum masuk penjara gara-gara tertangkap basah melakukan penyuapan. Moral apa yang dibangunnya berkaitan relasi antara ilmu hukum dan perbuatan menyuap?
Kini, seorang dosen ekonomi Universitas Indonesia terus mengajar mahasiswa kendati berstatus tersangka kasus penyuapan. Logika ekonomi seperti apa yang dibangunnya untuk mendapatkan kedamaian dari jalinan ilmu ekonomi dan korupsi? Bukankah ilmu ekonomi mengkategorikan penyuapan sebagai perbuatan amoral dan merusak tatanan ekonomi sehingga harus dihindari?
Di Tangerang, guru memerkosa muridnya. Apakah status dan ilmu yang diajarkannya membenarkan perbuatan itu?
Ilmu, bagi banyak orang, tak berhubungan dengan moral. Maka tak heran penjahat besar banyak bergelar doktor, master, dan sarjana. Ilmu tak difungsikan sebagai sarana untuk menjadi manusia berguna, melainkan supaya jadi serigala.
Ironisnya, moral, bagi sebagian orang, tak berhubungan dengan ajaran agama. Maka tak aneh jika penjahat kelas kakap bergelar haji, namanya menyandang nama nabi dan gelar Tuhan, amalannya berimbang antara ibadah dan maksiat.
Yang makin bingung anak-anak usia sekolah. Di rumah, perilaku sebagian orangtua buruk: egois, mau menang sendiri, haus dihormati, kata-katanya harus dituruti. Di luar rumah, aktivitas lingkungan masyarakatnya gemar saling melukai dan membunuh dalam ajang tawuran massal. Berbeda pandangan atau tersinggung sedikit, pukul. Tak puas, lapor ke polisi. Demonstrasi diartikan merusak dan membakar fasilitas umum. Sementara mereka ditekan untuk menjadi orang baik yang artinya tak boleh mencontoh apa yang dipraktikkan orangtua dan lingkungannya. Akhirnya mereka berontak dan memutuskan aktif dalam “ekstrakurikuler” populer: tawuran pelajar.
Hanya di sekolah mereka bisa sedikit berpikir rasional. Di sekolah bagus, perilaku mereka bisa terjaga. Di sekolah buruk, perbuatan mereka berubah serigala.
Maka moral pada akhirnya bernasib sama dengan kebenaran: bersifat relatif. Bermoral bagi sebagian orang namun tak bermoral bagi sebagian lain. Sebab moralitas murni tak ada lagi. Yang ada moralitas berbalut kepentingan.
Filosofis versus fungsional
Dalam ilmu jurnalistik dikenal kebenaran filosofis dan kebenaran fungsional. Dikotomi ini digunakan untuk mencari jalan tengah bagi penyelesaian konflik yang berujung pada penafsiran dan pemahaman ihwal kebenaran yang dianut tiap orang. Apalagi jika konflik melibatkan antarpemeluk agama. Kebenaran akan keyakinan yang dianut bersifat mutlak, perbedaan dianggap salah dan tak ada toleransi bagi perbedaan itu. Pada gilirannya persoalan duniawi yang sederhana menjadi rumit. Semua menutup mata pada pemecahan masalah yang elegan sebagaimana diajarkan sang penerima wahyu.
Itulah jika penyelesaian masalah menggunakan kebenaran filosofis. Sebaiknya, masalah diselesaikan dengan kebenaran fungsional. Perbuatan buruk, kendati dilakukan oleh orang yang rajin ibadah atau bergelar doktor, tetap saja dipandang buruk. Tak ada hubungannya antara perbuatan buruknya dengan ibadah dan keilmuan yang dikenyamnya.
Penjahat tetaplah harus dihukum. Tak memandang agama, suku, ras, golongan, dan status sosial. Sebab, pada dasarnya, perbuatan jahatnya merupakan bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai luhur yang membentuk dan memberikan identitas kepada dirinya.
Moral, tak ayal, dapat diletakkan pada posisi tersebut: moral ditegakkan secara fungsional. Dengan begitu, moral berkaitan dan berpengaruh pada profesi dan status sosial seseorang. Terlebih profesi dan status itu berkaitan dengan pelayanan publik dan relasi dengan banyak orang.
Dosen yang telah menyandang status tersangka penyuapan/korupsi mestinya tak boleh mengajar lagi. Penetapan status tersangka telah membuatnya cacat secara moral dan cacat moral itu merusak tatanan ilmu yang diajarkannya serta institusi yang menaunginya. Guru yang memerkosa tak boleh lagi mengajar karena pemerkosaan itu amoral dan merusak citra guru sebagai profesi mulia. Kepala sekolah yang korupsi harus diberhentikan dan diproses hukum, bukan dipindah ke sekolah lain sebagai kepala sekolah atau guru biasa. Sebab korupsi itu amoral yang merusak profesi mulia guru dan kepala sekolah sebagai pendidik dan praktisi manajemen (sekolah).
Begitu pula di gedung batok kelapa itu. Anggota DPR yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi harus dipecat, sebab perbuatan amoralnya itu merusak citra DPR. Partai politik pun harusnya demikian. Anggota yang terkena kasus korupsi, baik sudah ditetapkan jadi tersangka, terdakwa, ataupun terpidana, harus dipecat dengan tidak hormat dari keanggotaan partai.
Pada dasarnya, tak ada koruptor yang melakukan aksinya karena terpaksa. Mereka melakukan dengan penuh kesadaran, terencana, dan sistematis, dan tahu bahwa perbuatannya merugikan rakyat dan menafikan ajaran agama.
Hakikatnya mereka adalah benalu. Dipotong daunnya, akan tumbuh lagi daun baru. Dipotong dahannya, akan tumbuh lagi dahan baru. Agar tak tumbuh lagi, akarlah yang harus dibasmi. Malah, pada pohon, bagian dahan yang ditumbuhi benalu dipotong.
Negeri ini butuh orang-orang bermoral yang menjaga integritas pada profesi dan status sosialnya. Kesadaran untuk menyingkirkan orang-orang tak bermoral dari lingkup kehidupan berbangsa dan bernegara harus terus diembuskan. Sebab, anehnya, lambat laun makin banyak tersingkap orang-orang tak bermoral menguasai sendi-sendi kehidupan negeri ini. Tapi, berharap pemerintah, pejabat, partai politik, dan anggota DPR berubah sungguhlah riskan. Sama riskannya ketika kita bicara tentang moral.
Billy Antoro
Tangerang, Jumat 17 Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar