Total Tayangan Halaman

Minggu, 19 Februari 2012

Kampanye



Menyimak pengakuan sejumlah orang yang pernah mencalonkan diri jadi gubernur, di televisi, yang mengeluarkan miliaran rupiah, membuat bulu kuduk saya berdiri. Gamawan Fauzi, Menteri Dalam Negeri, habiskan Rp 3 miliar saat pencalonan diri gubernur Sumatera Barat. Abdul Wahab, calon gubernur Sumatera Utara, habis Rp 35 miliar. Marissa Haque mengeluarkan Rp 1 miliar dari kantong pribadi plus Rp 1,5 miliar dari rekan-rekannya saat bertarung dalam pemilihan gubernur Banten.

Kebanyakan uang itu mengalir ke partai politik. Partai politik, singkatnya, bagi sebagian orang, dijadikan mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM), difungsikan sebagai alat mencari uang. Calon yang terpilih jadi gubernur pun akhirnya berupaya mati-matian untuk mengembalikan uang miliaran rupiah yang habis diisap partai politik. Sistem politik materialistis ini menciptakan banyak koruptor. Namun bukan soal ini yang hendak saya kisahkan.

Tiga tahun lalu, tahun 2009, saat pemilihan calon legislatif (caleg), dua caleg dari dua partai besar menyambangi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Nusa Indah Duren Sawit Jakarta Timur, tempat saya mengajar. Saya terkagum-kagum sendiri dengan “reputasi” PAUD Nusa Indah. Bagaimana bisa PAUD di sebuah kampung jadi salah satu lokasi kampanye dua caleg partai besar?

Caleg pertama bernama Selamat Nurdin dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ia kini Ketua Fraksi PKS di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DKI Jakarta. Caleg kedua bernama Hayono Isman dari Partai Demokrat, kini anggota Dewan Perwakilan Rakyat. 

Saya tidak tahu bagaimana proses mereka memilih kampanye di Kampung Cilungup. Namun saya yakin ini merupakan “kepintaran” pengurus Rukun Warga (RW) 01 Kelurahan Duren Sawit dalam meyakinkan tim kampanye dua caleg tersebut. Dan saya tak tahu imbalan apa yang mereka terima atas keberhasilan memberi tempat dan massa.

Kami, pengurus PAUD, tak terlibat dan dilibatkan dalam proses tersebut. Kami hanya menerima instruksi dari pengurus RW bahwa pada hari yang telah ditentukan, yaitu usai kegiatan belajar-mengajar PAUD digelar, orangtua siswa tidak boleh pulang dulu. Harus menyimak kampanye caleg partai. Menghadapi kondisi yang tak punya pilihan begitu, akhirnya kami berpikir pragmatis saja: keuntungan apa yang bisa kami dapatkan dari kedatangan mereka. Harus ada simbiosis mutualisme, saling menguntungkan.

Perlu diketahui, pendirian PAUD Nusa Indah pada Februari 2008 merupakan inisiatif warga Kampung Cilungup. Warga kampung kebanyakan miskin, tak mampu menyekolahkan anak balitanya ke Taman Kanak-kanak yang berbiaya tinggi. Lokasi belajarnya di Balai Warga yang sempit dan harus menutup jalan gang jika kegiatan belajar-mengajar digelar.

Orangtua murid ditarik iuran Rp 10.000 per bulan. Dalam seminggu ada tiga kali pertemuan. Namun percayalah, untuk mendapatkan iuran itu saja sulitnya minta ampun. Belakangan kami ketahui, orangtua lebih mengutamakan uang jajan anak yang melebihi Rp 1.000 per hari dan jatah rokok sang ayah. Ini salah satu masalah yang dihadapi orang kampung.    

Jadi jangan salahkan kami jika berpikir pragmatis. Mengandalkan masyarakat untuk pengadaan alat belajar sangatlah sulit. Pemerintah pun absen. Sejak awal berdiri hingga akhir 2010, tak ada bantuan pemerintah, kelurahan sekalipun.

Bu Pepen, pengurus PAUD dan Ketua Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), berinisiatif membuat proposal. Proposal isinya permohonan bantuan pengadaan sarana-prasarana pembelajaran PAUD.

Caleg PKS tak beri apa-apa selain seorang psikolog yang membagi gratis ilmu bagaimana mendidik anak. Sementara caleg Demokrat memberi sumbangan Rp 100 ribu per bulan untuk operasional PAUD dan beberapa pasang kursi dan meja belajar—istri Hayono Isman memberi sumbangan rutin kepada sejumlah PAUD.

Sumbangan itu, sekecil apapun, sangat berharga dan kami syukuri. Ibu-ibu orangtua siswa dapat tambahan ilmu baru—kegiatan ini pun diteruskan jadi kegiatan rutin Bina Keluarga Balita (BKB)-PAUD dengan mengundang psikolog lain. Dana Rp 100 ribu per bulan bermanfaat untuk tambah-tambah biaya operasional. Sejumlah pasang kursi dan meja belajar juga memberi kesempatan lebih banyak siswa dapat duduk dengan layak saat belajar—sebelumnya siswa belajar di atas tikar.

Belakangan, usai pemilu, PAUD Nusa Indah juga dikunjungi lima anggota dari Fraksi Partai Demokrat DPRD DKI Jakarta yang sedang reses. Setelah sosialisasi dan berdiskusi dengan masyarakat di Balai Warga, kami menggiring mereka untuk mengunjungi bangunan PAUD Nusa Indah yang sedang dibangun di atas kebun. Tentu saja, setelah itu, minta mereka untuk beri bantuan.   


Layak jual
Kembali ke pertanyan di atas, reputasi apa yang dimiliki PAUD Nusa Indah sehingga “layak jual”?

Berikut ini fakta-faktanya. Alat pembelajaran sangat terbatas. Latar belakang ekonomi orangtua siswa mayoritas berpendapatan rendah (sopir, tukang lemari, buruh cuci, pembantu rumah tangga, pekerja bangunan, pekerja serabutan). Latar belakang pendidikan orangtua pun maksimal lulusan SMA—latar belakang ini berpengaruh pada pola asuh anak di rumah.

Namun, tiap mengikuti lomba PAUD dan TK, siswa-siswi PAUD Nusa Indah selalu mengukir prestasi. Ini tentu menjadi kebanggan tersendiri bagi orangtua dan guru. Kegiatan di luar pun, oleh pengurus PAUD, diupayakan rutin digelar, seperti berenang dan wisata murah meriah. PAUD Nusa Indah pun sudah menelurkan sejumlah alumni yang berhasil meneruskan pendidikan ke jenjang SD.

Barangkali beberapa pencapaian itulah, ditambah biaya pendidikan yang sangat murah, masyarakat seakan berlomba-lomba memasukkan anaknya ke PAUD Nusa Indah. Tiap penerimaan siswa baru, selalu saja jumlahnya fantastis dan membeludak. Kuota yang telah ditetapkan selalu dilanggar karena tak tega menolak siswa.

Saya mendengar pengelola TK yang tersebar di kampung Cilungup ketar-ketir. Kabarnya pula sebuah PAUD yang baru berdiri dan dikelola swasta gulung tikar lantaran kekurangan siswa. PAUD Nusa Indah seperti menjadi “ancaman” bagi bisnis pendidikan.     

Beberapa pengurus RW mendengar pujian warga terhadap prestasi PAUD Nusa Indah. Barangkali itulah yang membuat mereka berani “menawarkan” PAUD Nusa Indah sebagai sasaran kampanye.  

Di tengah berbagai keterbatasan upaya untuk terus bertahan dan menjaga kualitas, kesadaran untuk mengelola PAUD secara profesional terus bergelora di kalangan pengurus dan guru. Memang, mestinya, kampanye di lembaga pendidikan tidak boleh. Namun, jika itu terpaksa terjadi, apa boleh buat.     



Billy Antoro
Tangerang, 17 Februari 2012

Moral Fungsional


Di negeri ini, bicara tentang moral sangatlah riskan. Apalagi jika sifatnya menggugat: di mana moral mereka? Sebab, kadang tak bisa dihindari, pertanyaan itu jadi bumerang bagi diri penggugat: janganlah bicara soal kebenaran kalau Anda pernah berbuat salah.

Namun, jika hal demikian dituruti, siapa manusia di negeri ini yang suci dari berbuat salah? Persoalannya, banyak contoh, orang-orang yang bicara soal moral jatuh karena perbuatan amoralnya terungkap.

Maka, untuk mencari aman, sebagian orang membicarakan moral dengan menutup sebelah hati. Dimunculkan dikotomi antara ilmu dan kesadaran. Moralnya dibangun dengan irisan ilmu dan kesadaran yang menguntungkannya, yang mendukung apapun perilaku menyimpangnya, dan siap membungkam irisan moral dan kesadaran lain yang menjerit-jerit mengusik nuraninya.

Jadi janganlah heran jika orang-orang macam itu berani tampil gagah saat bicara tentang kebenaran. Juga hal-hal ilmiah dan logis. Profesi mereka pun hebat-hebat. Ada pejabat, guru, dosen, menteri, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), gubernur, bupati, lurah.

Beberapa tahun lalu, seorang dosen kriminologi yang juga anggota Komisi Pemilihan Umum masuk penjara gara-gara tertangkap basah melakukan penyuapan. Moral apa yang dibangunnya berkaitan relasi antara ilmu hukum dan perbuatan menyuap?

Kini, seorang dosen ekonomi Universitas Indonesia terus mengajar mahasiswa kendati berstatus tersangka kasus penyuapan. Logika ekonomi seperti apa yang dibangunnya untuk mendapatkan kedamaian dari jalinan ilmu ekonomi dan korupsi? Bukankah ilmu ekonomi mengkategorikan penyuapan sebagai perbuatan amoral dan merusak tatanan ekonomi sehingga harus dihindari?

Di Tangerang, guru memerkosa muridnya. Apakah status dan ilmu yang diajarkannya membenarkan perbuatan itu?

Ilmu, bagi banyak orang, tak berhubungan dengan moral. Maka tak heran penjahat besar banyak bergelar doktor, master, dan sarjana. Ilmu tak difungsikan sebagai sarana untuk menjadi manusia berguna, melainkan supaya jadi serigala.

Ironisnya, moral, bagi sebagian orang, tak berhubungan dengan ajaran agama. Maka tak aneh jika penjahat kelas kakap bergelar haji, namanya menyandang nama nabi dan gelar Tuhan, amalannya berimbang antara ibadah dan maksiat.      

Yang makin bingung anak-anak usia sekolah. Di rumah, perilaku sebagian orangtua buruk: egois, mau menang sendiri, haus dihormati, kata-katanya harus dituruti. Di luar rumah, aktivitas lingkungan masyarakatnya gemar saling melukai dan membunuh dalam ajang tawuran massal. Berbeda pandangan atau tersinggung sedikit, pukul. Tak puas, lapor ke polisi. Demonstrasi diartikan merusak dan membakar fasilitas umum. Sementara mereka ditekan untuk menjadi orang baik yang artinya tak boleh mencontoh apa yang dipraktikkan orangtua dan lingkungannya. Akhirnya mereka berontak dan memutuskan aktif dalam “ekstrakurikuler” populer: tawuran pelajar.

Hanya di sekolah mereka bisa sedikit berpikir rasional. Di sekolah bagus, perilaku mereka bisa terjaga. Di sekolah buruk, perbuatan mereka berubah serigala.

Maka moral pada akhirnya bernasib sama dengan kebenaran: bersifat relatif. Bermoral bagi sebagian orang namun tak bermoral bagi sebagian lain. Sebab moralitas murni tak ada lagi. Yang ada moralitas berbalut kepentingan.


Filosofis versus fungsional
Dalam ilmu jurnalistik dikenal kebenaran filosofis dan kebenaran fungsional. Dikotomi ini digunakan untuk mencari jalan tengah bagi penyelesaian konflik yang berujung pada penafsiran dan pemahaman ihwal kebenaran yang dianut tiap orang. Apalagi jika konflik melibatkan antarpemeluk agama. Kebenaran akan keyakinan yang dianut bersifat mutlak, perbedaan dianggap salah dan tak ada toleransi bagi perbedaan itu. Pada gilirannya persoalan duniawi yang sederhana menjadi rumit. Semua menutup mata pada pemecahan masalah yang elegan sebagaimana diajarkan sang penerima wahyu.

Itulah jika penyelesaian masalah menggunakan kebenaran filosofis. Sebaiknya, masalah diselesaikan dengan kebenaran fungsional. Perbuatan buruk, kendati dilakukan oleh orang yang rajin ibadah atau bergelar doktor, tetap saja dipandang buruk. Tak ada hubungannya antara perbuatan buruknya dengan ibadah dan keilmuan yang dikenyamnya.

Penjahat tetaplah harus dihukum. Tak memandang agama, suku, ras, golongan, dan status sosial. Sebab, pada dasarnya, perbuatan jahatnya merupakan bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai luhur yang membentuk dan memberikan identitas kepada dirinya.

Moral, tak ayal, dapat diletakkan pada posisi tersebut: moral ditegakkan secara fungsional. Dengan begitu, moral berkaitan dan berpengaruh pada profesi dan status sosial seseorang. Terlebih profesi dan status itu berkaitan dengan pelayanan publik dan relasi dengan banyak orang.

Dosen yang telah menyandang status tersangka penyuapan/korupsi mestinya tak boleh mengajar lagi. Penetapan status tersangka telah membuatnya cacat secara moral dan cacat moral itu merusak tatanan ilmu yang diajarkannya serta institusi yang menaunginya. Guru yang memerkosa tak boleh lagi mengajar karena pemerkosaan itu amoral dan merusak citra guru sebagai profesi mulia. Kepala sekolah yang korupsi harus diberhentikan dan diproses hukum, bukan dipindah ke sekolah lain sebagai kepala sekolah atau guru biasa. Sebab korupsi itu amoral yang merusak profesi mulia guru dan kepala sekolah sebagai pendidik dan praktisi manajemen (sekolah).

Begitu pula di gedung batok kelapa itu. Anggota DPR yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi harus dipecat, sebab perbuatan amoralnya itu merusak citra DPR. Partai politik pun harusnya demikian. Anggota yang terkena kasus korupsi, baik sudah ditetapkan jadi tersangka, terdakwa, ataupun terpidana, harus dipecat dengan tidak hormat dari keanggotaan partai.

Pada dasarnya, tak ada koruptor yang melakukan aksinya karena terpaksa. Mereka melakukan dengan penuh kesadaran, terencana, dan sistematis, dan tahu bahwa perbuatannya merugikan rakyat dan menafikan ajaran agama.

Hakikatnya mereka adalah benalu. Dipotong daunnya, akan tumbuh lagi daun baru. Dipotong dahannya, akan tumbuh lagi dahan baru. Agar tak tumbuh lagi, akarlah yang harus dibasmi. Malah, pada pohon, bagian dahan yang ditumbuhi benalu dipotong.

Negeri ini butuh orang-orang bermoral yang menjaga integritas pada profesi dan status sosialnya. Kesadaran untuk menyingkirkan orang-orang tak bermoral dari lingkup kehidupan berbangsa dan bernegara harus terus diembuskan. Sebab, anehnya, lambat laun makin banyak tersingkap orang-orang tak bermoral menguasai sendi-sendi kehidupan negeri ini. Tapi, berharap pemerintah, pejabat, partai politik, dan anggota DPR berubah sungguhlah riskan. Sama riskannya ketika kita bicara tentang moral.



Billy Antoro
Tangerang, Jumat 17 Februari 2012

Politisi dan Media



Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat negeri ini mendapat pesan beruntun dari Black Berry Messenger (BBM). Isinya, pada Ahad 5 Februari 2012, Komisi Pemberantasan Korupsi menggelar rapat. Dua pimpinan KPK tak setuju dengan keputusan rapat. Ketua KPK marah hingga memukul meja.

Anggota DPR itu lalu “bernyanyi” di hadapan media. Intinya, terjadi perpecahan di antara pimpinan KPK seakan membenarkan dugaan yang telah menyeruak lama: KPK pecah. Ia tak melakukan klarifikasi kepada pimpinan KPK.

Di media, seorang pimpinan KPK memberi klarifikasi. Katanya tak ada rapat KPK pada tanggal itu. Selain tanggal merah, 5 Februari juga libur nasional: Tahun Baru Imlek. Ketua KPK pun sedang di Mekkah menjalani umroh. Keterangan tersebut membantah secara telak isi BBM itu: tak ada rapat KPK pada 5 Februari. Itu pesan sampah alias bohong.  

Besoknya gantian anggota DPR itu beri klarifikasi. Ia bersikukuh sekadar menerima pesan sampah itu. Kesan tak bersalah ditampilkannya.

Begitulah perilaku memuakkan sebagian besar politisi negeri ini: tak berani mengakui kesalahan dan kebodohan sendiri. Andai ia cerdas, setelah terima pesan BBM, ia akan menimbang-nimbang: apakah isi pesan itu benar? Mana mungkin lembaga yang dihuni Pegawai Negeri Sipil gelar rapat dihari libur nasional? Terlebih sampai menggebrak meja, kenapa dramatis sekali? Jika nuraninya sehat, ia akan mengklarifikasi langsung ihwal kebenaran pesan itu kepada pimpinan KPK.

Politisi itu tak merasa perlu tahu kebenaran faktual dari pesan yang diterima. Ia hanya peduli pada fakta bahwa ia telah menerima pesan itu. Jadi ia tak perlu melakukan klarifikasi. Ihwal pesan itu bohong soal belakangan.

Jadi layaklah dipertanyakan kualitas anggota DPR itu. Mudah sekali memercayai informasi bohong yang jika dipikirkanpun tak logis. Mestinya, anggota DPR yang mewakili ratusan juta rakyat negeri ini, memiliki kepintaran, kecerdasan, dan kualitas nurani di atas rata-rata.

Saya sering mendapat pesan layanan singkat (SMS-Short Messge Service) yang pada akhirnya langsung saya hapus. Diakhir kalimat, pesan itu berharap diteruskan ke pemilik ponsel lain. Isinya, tak diragukan lagi, tak logis. Pada beberapa kesempatan, saya bertanya pada pengirimnya. Jawabannya seragam: hanya meneruskan pesan. Mereka pun tak tahu kebenaran pesan itu.

Pernah, sebuah SMS mampir di telepon seluler (ponsel) saya. Isinya anjuran agar meneruskan ucapan selamat ulang tahun mantan Presiden Soeharto ke sepuluh pemilik ponsel lain. Imbalannya, ponsel akan otomatis terisi Rp 50 ribu usai meneruskan pesan itu.

Saya tertawa usai menerima dan membaca pesan itu. Sang pengirim, seorang guru, saya tanya apakah dia sudah mendapatkan Rp 50 ribu. Katanya, dia masih menunggu. Besoknya saya tanya lagi, katanya ia tak menerima Rp 50 ribu. Dalam hati saya bertanya: bagaimana bisa seorang guru beserta kualitas di dalamnya memercayai pesan berantai yang tak bisa diklarifikasi kebenarannya?

Tentu saja ini kasuistis, tak bisa digeneralisasi. Namun, perilaku paling menyebalkan tentu saja ditunjukkan politisi itu. Ia telah melakukan kesalahan namun tak sadar telah melakukanya. Persoalannya lagi, ketika ia ditunjukkan kesalahannya dan diajak untuk berpikir logis, ia masih berusaha mengelak.    

Maka kloplah dengan isi ceramah khatib shalat Jumat tadi siang. Mengutip tulisan cendekiawan muslim Dr. Yusuf Qardhawi, khatib mengatakan bahwa kejahiliyahan masa kini yang melebihi kejahiliyahan pada masa kafir Quraisy adalah orang yang melakukan kesalahan namun tak menyadari dirinya telah berbuat salah. “Pejabat tahu korupsi itu salah, menyengsarakan rakyat, tapi mereka melakukannya dan merasa tak bersalah,” kata khatib.      

Apa pelajaran yang bisa diambil dari kesalahan dan kebodohan politisi itu? Jangan terlalu memercayai informasi yang beredar di sekitar kita! Jika ada informasi datang pada kita, langkah pertama adalah mengukur kelogisannya. Jika logis, masuk akal, langkah berikutnya memverifikasi kebenarannya. Jika tak dapat verifikasi, anggap saja itu informasi netral yang masih terus menunggu klarifikasi. Jangan gunakan untuk melegitimasi argumentasi pribadi.

Tiap hari, jutaan informasi beredar luas di media cetak dan elektronik. Ada yang benar, banyak yang salah, dan lebih banyak lagi yang perlu diverifikasi kebenarannya. Perlu ketelitian untuk memilahnya.


Billy Antoro
Tangerang, Jumat 10 Februari 2012 

Selasa, 31 Mei 2011

Menanti SMA Generasi Baru

Ini keping mimpi Gol A Gong soal pendidikan. Rencananya, di atas Taman Budaya Rumah Dunia, selain membangun gedung pertunjukan, ruang pameran lukisan, perpustakaan, dan sekretariat bagi komunitas literasi, juga akan dibangun gedung sekolah. Namanya SMA Generasi Baru.

Siswa sekolah ini awalnya akan merekrut 25 siswa terbaik lulusan SMP di Banten lewat sebuah seleksi. Berikutnya 25 siswa terbaik se-Indonesia. “Kita didik mereka dengan kurikulum nasional plus; plus kemahiran berpolitik, berbicara, menulis novel,” jelas Gong. Tak tanggung-tanggung, dosen tamunya adalah praktisi di bidangnya, seperti rektor, wartawan, dan anggota DPR. 

Para siswa akan menginap di rumah-rumah penduduk di sekitar Rumah Dunia. Supaya ada interaksi sosial, kata Gong. Gong berharap perusahaan-perusahaan lewat program Company Social Responsibility (CSR) mau menanggung biaya operasional pendidikan. “Sehingga siswa murni belajar, tidak memusingkan biaya,” jelas Gong. Setelah lulus, siswa akan direkomendasikan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Mimpi Gong ini lahir dari kegelisahannya terhadap para pemimpin yang tidak punya karakter dan jati diri bangsa. “Sebenarnya nilai-nilai bangsa ini sudah ada di Pancasila, tapi tidak tersublimasi ke dalam diri masing-masing pemimpin,” ucapnya. “Di Indonesia ini semua pemimpin lahir bukan karena dia pintar atau cerdas, tapi dilahirkan oleh uang.” 

Jadi, tambah Gong, diharapkan SMA Generasi Baru akan melahirkan para pemimpin yang berkarakter dan bernurani. Merekalah yang akan membawa bangsa menjadi maju dan bangkit dari keterpurukan ini.*

Jumat, 20 Mei 2011

Ketika Napas di Ujung Tanduk

Bagaimana sakit yang kuderita mengingatkanku pada kematian.

Tiba-tiba aku jadi sulit bernapas. Tiap helaan laksana menarik gerobak berisi berton-ton batu kali. Sesekali terdengar suara lirih bersamaan dengan udara yang terhela, mengingatkanku pada detik-detik sakaratul maut di film-film. Aku mau mati saja.

Barulah Sabtu siang itu, 9 Januari yang dingin, aku menyadari bahwa sesak napasku tak biasa. Dua butir obat warung yang biasanya tokcer melepaskanku dari belitan sesak napas, yang kutelan pagi dan siang, tak beri efek apa-apa pada tubuhku. Asmaku kambuh.

Melihat kondisi kritis begitu, Ibu prihatin. Ia menyarankanku menyambangi Unit Gawat Darurat Puskesmas Kecamatan Duren Sawit. Aku masih menolak. Dan aku masih seperti menikmati jadi orang kritis kesulitan napas di hadapan tatapan nanar Ibu.

Akupun menyerah. Ke klinik saja ya, pintaku. Adikku, Merliana Merlin namanya,  menawarkan diri mengecek lebih dulu klinik yang kumaksud apakah masih beroperasi: di pinggir jalan seberang bioskop Buaran. Meluncurlah ia dengan sepeda motor. Tak berapa lama, dari ujung telepon ia mengabarkan klinik itu sudah tutup.

Cari klinik lain, kata Ibu. Aku dan Ibu keluar, hendak menyambangi dokter praktik yang rumahnya tepat di mulut gang rumahku: Jalan Swadaya VI. Setiba di sana, adikku menutuk-nutukkan kunci pintu pagar masuk yang terletak di belakang rumah. Tak tampak tanda-tanda penghuninya keluar. Beberapa tetangga yang melihat itu bertanya dan menyarankan untuk periksa di klinik lain. Maksudnya klinik bidan! Memang aku pasien hamil atau mau diimunisasi, tanyaku dalam hati. “Itu si Yana kemarin ke bidan sana, sesak napasnya sembuh,” ucap tetanggaku yang biasa kusapa Enyak. Ia menunjuk praktik bidan di kawasan Pondok Bambu. Aku, Ibu, dan adik tidak tahu letaknya. Lagi pula agak jauh dari rumah. Enyak memberi referensi lain yang lebih dekat. Tapi tetap praktik bidan. Letaknya di Jalan swadaya I. Praktik bidan Farida. Okelah aku ke sana. Naik motor diboncengi adik yang masih tergolong pengantin baru—belum genap sebulan menikah.

Oleh bidan Farida aku diperiksa tekanan darah. “Normal,” kata bidan muda itu. Bicaranya santun dan sopan. “120/80.” Syukurlah, batinku. “Di suntik ya, biar sesak napasnya berkurang,” lanjutnya. Sudah kuduga.

Setelah disuntik aku merasa pusing. Wajahku memucat. Oleh bidan aku disarankan berbaring di atas ranjang periksa. Oleh asistennya hidungku di masukkan selang oksigen. Baru kali pertama itu aku menghirup oksigen.

Selama berbaring dada bawah bagian kananku nyeri, pegal. Sesekali aku merintih. Kata bidan itu biasa. Efek suntik barangkali maksudnya.

Adik memanggil Ibu. Memboncengnya dengan motor. Selama berbaring Ibu mendampingiku. Memijiti kaki dan tanganku. Sebuah kesadaran tiba-tiba menyapaku. Sentuhan Ibu menggerakkan sendi-sendi tubuhku. Memberi kekuatan yang sulit kulukiskan. Aku teringat masa-masa sulit saat sakit merongrongku, dulu, saat masih kecil dan remaja, ketika Ibu dengan setia dan penuh perhatian menemaniku berbaring; memijiti kepalaku dan sekujur tubuhku. Dan baru kusadari, Sabtu sore kemarin, bahwa sentuhan Ibu juga memberi kontribusi pada kesembuhanku.

Aku pun teringat pada Sabtu pekan sebelumnya, 2 Januari, saat aku membesuk bayi prematur seorang teman di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi. Kata temanku, perempuan muda beranak dua, suster penjaga bayi jika tak bisa menghentikan tangis bayi di dalam inkubator (tempat menyimpan bayi) akan menelepon sang ibu. Memintanya datang ke rumah sakit. Ajaibnya, setelah sang ibu menyentuhnya, bayi itu akan diam. Itulah kehebatan seorang Ibu! Sentuhan dan kedekatannya dengan sang anak mampu memberi kekuatan tak terduga pada psikologi dan biologis anak.

Maka aku minta Ibu menggenggam tanganku. Akupun memeluk telapak tangannya dengan telapak tanganku yang dingin. Ibu tampak heran. Namun kemudian aku merasakan kekuatan yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata menjalar dari tangan Ibu ke tubuhku.

Bidan Farida bertanya tentang riwayat sakit asmaku. Kata Ibu, sakit itu menurun dari nenekku. Dulu, saat usiaku sekitar lima tahun, asmaku kambuh. Aku dibawa ke Rumah Sakit Mitra Keluarga di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur—sekarang berganti nama menjadi RS Mitra Internasional. Setelah lima kali terapi, asmaku normal. Maksudnya, tidak separah penderita lain.

Ibu terus memijiti kakiku. Tubuhku berangsur membaik. Napas tak lagi saling berkejaran. Keringat keluar dari pembuluh kulit kaki, tangan, dan kepala. Sejam setelah berbaring, aku merasa agak membaik. Bidan Farida memberiku sejumlah obat untuk diminum.

Tak lama tiba di rumah, napasku kembali bergejolak. Dadaku makin berat. Kembali menghela napas seperti menarik berton-ton batu kali dalam gerobak. Sempat terpikir betapa sulit bernapas dan enaknya bisa bernapas lega. Ya Allah, aku teringat dengan nikmat terbesar dalam hidup: bisa bernapas lega. Nikmat ini yang hampir tak pernah disyukuri banyak manusia. Termasuk aku. Berapa banyak waktu yang dihabisi dalam gelimang maksiat dan dosa saat bisa bernapas lega? Aku berefleksi dan memprihatinkan perilaku hidupku.

Ternyata bisa bernapas lega itu sangat enak. Nikmat. Tak perlu susah payah menghela udara untuk bisa hidup normal. Tidak seperti aku yang mati-matian menarik napas, menahan sesak perut yang kian menegang dan berat agar bisa terus bertahan hidup! Ya, aku berpikir, sampai berapa lama aku akan bertahan untuk mati-matian bisa bernapas. Bernapas itu sulit! Aku bisa saja putus asa lantaran kelelahan menghela napas yang tak kian membaik. Dan kematian, tiba-tiba saja membayangiku.

Bayangan kematian yang juga sempat menghantui benakku saat terkulai lemah menahan panas-dingin yang bolak-balik mendera tubuh, pada November 2007 kelabu, dikikis virus Aedes Aegypti yang banyak memakan korban jiwa (Tulisan tentang ini dapat dilihat di blogku: www.billyantoro.multiply.com. Tulisan panjang yang kubagi dalam tiga bagian bertajuk “Aku dan Nyamuk 1, Aku dan Nyamuk 2, dan Aku dan Nyamuk 3.)  

Tapi aku tak boleh mati. Masih banyak pekerjaan yang belum kuselesaikan. Dan cita-cita yang belum kugapai. Juga demi menjaga sebuah hiburan, tepatnya pengharapan, dari Allah yang diberikan hari itu bagi sebuah masa depan. Aku tak boleh mati. Aku tak boleh menyerah. Ini ujian Allah yang semoga dapat meruntuhkan dosa-dosaku dan memberikan hikmah terdalam pada hidupku. 

Ibu menyarankanku memeriksakan diri ke UGD RS Islam Jakarta Pondok Kopi. Bapak yang sudah pulang kerja setuju. Aku masih ragu: barangkali aku masih bisa tahan hingga besok pagi dan sesak ini akan hilang jika aku bisa lelap tidur. Keduanya terus mendesakku. Tergambar kecemasan di wajah mereka. Aku menyerah. Aku menyetujui anjuran mereka.

Di luar hujan turun deras. Bapak memanggil taksi. Sebelum berangkat aku shalat Isya. Aku tak ingin, jika ini penghujung hidupku, aku meninggal dalam keadaan belum shalat. Aku pasrah saja menjalani shalat Isya, sebelumnya Maghrib, Ashar, dan Zuhur, dengan sengal napas di dada.

Taksi berjalan menembus derai hujan di pinggir Banjir Kanal Timur yang entah kapan selesai. Aku minta sopir mengecilkan pendingin ruangan (AC). Sesak masih mencekik dadaku. Ibu duduk di sampingku. Bapak duduk di samping sopir.

Sekitar pukul 20.00 aku masuk UGD. Menyeret tubuh menuju seorang dokter berkerudung biru langit dan bermasker hijau yang duduk di kursi, memegang pena mencoret-coret kertas putih. Barangkali ia sedang membuat sejumlah analisis pasien UGD. “Sesak napas, Dok. Asma.” Aku langsung membuka percakapan. Ia menyuruhku mencari ranjang tidur yang kosong.   

Di ranjang itu aku membaringkan diri, masih menahan sesak napas yang tak kunjung membaik. Ibu memijiti kakiku. Kuminta pula ia memijiti kepalaku. Bapak berdiri menyender dinding agar terlihat dokter.

Beberapa lama kemudian dokter perempuan itu datang, memeriksa sebentar, membuat analisis. “Pengasapan ya,” ujarnya. Menyusul perawat lelaki berseragam merah jambu memeriksa tekanan darahku. Ia menaikkan posisi berbaringku hingga hampir duduk. Dilanjutkan seorang perawat perempuan membawa  alat pengasap: sebuah kotak putih dengan selang yang ditancapkan ke sebuah masker dan masker itu menutupi mulut dan hidungku.

Suara alat pengasap memukul-mukul gendang telingaku. Tak terlalu gaduh. Uap keluar dari dalam masker, merembes ke luar, ditingkahi letupan-letupan kecil air yang menciprati mulut dan hidungku. Tak bisa kuhindari, cipratan air meresap ke dalam mulutku. Asin rasanya.

Aku merasa, sedikit demi sedikit, bisa bernapas lega. Aku tak perlu lagi bersusah payah bernapas. Otakku yang berseliweran pikiran tak jelas menjadi tenang. Tangan kiriku yang tadi terkulai di pinggir ranjang jatuh ke paha. Aku mengantuk. Rupanya alat pengasap ini mengandung obat. Dan ibu, dari suara yang terdengar menyelinap ke telingaku, mengatakan itu. 

Aku menggunakan momen itu untuk mengistirahatkan diri. Sudah kepayahan aku bernapas. Kubuka mata, kulihat ibu berdiri di sampingku, memijiti kakiku. Bapak berdiri menyender dinding. Ia mondar-mandir mengurus pendaftaran dan pengambilan obat ke apotek.

Melihat mereka, aku jadi ingat saat bertempur mati-matian melawan Demam Berdarah sekitar dua tahun lalu. Sebelum dirujuk ke RS Budhi Asih di bawah guyuran deras hujan, aku terkulai lemah di UGD RS Duren Sawit dengan tusukan infus yang menyakitkan. Bapak yang kuanggap tak biasa mengurus administrasi hilir-mudik mengikuti instruksi dokter jaga; melakukan pendaftaran, periksa hasil darah di laboratorium, mencari taksi. Sementara Ibu dan adik semata wayangku berkejaran dengan waktu di tengah perjalanan kereta Bojonegoro-Jakarta.

Ya Allah, melihat mereka kembali menjagaku dalam sakit, hatiku trenyuh. Di usia sedewasa ini, mereka masih menjagaku. Aku seharusnya sudah bisa mandiri, membahagiakan mereka dengan memberikan cucu-cucu lucu. Bahkan hingga kini pun aku belum meminang seorang perempuan sebagai menantu mereka.

Dadaku terasa enak untuk bernapas. Ya, bisa dibilang aku sudah sembuh. Tapi tubuhku masih lemas. Suaraku pun belum normal. Masih di bawah hujan, taksi biru membawa aku, Ibu, dan Bapak pulang ke rumah.

Ibu menyiapkan kasur di ruang tengah, di depan televisi. Di tempat itulah aku biasa tidur sebab kamarku kadang pengap. Ia memberiku obat dan menyuapi sirup. Aku seperti anak kecil lagi. Adikku sudah tidur di kamarnya. Sendiri. Suaminya barangkali sedang bekerja dapat shift malam.

Setelah Ibu dan Bapak masuk kamar untuk istirahat, aku membuka kotak pesan layanan singkat (SMS) telepon selulerku. Sebuah pesan yang datang pukul 21:09:09 mengatakan pengirimnya sedang membutuhkan obat antibiotik amfotericin. Sudah tiga hari ia mencari obat itu di berbagai apotek tapi tidak ketemu. Ya, dialah temanku yang bayinya lahir prematur. Saat dia mengirim SMS, saya terbaring di UGD, tak jauh dari posisinya mengirim SMS. Aku tak sempat mengirim kabar padanya.

Dia memintaku mencari informasi ihwal antibiotik amfotericin lewat internet. Kukatakan padanya aku baru tiba dari UGD dan tidak bisa membantunya malam itu juga. Lantas aku teringat pada temanku yang bekerja sebagai asisten apoteker di sebuah apotek di kawasan Pondok Kelapa. Kutelepon ponselnya, tak diangkat. Kukirimi SMS, beberapa saat kemudian ia menjawab obat yang berisi amfotericin B bernama Fungizone dan Talsutin. Di apoteknya tak tersedia obat itu. Sebab selama ini tak ada dokter yang membuat resep seperti itu di apoteknya. Ia memberi tahu lebih lanjut soal bentuk pengemasan obat dan saran agar mencari di sebuah apotek di bilangan Rawamangun.

Aku berpikir, kukira malam itu aku adalah orang paling menderita. Ternyata ada yang lebih menderita lagi: seorang ibu di sebuah rumah sakit pada larut malam memikirkan obat bagi bayinya yang telah lama menghuni inkubator selama kurang lebih dua bulan. Aku berdoa agar bayinya segera sehat dan ia tabah menjalani cobaan ini.   



PADA Kamis pagi 7 Januari 2010 aku masih merasa sehat-sehat saja. Aku datang ke Balai Warga RW 01, tempat PAUD Nusa Indah menggelar kelas belajar. Aku membantu Bu Sri Suwarsini membimbing siswa-siswi kelas A menulis angka. Membantu beberapa siswi berhitung, dan mati-matian mengajari dua siswi usia 3-4 tahun bagaimana menulis angka 1 dan 2.

Aku tak habis pikir kenapa mereka tak bisa menuliskan angka itu, padahal tinggal mencontek saja di papan tulis dan angka yang kubuatkan di buku mereka. Tapi aku tak boleh putus asa. Aku tak boleh egois. Barangkali dulu, seumur mereka, aku juga tak bisa melakukannya. 

Seorang siswi yang kuajari berkali-kali memegang kerudung putih yang membelit lehernya. “Gerah,” katanya. Lalu aku mengizinkannya untuk mencopotnya. Belum selesai di situ, konsentrasi belajarnya luruh. Sebab teman-temannya yang duduk di depan, belakang, dan sampingnya berujar, “Pak Guru, ajarin saya dong! Saya nggak bisa nih!”

Siswi berambut tipis panjang itu, Anggun namanya, memang pelit bersuara. Kalaupun bersuara kecil sekali. Dua kali saat aku mengajarinya menulis angka 1, lendir putih kehijauan berleleran dari hidungnya. Ia cepat-cepat mengusapnya dengan punggung tangannya.  
   
Sebelum kelas bubar, aku membariskan siswa-siswi kelas B yang masuk siang. Bu Sri sibuk menyiapkan siswa-siswi kelas A untuk pulang; membereskan alat belajar, membagikan buku Pekerjaan Rumah, dan berdoa. Setelah kelas B masuk dan Bu Sri kembali mengajar, aku kembali pulang. Sebab aku harus segera pergi ke kantor. Sudah siang.

Di rumah, masih dengan pakaian batik biru yang basah peluh, aku menyiapkan jaket oranye dan tas merah. Tiba-tiba aku bersin berkali-kali. Flu. Aku memaksakan diri pergi kendati bersin menerjang berulang kali. Sengaja aku memaksakan diri lantaran sebelum-sebelumnya sudah terjadi demikian kali dan flu hilang di jalan setelah tubuh ini terpanggang mentari.

Ternyata dugaanku salah. Di kantorku yang dingin, flu-ku menjadi-jadi. Segelas teh manis panas tak sanggup meredakannya. Kutarik penutup kepala yang menyatu dengan jaket hingga kepalaku penuh tertutup. Atasanku yang masuk ruangan bertanya, “Sedang sakit, Bil?” “Iya,” jawabku. Beberapa teman menyayangkan dalam keadaan flu aku tetap datang ke kantor. Mereka menyarankanku pulang.

Aku baru pulang sore. Ingin mampir dulu ke tukang fotokopi yang berderet di sepanjang jalan dekat STM Pembangunan, Rawamangun, Jakarta Timur. Aku ingin menjilid softcover buku yang baru kurampungkan: Pelangi di Ujung Gerimis, Secercah Kisah di PAUD Nusa Indah.

Buku ini merupakan kumpulan tulisanku sejak kali pertama mengajar di PAUD Nusa Indah. Berisi sejarah dan kondisi pembelajaran di PAUD Nusa Indah serta metodeku dalam mengajar Bahasa Inggris. Sengaja untuk cetakan pertama ini aku memperbanyaknya hanya empat eksemplar; satu untuk diriku sendiri, satu untuk PAUD Nusa Indah, satu untuk RW, dan satu lagi, belakangan baru Sabtu aku meniatkannya, akan kuberikan kepada seorang yang istimewa.

Jalanan ibukota sangat macet. Aku menyempatkan diri shalat Maghrib di dekat pom bensin Jalan Pramuka. Peluh dan dingin menyatu dalam pakaianku. Baru setelah Isya aku tiba di tempat fotokopi.

Besoknya, Jumat, kondisi tubuhku makin turun. Flu tak lagi main-main mencekikku. Aku tak pergi ke kantor. Di rumah saja berbaring dan keluar hanya untuk shalat Jumat. Obat pereda flu yang kubeli kemarin di kantin kantor tak banyak pengaruh.

Sehari kemudian aku batuk keras di kamar mandi. Membuat dadaku sesak. Napasku terengah-engah. Kumakan obat warung yang biasanya manjur melepaskanku dari cengkeraman sesak napas. Tak berpengaruh, kumakan obat itu lagi setelah makan siang. Sesak napasku makin menjadi-jadi. Akhirnya kusadari, penderitaan itu sedang dimulai.



Duren Sawit, Ahad, 10 Januari 2010. 07.14 WIB

 

Kamis, 19 Mei 2011

Dongeng dan Mendung di Luar Kelas


“Demi mengetahui sumber air bah yang menenggelamkan desa, Amal, Amil, dan Amul berjalan menyusuri bukit, membelah hutan, menyeberangi sungai. Di tengah hutan mereka mendengar lolongan serigala, auman macan, teriakan monyet. Amal yang penakut segera berlindung di balik pohon.

“‘Payah, segitu saja takut!’ ujar Amul yang pemberani.

“Jger!

“Tiba-tiba petir menggelegar. Amul kaget dan buru-buru berlindung di samping Amal. Begitu pula Amul.

“Langit gelap. Awan hitam menggumpal di atas hutan. Berkali-kali petir menggelegar, membuat bulu kuduk Amal, Amil, dan Amul berdiri.”

Di luar garasi mobil sinar mentari tak lagi tampak. Tertutup awan kehitaman. Mendung. Fauzan, siswa bertubuh besar yang duduk paling depan, menoleh ke belakang, memanggil ibunya. Sesaat kemudian ia mengisak tangis, minta pulang. Sang Ibu memintanya diam, namun Fauzan tak menggubris Tangisnya makin keras. Lalu ia bangkit dari duduknya, ingin ke belakang, namun barisan kursi yang diduduki siswa lain tak memungkinkannya melangkah ke belakang. Tangisnya kemudian meledak.  

Beberapa siswa berdiri, hampir semua terprovokasi tangisan Fauzan. Reza yang duduk satu baris dengan Fauzan berdiri, hendak ke belakang. Ia berteriak pada ibunya ingin pulang. Siswa yang duduk di barisan belakang keluar dengan mudah dari garasi mobil. Mendekati ibu mereka yang duduk di atas tikar sepuluh meter di belakang.

Saya memutar otak dengan mempercepat jalan cerita.

“Tibalah mereka di atas bukit. Tanah lapang berumput terhampar luas. Sebuah rumah besar berdiri di tengah-tengahnya. Amal, Amil, dan Amul mendekati rumah dan berdiri di ambang pintu.

“Di rumah itu kursinya besar, mejanya juga besar. Lalu terdengar suara isakan tangis dari samping rumah. Lalu ketiganya bergegas ke sumber suara di samping rumah.

“Amal dan Amul kaget. Mereka segera berlindung di balik batu. Di hadapan mereka makhluk raksasa sedang duduk di atas batu. Wajahnya ditangkupkan pada pangkuannya, di lingkari kedua bahunya.

“’Huu...huu...hu...’

“Anak raksasa itu menangis. Air matanya menjadi bah yang menenggelamkan desa. Amul dengan dada terangkat berkata, ‘Hei, apa yang membuatmu menangis?’

“Masih dengan wajah tersembunyi di balik pangkuan, anak raksasa menjawab, ‘Saya kesepian di sini. Ditinggal sendiri oleh ayah-ibu. Sudah beberapa hari.’

“Amal, Amil, dan Amul kemudian berdiskusi bagaimana membuat anak raksasa tak lagi menangis. Mereka sepakat untuk menghiburnya.

“’Yuk kita hibur dia dengan menyanyikan lagu ‘balonku’!’ teriak Amul.”

Lalu anak-anak bernyanyi ‘balonku’.

“Wah, ternyata anak raksasa itu masih menangis. ‘Kita harus menyanyikan lagu yang membuat hati semangat! Ayo kita menyanyikan lagu ‘Aku Seorang Kapiten!’ ajak Amul.”

Anak-anak bernyanyi lagu ‘Aku Seorang Kapiten’.

“Anak Raksasa itu mengangkat wajahnya. Kini tangisnya mulai mereda. ‘Biar dia diam, kita menyanyi lagu apalagi?’ tanya Amul pada Amal dan Amil.”

Seorang anak di belakang berteriak, “Lagu ‘Potong bebek angsa’!”

Lalu anak-anak menyanyi lagu ‘Potong Bebek Angsa’.

“Akhirnya anak raksasa itu tak lagi menangis. Ia berterima kasih pada Amal, Amil, dan Amul yang telah menghiburnya. ‘Sebagai tanda terima kasih, saya akan membantu kalian mengeringkan air bah yang menenggelamkan desa kalian,’ ujar anak raksasa.”

Di luar garasi mobil, anehnya, langit berubah cerah. Mentari bersinar kembali. Sengatnya sampai masuk mengenai sebagian siswa di dalam kelas. Ya, kelas mereka, siswa-siswi PAUD Nusa Indah Duren Sawit, adalah sebuah garasi. Panas dan hujan pasti menerpa bagian dalam garasi.

Anak-anak kembali masuk kelas. Saya menyudahi cerita.


PAGI tadi tak ada pelajaran yang melibatkan pensil warna dan kertas. “Hari ini kita belajar berkhayal,” ujar saya usai senam pagi. “Nanti Bapak akan mendongeng lalu kita nonton film di sini.” Saat berkata ‘mendongeng’ seraya menunjuk ruang kelas (garasi mobil) dan ‘nonton film di sini’ adalah tempat yang mereka pakai buat senam pagi.

Lantaran jam belajar terpotong oleh senam pagi dan waktu yang sempit, saya berinisiatif mengisi pelajaran Sabtu dengan variasi materi. Tak melulu berisi belajar menggunakan buku.

Sabtu lalu, karena kelas A dan B digabung (kelas A dan kelas B usia 3-5 tahun serta kelas kecil berusia 2-3 tahun senam bersama), saya kerepotan sekali. Lantaran ruang kelas tak muat menampung gabungan siswa kelas A dan B usia 3-5 tahun, dibagilah ruang belajar mereka. Kelas A di dalam kelas. Kelas B duduk di tikar, di lokasi mereka senam pagi—ruang belajar kelas kecil di garasi rumah Bu Alwin yang terletak di lain gang..

Awalnya saya berpikir untuk menangani keduanya, mondar-mandir ke kelas masing-masing. Saat saya memegang kelas A, Bu Sri Suwarsini, guru yang memegang pelajaran hari Kamis, bantu memegang kelas B. Ternyata rencana itu gagal. Waktu saya tersita di kelas A. Untung saja Bu Sri Suwarsini bisa menangani kelas B.

Setelah anak-anak istirahat, Bu Sundari, Bendahara PAUD, berkata, “Pak, sudah jam setengah sepuluh. Anak-anak dipulangkan saja.” Rencana saya mendongeng gagal. Padahal saya sudah membawa tiga boneka tangan. Janji saya pada Fajar, siswa yang sejak masuk sekolah usai liburan Lebaran minta saya untuk mendongeng, tak kunjung terpenuhi. Dan tadi, sebelum mendongeng, saya menjawab ancamannya yang lalu-lalu, “Awas lho, Pak, kalau nggak cerita!”

Entah apakah besok-besok Fajar masih melontarkan ancamannya, saya tidak tahu.     



Duren Sawit, Jakarta Timur.
Sabtu, 24 Oktober 2009. 11.00 WIB.
   




Dilema Ibu Muda

Tadi sore seorang teman menceritakan keluhannya tentang keluarga dan pekerjaan yang digelutinya. Ia ibu muda, pegawai negeri sipil. Anaknya baru satu, berusia 3 tahun. Anak keduanya berusia 6 bulan di dalam rahimnya.

Ia merasa kerepotan mengurus anak sulungnya lantaran pembantunya tak lagi datang usai pulang kampung Lebaran kemarin. Mencari pengganti sulitnya bukan main. Pengasuhan anak diberikan kepada suaminya yang punya waktu lebih banyak di rumah.

Maklum, karena masih bapak muda, suaminya kurang telaten mengurus anaknya. Pakaian anak baru diganti setelah ia pulang dari kantor, sore atau malam. Sekalian memberinya makan sebab kadang siang belum diberi makan. Kasihan sekali.

Kondisi demikian mendorongnya mengambil keputusan: mempertimbangkan untuk mengundurkan diri dari posisinya di kantor dan menjadi staf biasa saja. Posisi sekarang membuatnya tak nyaman dalam hal waktu pulang: kadang larut malam.

Inilah dilema seorang ibu muda. Juga kebanyakan perempuan lain yang memilih bekerja membantu suami mencukupi kebutuhan keluarga. Sebelum menikah mereka bekerja di instansi negeri atau pun swasta. Setelah menikah dan punya anak, kesibukannya ganda: mengurus anak dan pekerjaan.

Bukannya suami tidak diserahi tanggung jawab mengurus anak. Pada umumnya, secara kultur, suami bertanggung jawab mencari nafkah dengan bekerja di luar rumah. Sementara tugas mengurus anak diserahkan pada istri; mengajaknya bermain, mengurus makan, minum, buang hajat, dan berbagai kegiatan yang rasanya sulit dikerjakan suami.

Tak masalah jika suami bekerja di luar rumah dan istri bekerja mengurus rumah tangga. Namun jika keduanya bekerja, siapa yang mengurus anak dari pagi sampai sore? Pembantu rumah tangga, itu solusi ampuh yang kini dipakai kebanyakan pasangan suami-istri. Bagi yang kurang mampu, solusi yang “agak kurang ajar” adalah menyerahkan pengasuhan anak pada orangtua.

Sebenarnya tidak masalah jika pekerjaannya dapat diatur waktunya. Fleksibel. Misalnya, guru sekolah atau bimbingan belajar dan berdagang keliling/mangkal. Atau pekerjaan yang bisa dilakukan di rumah, seperti menulis (artikel, skenario, novel, cerpen), membuka warung, atau industri rumah tangga. 

Dalam hidup berumah tangga, sebaiknya suami dan istri melakukan diskusi. Kerja-kerja rumah tangga dibagi secara adil. Jangan sampai salah satu diberatkan. Sehingga tugas mengurus anak, membersihkan rumah, menyapu dan mengepel lantai, mencuci piring dan pakaian, dilakukan dengan baik dan hati lapang. Paradigma bahwa pekerjaan rumah tangga semuanya menjadi tanggung jawab istri harus dihilangkan. Bahkan suami pun punya kewajiban mengurus anak, seperti memandikan, membuatkan susu, membersihkan kotoran, mengganti popok, dan mengajaknya bermain.

Pembicaraan tentang pembagian peran dalam rumah tangga sebelum memutuskan menikah juga diperlukan. Jangan sampai persoalan itu baru dibicarakan setelah menikah sehingga dikhawatirkan keduanya tidak menemui jalan temu. Rumah tangga jadi berantakan.  

Calon istri tidak punya kewajiban mencari nafkah. Namun ia pun tidak boleh dilarang ikut mencari nafkah asal pekerjaan utamanya mengurus rumah tangga tidak terlantar. Jika mereka memang memilih berperan ganda, suami pun harus sadar bahwa dia pun juga harus membantu istri mengurus pekerjaan rumah tangga. Jadi keduanya melakukan peran ganda.

Jika suami merasa mampu memenuhi seluruh kebutuhan keluarga, ia pun tidak boleh memaksakan istrinya untuk hanya berkecimpung di rumah mengurus rumah tangga. Bila pekerjaan sang istri membuatnya mampu mengembangkan potensi diri, mengamalkan ilmu yang didapatnya saat sekolah/kuliah, dan membuat perubahan di masyarakat, maka suami harus turut mendukungnya.

Suamipun tidak boleh memaksa sang istri bekerja jika istri tak menginginkannya. Mengurus rumah tangga juga sebuah pekerjaan kendati tak ada yang menggaji. Justru pekerjaan ini sangat mulia dan penting karena kestabilan rumah tangga dapat tetap terjaga; pengurusan anak, rumah, sosialisasi dengan lingkungan masyarakat. 

Yang perlu diperhatikan pasangan yang bekerja adalah tujuan utama bekerja. Bahwa mereka mencari uang demi kebaikan anak dan keberlangsungan keluarga. Sayangnya banyak dari mereka melupakan ini. Mereka bekerja namun anak terlantar. Akibat sama-sama frustasi dengan pekerjaan, keduanya saling emosi dan tak ada salah satunya yang mengambil peran sebagai pendamai. Akhirnya rumah tangga berantakan. Tiap hari terjadi pertengkaran. Anak kembali menjadi korban. Apalagi jika ada perceraian.

Mengurus anak
Salah satu pekerjaan terberat dalam rumah tangga adalah mengurus anak, terlebih anaknya masih kecil. Pasangan muda pastilah banyak mengalami kesulitan. Maklum, kurang berpengalaman. Semua serba baru.

Pada beberapa acara silaturahmi sebelum dan sesudah Lebaran dengan teman-teman, saya melihat acara silaturahmi diselingi kesibukan ibu-bapak muda mengurus anak; mengajak anak bermain, mendiamkan anak jika menangis, membersihkan kotorannya. Saya berpikir, repot sekali jadi orangtua. Suami pastilah jadi pihak yang agak menjauh jika anak mereka kelihatan rewel atau hendak buang hajat. Pura-pura sibuk atau tidak tahu. Sang istri dibiarkan repot sendiri. Kira-kira, apa yang ada dalam benak istri?

Lalu, setelah anak bertambah usia, masih balita atau batita, kesigapan orangtua juga tak berkurang. Kesabaran harus lebih tebal. Kadang anak susah diatur, banyak kemauan, atau malah mengganggu pekerjaan. Tidak sabar, anak dimarahi, dicubit, atau ditinggal pergi. Repotnya jadi orangtua. Apalagi ibu muda.
Ketika saya mendengarkan cerita ibu muda tadi sore, berulang kali saya memuji kehebatan ibu muda yang rela berperan ganda. Juga perempuan pada umumnya yang mengabdikan diri bagi tumbuh-kembang sang anak dan kehebatan sang suami. Mereka ber-ada, dibutuhkan. Menjadi, memberi, berkorban. Martir.

Duren Sawit, Jakarta Timur.
Kamis, 8 Oktober 2009. 21.43 WIB