Total Tayangan Halaman

Jumat, 22 April 2011

Pedagang Kaki Lima Bukan Obsolet


Selasa siang, 15 Desember 2007, pukul 11.22. Cuaca di sekitar Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, cukup panas. Aku mengeluarkan sekeping logam Rp 500  dari saku tas dan bersiap turun dari bus metromini T 52 jurusan Kampung Melayu-Cakung. Stasiun Tebet baru saja terlewati. Belum saja metromini mendekati terminal, sebuah mobil patroli warna biru dongker melintas cepat dari sisi kiri. Penumpang yang duduk berderet di belakang mobil itu berseragam seperti warna mobil, sebagian memegang sebuah lapak kaca berisi barang dagangan. Pandangan sinisku mengikuti laju mobil yang tiba-tiba berhenti di pertigaan bawah jembatan fly over.

Aku turun, karena T 52 hendak berputar arah lewat pertigaan itu. Segera kulihat petugas Polisi Pamong Praja berseragam biru dongker turun dari mobil patroli lalu menyebar ke tengah jalan. Para pedagang berlarian membawa barang dagangannya. Aku menyeberang dan berdiri di trotoar pertigaan jalan. Dari dekat dapat kulihat pedagang jeruk mendorong gerobaknya dengan tergesa. Berulangkali ia memutar arah gerobaknya. Pedagang itu terlihat bingung. Di dekatnya pedagang buku juga mendorong gerobak berisi buku-buku bekas. Ia berbalik arah dengan cepat sehingga beberapa buku terjatuh. Kepanikan juga tergambar di wajah pedagang lain yang ramai-ramai mendorong gerobaknya ke tempat aman. Pedagang asongan yang menaruh dagangannya di badan trotoar turut menyembunyikan dagangannya.

Aku baru menyadari kenapa para pedagang itu bingung menentukan arah sembunyi setelah melihat para petugas menyerbu pertigaan itu dari segala penjuru. Ya, pertigaan jalan itu dikepung! Petugas yang jumlahnya ratusan memenuhi Jalan Kampung Melayu Besar. Mereka datang dari dalam terminal. Barangkali mereka sudah menyisir pedagang kaki lima di itu terminal.

Aku tak melihat satupun gerobak pedagang diangkut petugas. Kupikir mereka sudah cukup terlatih untuk melarikan diri dari kejaran petugas. Entah di mana mereka sembunyikan itu gerobak. Yang pasti, setelah merasa aman, pemilik gerobak yang kukenal datang ke lokasi kejadian dengan ekspresi biasa.

Aku menyusuri bibir trotoar menuju terminal dengan hati yang tiba-tiba didera kesedihan. Aku hampir menangis. Dalam hati aku mencaci para petugas berseragam biru dongker yang jumlahnya makin banyak. Wajah mereka garang-garang, seolah ingin memakan itu semua pedagang.

Kuputar pandang ke seberang jalan arah Stasiun Tebet. Sebuah mobil bak tertutup warna biru dongker bertulisan Pol PP seperti menggiring para petugas mengejar pedagang. Hasil buruan mereka akan dimasukkan ke itu mobil. Ya, beberapa barang sitaan ada di dalam bak itu mobil. Entah apa.

Penggerebegan itu berjalan cepat. Pukul 11.28 mobil-mobil patroli mengangkut ratusan petugas dan bergerak ke arah Jalan Jatinegara Barat, sebelah utara terminal. Tiga menit kemudian, pukul 11.31, tiada tersisa petugas di kawasan itu. Barangkali mereka akan “membersihkan” Pasar Jati Negara, pikirku.    

Aku masih berdiri di trotoar seberang terminal. Kuamati sekitar, kondisi normal seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Kemacetan yang tadi sangat tampak kini kembali sedia kala. Tukang ojek tetap memarkir motornya dipinggir jalan. Di bawah jembatan, orang-orang tidur-tiduran di atas trotoar beralas tikar atau kardus. Sebagian ngobrol-ngobrol dengan penjual mie rebus dan kopi tak bergerobak. Beberapa orang bicara dalam bahasa Batak. Aku mendengarkan dan tidak mengerti. Aku menyeberang lalu naik Mikrolet ke arah Pasar Senen. Menuju tempat kerja di bilangan Kemayoran Jakarta Pusat.   

Besoknya para pedagang itu kembali menempati posisi masing-masing. Pedagang jeruk di situ, pedagang buku dan koran juga di situ; pinggir jalan. Aku menyempatkan bertanya pada pegadang koran langgananku—aku mengeluarkan logam Rp 500, ditambah selembar uang ribuan, untuk beli koran darinya. Saat penggerebegan ke mana dia. Katanya, waktu itu ia sudah menyadari akan digerebeg. Makanya saat istriarahat makan siang ia sudah menyembunyikan gerobaknya di tempat aman. Gerobaknya pernah di sita petugas.

PKL Jatinegara in memoriam
Kenapa aku sedih saat penggerebegan itu? Sebab yang kurasa yang sedang terjadi dihadapanku adalah sebuah fenomena kezaliman. Pemerintah, dengan kepanjangan tangan aparatnya, merampas mata pencaharian warganya. Mereka, para pedagang yang berdagang di pinggir jalan, dianggap merusak keindahan. Makanya harus dibersihkan. Tak sedikit aparat berseragam itu bertindak kasar. Banyak kasus kekerasan aparat terhadap pedagang ditayangkan televisi. Namun tetap saja kekerasan yang sebenarnya antaranggota masyarakat sipil terus terjadi.

Memang banyak yang memandang keberadaan pedagang kaki lima merusak pemandangan. Mereka tak jarang menjadi biang kemacetan di jalan raya. Berdagang semaunya dengan memotong badan jalan. Sampah berserakan dibiarkan.

Dulu badan trotoar Jalan Kampung Melayu Besar dekat terminal tidak ditempati pedagang. Namun sejak penggerebegan usai Idul Fitri akhir Desember 2006 terhadap pedagang di sekitar terminal Kampung Melayu dan pedagang di sepanjang Jalan Bekasi Barat Raya, badan trotoar itu dipenuhi pedagang; buah, nasi, koran, gorengan, dll. Kesemrawutan makin menjadi karena metromini T52 dan bus sekolah jurusan Tanah Abang-Pasar Minggu ikut mangkal di situ. Belum lagi tukang ojek yang memarkir motornya di sela-sela pedagang. Laju kendaraan ke arah terminal selalu tersendat.

Yang terlihat begitu menonjol adalah suasana di sepanjang Jalan Bekasi Barat Raya, dari bawah jembatan rel kereta Jalan Matraman Raya hingga Stasiun Jatinegara. Dulu sepanjang pinggir jalan itu dipenuhi pedagang. Terkadang mereka menggelar dagangan hingga memakan setengah badan jalan. Kemacetan kian parah karena kendaraan  angkutan berhenti di sembarang tempat untuk menunggu penumpang. Menjelang Lebaran kepadatan ini bisa meningkat dua kali.

“Kehebatan” eksistensi pedagang Jatinegara itu sangat dirasakan Plaza Jatinegara. Plaza itu kini ditutup. Pastilah bangkrut, karena pengunjung lebih tertarik membeli barang di pinggir jalan. Lebih murah dan banyak pilihan. Pintu masuk dan keluar pertokoan bertingkat itu selalu disesaki pedagang maupun bajaj yang kadang mangkal di depan pintu. Pengunjung plaza yang membawa mobil atau motor pastilah kerepotan untuk masuk atau keluar dari area pertokoan.

Tapi kini para pedagang itu tinggal kenangan. Sepanjang jalan itu bersih dari transaksi. Usai Lebaran, lapak-lapak mereka diangkut petugas. Mereka tidak bisa kembali menggelar barang dagangan karena saban hari ditongkrongi petugas. Pagi, siang, sore, malam. Bagian tengah jalan dibangun ruas jalan untuk busway. Di seberang Gereja Koinonia dibangun halte busway, lengkap dengan jembatannya.

Yang sangat kusesalkan adalah kehilangan pedagang buku bekas yang biasa mangkal di depan stasiun. Sejak sepuluh tahun lalu waktu masih sekolah di Grogol, aku biasa mencari-cari buku di situ, atau makan roti bakar bersama teman didekatnya. Kini mereka tidak ada. Ada sih yang masih bertahan, tapi sedikit sekali buku yang digelar. Kebanyakan majalah. Itu pun diletakkan di bawah dinding pagar stasiun.

Mal VS PKL
Nyoman S.Pendit, pakar MICE (Meeting, Incentif, Convention, Exhibition), berkata, pedagang kaki lima masuk dalam unsur MICE. Ada barang yang dijual, transaksi, dan tempat. Inilah bidang usaha rakyat jelata. Tempat mereka di pinggir-pinggir jalan karena tidak punya tempat menggelar dagangan.

Apalagi sekarang hampir di semua pasar tradisional atau simpang jalan pusat pedagang kaki lima di Jakarta berdiri mal. Ada Hyapermarket Carrefour dan Gyant, juga pusat perbelanjaan besar yang di belakangnya berembel-embel Trade Center dan Square. Tidakkah keberadaan mal-mal itu sengaja untuk membunuh pendapatan pedagang kecil di sekitarnya? Padahal sebelumnya omset mereka dirongrong habis-habisan oleh keberadaan minimarket yang semakin menjamur.    

Menurut Pendit, sebaiknya pemerintah tidak menganggap pedagang kaki lima sebagai ancaman dan pengganggu keindahan umum. Justru mereka adalah potensi yang seharusnya dikelola dengan baik.

Aku punya pandangan yang tak jauh berbeda dengan Pendit. Bahwa pedagang kaki lima belum bisa mengatur diri. Lihat saja, di mana ada pedagang kaki lima, di situ terjadi kemacetan. Sampah, kotoran, dan bau pesing menjadi penegas identitas. Kebanyakan mereka belum memiliki kesadaran bahwa kebersihan, ketertiban, dan kerapihan merupakan faktor penting yang bisa menaikkan omset mereka.

Di sinilah mestinya pemerintah mengambil peran. Pemerintah menyediakan area berdagang sambil memberi pembinaan akan pentingnya kebersihan, ketertiban, dan kerapihan sebagaimana ditunjukkan oleh mal-mal besar. Bukan malah menyingkirkan mereka!

Aku jadi berpikir, di sinilah penegas keberpihakan pemerintah terhadap warganya. Mereka lebih mementingkan pembangunan mal-mal modern yang dimotori segelintir pemodal besar ketimbang membangun pasar-pasar tradisional atau tempat belanja berisi pedagang kecil. PKL dipandang sebagai bidang usaha yang obsolet, usang atau ketinggalan zaman. 

Jadilah, sampai kapanpun, di mana-mana, pedagang kaki lima menjadi kaum terpinggirkan dan marjinal di tengah modernisasi negara ini. Keberadaan mereka seolah menjadi sampah di hadapan aparat pemerintah. Dan, drama kejar-mengejar Polisi Pamong Praja-PKL akan terus terjadi.         



 Duren Sawit, 18 Januari 2007. 22.50 wib.


Bersahaja Mengukir Jasa


SUDAH sekitar 14 tahun udara panas Jakarta menyengat kulit Aji yang legam. Bisa jadi matahari ibu kota penyebabnya. Sebab, sejak itu ia menyambung hidup dengan mengumpulkan barang-barang layak jual, dari tempat sampah satu ke tong sampah lain yang pasti letaknya di udara terbuka.

Bersama Raini, istri tercinta, serta Saman dan Omad, anak ketiga dan bungsu, ia mengadu nasib ke Jakarta, meninggalkan Karawang yang tak lagi memberinya penghidupan layak. Jakarta di matanya, saat itu, memancarkan pesona harapan yang telah lebih dulu menarik hati teman-temannya.

Namun apa mau dikata, tak berbeda dengan teman-temannya, kemegahan gedung bertingkat dan banyaknya pabrik justru memupus mimpinya. Ia dipaksa mengakrabi sampah. Bergelut dengan kotoran dan bermacam penyakit di dalamnya. Memandang sayu perubahan Kampung Cilungup seiring pembangunan kantor camat Duren Sawit yang terletak sekitar 70 meter dari gubuknya.


DUREN Sawit hingga kini belum banyak dikenal warga Jakarta. Untuk mengenalkannya kepada teman harus menyebutkan dulu Klender dan Kalimalang. Entah kenapa, saya tidak tahu. Saya hanya menyabar-nyabarkan diri saat menerangkan bahwa keberadaannya sudah lama tercatat di peta Jakarta sebelah timur. Dekat Bekasi. Tetangga Jatinegara.

Sebelum kehadiran kantor camat Duren Sawit, Kelurahan Duren Sawit adalah kampung-kampung berpohon lebat dengan tanah lapang berpetak-petak. Dimusim hujan sawah-sawah dipenuhi ikan. Selokan yang membelah Kompleks IKIP—perumahan dosen IKIP Jakarta—tak pernah sepi dari pencari ikan yang menggunakan cengkaling—semacam obat kimia padat berbentuk bulat putih yang memabukkan ikan. Empang, di mana satu-dua jamban bertengger di atasnya, ramai oleh pemancing yang mengharapkan kailnya dimakan lele, gabus, betik, betok atau mujair.

Mayoritas masyarakatnya suku Betawi. Kebanyakan menyerut, membuat rak atau lemari kayu lalu menjualnya ke pengumpul di dekat Pasar Klender. Menjelang Lebaran, sejumlah ibu-ibu mengaduk adonan dodol di atas kuali besar berbahan bakar kayu. Tidak untuk dijual, tapi untuk konsumsi sendiri. Juga dibagi-bagi kepada tetangga dekat. Rumah-rumah berlantai tanah dan orang-orangnya mandi dengan menggosokkan batu ke sekujur kulit. Hiburan selain mendengar dangdut atau drama berseri Mak Lampir dan Tutur Tinular dari radio, menonton TVRI di satu-dua rumah ber-TV hitam-putih. Juga hiburan massal: layar tancap di Bojong.

Ketika kantor camat hadir di awal 1990-an, perlahan Kampung Cilungup, diikuti kampung-kampung lain, berubah. Jalan-jalan tanah diaspal. Tanah-tanah lapang berumput dan kebun-kebun dibangun rumah bertingkat. Penghuninya para pendatang baru.

Kantor camat sendiri berdiri di atas lapangan sepak bola yang ramai di siang dan sore hari. Menjelang peringatan proklamasi 17 Agustus dipakai untuk kompetisi sepak bola antar Rukun Tetangga (RT). Selain sepak bola, anak-anak RT 08 dan RT 013 menggunakannya untuk bermain layang-layang.

Pekuburan terletak di dekat lapangan itu. Seram di malam hari karena ditutupi kelebatan pohon jambu monyet. Beberapa meter arealnya tergusur pembangunan kantor camat berlantai tiga. Dan, sejak itu semua berubah.

Tak ada lagi kelincahan bapak-bapak, ibu-ibu dan anak-anak muda di lapangan voli tiap sore. Lapangan kosong tak tersisa disulap rumah bertingkat. Juga tidak lagi terlihat anak-anak kecil bermain galasin, anggar, senjata ninja, benteng, gentrong, gambaran, karet, bekel, congklak, kelereng, kuda gedubrak, bengkat dan permainan lain yang semua pernah saya mainkan bersama temna-teman semasa kecil. Mainan mereka playstation, gameboy dan barang elektronik lainnya. Juga layang-layang yang sering tersangkut di antena televisi yang menjulang di atap rumah bertingkat.

Sawah. Tak ada lagi sawah. Yang ada petak-petak tanah tak terurus yang dihuni pohon kangkung dan tanaman liar. Sebagian besar areal persawahan, tempat warga asli menanam padi dan berladang mentimun serta kacang panjang, jalan pintas saya pergi sekolah ke TK Permata Bunda, SDN Duren Sawit 05, SMPN Duren Sawit 194, dipadati rumah. Tak terlihat lagi petani dan peladang. Tak tampak lagi kerbau membajak sawah, burung-burung emprit memakan padi, orang-orangan sawah dari jerami dan rumah-rumahan kayu tempat berteduh.

Rumah-rumah kian rapat. Para tuan tanah memanfaatkan lahan kosongnya dengan membuat kontrakan. Sejumlah kompleks kontrakan begitu padat dan terkesan kumuh. Kebanyakan semipermanen. Beberapa tahun belakangan ini, membuat kontrakan menjadi tren bisnis para pemilik tanah, baik warga Betawi asli maupun pengusaha tanah.

Bedanya, Tuan Haji pemilik tanah membangun kontrakan bertipe sederhana untuk ditinggali pendatang berekonomi menengah ke bawah. Sementara pengusaha tanah, orang luar yang membeli tanah dari para Tuan Haji, membangun rumah mewah bertingkat untuk dijual kembali kepada pendatang. Segmennya menengah ke atas.

Komposisi antara rumah besar milik pendatang baru dengan rumah sederhana penduduk asli (Betawi) beserta kontrakannya kian lama menunjukkan pergeseran. Rumah mewah makin tersebar rata di Kampung Cilungup yang menaungi lima RT: 08, 03, 02, 05, 10. Hampir tiap gang ada rumah bertingkatnya.

Selain kepemilikan rumah, hal menonjol yang membedakan antara pendatang penghuni kontrakan, penduduk asli pemilik kontrakan dan pendatang berumah mewah adalah pekerjaannya. Rata-rata pekerjaan pendatang penghuni kontrakan adalah berdagang kaki lima. Ada penjual ketoprak, gorengan, bubur ayam, nasi goreng, nasi uduk dan tukang sayur. Penduduk asli, disamping usaha kontrakan, sebagiannya buka warung di rumahnya atau menyerut. Pendatang berumah mewah, sudah pasti, pekerja kantor atau pebisnis karena mereka memiliki mobil pribadi di garasi. Ada juga dua pengusaha bengkel kayu yang terletak di RT 08 (depan gubuk Aji), RT 03 dan RT 02. Hubungan harmonis ketiga jenis warga tersebut lebih terlihat antara pendatang asli dengan penghuni kontrakannya (kebanyakan orang Jawa). Pendatang berumah mewah sedikit bersosialisasi dengan warga sekitar.

Kecamatan Duren Sawit sendiri terdiri dari 7 kelurahan, yaitu Duren Sawit, Pondok Bambu, Pondok Kelapa, Pondok Kopi, Malaka Sari, Malaka Jaya dan Klender. Kelurahan Duren Sawit membawahi 17 Rukun Warga (RW) dan RW 01, di mana Kampung Cilungup berada, menaungi 13 Rukun Tetangga.

Itulah potret kecil demografi Kampung Cilungup, yang dibatasi Jalan Swadaya Raya, Jalan Pendidikan Raya dan Kompleks IKIP. Aji, yang sudah 14 tahun berada di tengah-tengah Kampung Cilungup, sangat merasakan perubahan itu.


SEBENARNYA kali pertama Aji menghirup udara Jakarta bukan 14 tahun lalu. Jauh sebelumnya sudah ia tapaki tanah ibukota ini, yaitu saat ia berumur 15. Waktu umur 10, bapaknya meninggal dunia, menyusul ibunya yang lebih dulu tiada. Kemudian Aji kecil tinggal bersama neneknya. Oleh nenek, ia diserahi tanggung jawab mengangon kerbau.

Aji tumbuh menjadi anak yang bebas. Truk-truk pengangkut pasir yang tiap hari melintasi desanya menerbitkan sebuah angan-angan baru; penghidupan yang lebih baik di kota. Ya, truk-truk itu mengangkut pasir ke Jakarta.

Rencana disusun. Kepergiannya tidak boleh diketahui nenek. Bisa-bisa ia dilarangnya. Beberapa baju dijual untuk bekal perjalanan. Maka, disuatu hari diumur 15, Aji meninggalkan kampung halamannya menuju Jakarta. Menumpang gratis truk pengangkut pasir. Menyusul teman-temannya yang lebih dulu merantau ke sana. Demi hidup lebih baik.

Tujuan pertama Aji adalah tempat tinggal saudaranya di kawasan Senen. Senen di awal 1970 adalah daerah ‘kotor’. Di sana ia membantu saudaranya usaha pompa. Menyediakan jasa air untuk kebutuhan mandi dan buang hajat. Pelanggannya kebanyakan orang-orang liar, gembel dan pelacur. Jerih payahnya per bulan diganjar honor Rp 3.500.

Kondisi lingkungan seperti itu tak membuat Aji betah berlama-lama. Ia hanya bisa bertahan enam bulan. Kemudian ia pindah ke Gang Kelor, Jatinegara. Menarik becak bersama teman-teman satu kampungnya. Karena tak punya rumah dan saudara di Jatinegara, tinggallah ia di bengkel becak. Bos membolehkannya.

Pada 1985 Aji meminang Raini, gadis Karawang yang telah memikat hatinya. Di kampung halaman mereka menikah. Hidup bahagia dan dikaruniai empat anak; Raimin, Barkah, Saman dan Omad.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan agar asap dapur terus mengepul, Aji bekerja di penggilingan beras. Berhektar-hektar sawah membentang di desanya. Hingga kini Karawang masih menjadi sentra penghasil beras di Pulau Jawa.

Merasa penghasilannya kurang memadai dari bekerja di penggilingan beras, Aji beralih kerja menjadi penjaga tambak. Selain berhektar-hektar sawah, Karawang juga dikenal dengan tambaknya. Pemiliknya tak hanya penduduk sana. Sebagian dimiliki warga Jakarta yang menyerahkan pengelolaan tambaknya kepada penduduk desa. Seperti Aji. Para pemancingnya bukan dari Karawang saja. Warga Jakarta juga banyak yang melempar kail di sana. Termasuk warga Kampung Cilungup. Mereka, sering berombongan, berangkat pada tengah malam atau dini hari. Menjinjing alat pancing, umpan dan ember kecil.

Namun upah menjaga tambak belum cukup bagi Aji. Terlalu kecil untuk membiayai seluruh kebutuhan keluarga. Tak cukup mendongkrak penghasilan sebelumnya dari bekerja di penggilingan beras yang hanya cukup menamatkan Raimin dari bangku 5 SD dan Barkah 2 SD. Aji ingin lebih. Bagaimana dengan sekolah Saman dan Omad nanti? Mereka harus berpendidikan tinggi agar tidak seperti dirinya yang bernasib kurang baik lantaran tidak pernah mengenyam bangku sekolah.   

Kemewahan Jakarta masih menari-nari di benaknya, seolah terus menggoda untuk dijamah. Barangkali Jakarta telah berubah. Tidak lagi kumuh seperti beberapa tahun lalu. Ramah terhadap perantau dengan memberi lapangan kerja layak untuk penghidupan. Semoga di sana penghasilannya cukup untuk membiayai sekolah Saman dan Omad. Kalau ada uang lebih, bisa membeli televisi.

Maka berangkatlah Aji bersama Raini, Saman dan Omad ke Jakarta. Membawa segudang harap demi hidup lebih baik. Saat itu Omad, si bungsu, berumur tiga bulan dalam gendongan. Ia menjadi saksi bagaimana Jakarta memperlakukan keluarganya.


JAKARTA memang berubah. Penduduknya kian meningkat tiap tahun. Baik karena pertambahan warganya yang sebagian masih menganut asas ‘banyak anak banyak rezeki’, maupun kedatangan kaum urban yang mengais rezeki di pabrik-pabrik, pertokoan atau jalanan.

Tak semua kaum urban atau perantau bernasib mujur. Mereka kebanyakan datang bermodal dengkul. Tidak memiliki keterampilan memadai. Jadilah pengangguran merajalela. Ketiadaan penghasilan memaksa mereka membangun gubuk-gubuk di pinggir kali. Atau menempati lahan kosong yang disewakan oknum tak bertanggung jawab. Bagi yang tidak kebagian tempat, menggelandang di emper pertokoan, pinggir jalan dan bawah jembatan. Gembel dan pengemis (gepeng) bermunculan. Dari orangtua hingga anak-anak. Mengamen. Meminta-minta. Kadang mencopet. Kadang menjembret. Perempatan lampu merah selalu dipenuhi mereka.

Kondisi seperti itu dijawab Pemerintah Daerah dengan melakukan penggusuran di mana-mana. Alasannya menempati lahan orang lain atau mengganggu keindahan dan ketertiban lingkungan. Tunawisma menjadi-jadi. Masyarakat membenci pemerintah yang tak mampu membuka lapangan kerja. Bisanya menggusur.

Namun keganasan ibukota tak serta merta membunuh tekad sebagian perantau untuk bertahan hidup. Bagi mereka, bekerja di kantor, pabrik atau toko bukan segala-galanya. Masih banyak potensi lain yang bisa digarap sebagai lahan kerja penyambung hidup.

Sampah. Ya, sampah. Setiap produksi akan menghasilkan sampah atau limbah. Terkadang produksi tersebut membutuhkan daur ulang sampah untuk menekan ongkos produksi. Maka bermunculanlah pengumpul-pengumpul sampah dan barang bekas. Para pengumpul ini dipasok oleh pemulung. Pemulung mulai menjamur.

Ada kekhasan tersendiri dari pemulung ini. Mereka tinggal mengumpul di satu lokasi tertutup. Eksklusif. Dikelilingi pagar seng atau barang bekas lainnya. Entah diambil dari istilah mana, warga sekitar menyebutnya ‘kompleks marinir’.
Setiba di Jakarta Aji tinggal di kompleks marinir. Bersama keluarga lainnya memungut sampah. Tak mungkin minta bantuan teman-teman satu kampungnya yang lebih dulu menetap di Jakarta untuk dicarikan pekerjaan. Sebab, teman-temannya rata-rata juga pemulung.

Lalu bergelutlah ia dengan sampah-sampah buangan warga. Dari satu tempat sampah ke tong sampah lainnya. Menelusuri gang-gang berliku sambil menggendong karung. Selama empat tahun ia lakoni ‘profesi’ ini.

Suatu hari ia bertemu Herman, Ketua RW 01 yang tinggal di RT 03. Ia diminta menjadi petugas kebersihan. Dengan iming-iming gaji Rp 80 ribu per bulan, ia penuhi permintaan itu. Lagi pula pekerjaan ini masih berkaitan dengan sampah. Dan ia masih bisa mengumpulkan sampah layak jual untuk disalurkan ke pengumpul. Setidaknya, petugas kebersihan membawa status baru yang ‘lebih terhormat’ ketimbang pemulung. Sebab gerak-gerik pemulung selalu diawasi warga karena tak sedikit dari mereka melakukan pencurian.


SAAT matahari mulai bersinar dari timur, Aji bergegas ke luar dari gubuknya. Ada dua gerobak yang dipercayakan kepadanya. Diletakkan di luar ‘kompleks marinir’ depan gerbang berseng hijau. Satu ia pegang, satunya lagi bagian Saman. Saman, anak ketiganya, membantunya menunaikan tugas sehari-hari. Sebelum berangkat, nasi uduk tak pernah lupa membekali perutnya.

Ada lima RT yang menjadi ‘daerah operasi’ Aji dan Saman: RT 08, 03, 02, 05 dan 10. Kelima RT itu mereka bagi dua. Terkadang mereka bergantian daerah operasi untuk memupus kejenuhan.

Pukul 11 mereka kembali ke gubuk. Sampah-sampah warga yang layak jual disisihkan; barang plastik, kardus, kertas, botol beling, botol air mineral dan plastik kresek. Raini dengan setia membantu. Setelah disisihkan, barang-barang itu ditumpuk jadi satu dengan barang lain yang kemarin didapat. Seminggu kemudian baru disalurkan ke Yani, pengumpul yang tinggal di dekat gubuknya.

Satu kilogram barang-barang plastik (ember, gayung, dll) dihargai Rp 1.100. Kardus Rp 600 per kilogram. Gelas bekas air mineral yang sudah dibersihkan Rp 4 ribu/kg. Botol beling per kilogramnya Rp 150. Kertas Rp 250/kg. Botol air mineral Rp 2 ribu/kg. Dan plastik kresek Rp 4 ribu/kg—satu karung plastik beratnya 2 kilogram. Sekali menyetor, Aji dapat mengantongi uang Rp 100 ribu-Rp 200 ribu.

Namun akhir-akhir ini sampah layak jual agak seret Aji dapatkan. Pasalnya, sejumlah warga mengikuti jejaknya mencari barang-barang layak jual. Ini fenomena menarik sekaligus memilukan. Krisis ekonomi yang belum pulih, diperparah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak dua kali pada 2005 (Maret dan Oktober) menyebabkan semua kebutuhan hidup ikut naik. Barang sembilan bahan pokok (sembako), tarif listrik dan ongkos angkutan melonjak beberapa kali lipat.

Inilah yang membuat sebagian warga Kampung Cilungup gencar mengumpulkan barang-barang layak jual. Hasil menjual lemari dari menyerut atau berdagang tidak cukup. Tiada jalan lain, mengumpulkan barang bekas dan menjualnya ke pengumpul jadi pilihan. Dan Aji harus berlapang dada menerima kenyataan ini.

Setelah istirahat, makan siang dan salat Zuhur, pukul 14 Aji dan Saman kembali berkeliling kampung. Mengambil sampah dari rumah yang tersisa. Yang membuat hati Aji gembira, kadang ia diberi barang-barang tak terpakai oleh warga. Tentu saja ini akan menambah jumlah setoran ke pengumpul. Tak jarang ia juga diberi ‘uang rokok’; Rp 2 ribu-Rp 5 ribu. Lumayan. Ia hanya bisa mengucap terima kasih dan syukur.

Kalau Lebaran tiba, Aji mendapat bingkisan dan sejumlah uang dari warga. Tapi itu dari mereka yang berumah sederhana saja. Orang kaya berumah besar dan lima RT tempatnya mengabdi seolah melupakannya.

Inilah satu ketimpangan lain yang telah berlangsung lama. Pernahkah mereka, orang-orang kaya itu, berpikir, kalau satu hari saja sampah yang mereka tumpuk tidak diangkut Aji? Saya pernah mengalaminya. Beberapa hari setelah Idul Fitri ia tidak ‘beroperasi’. Pulang kampung. Sampah menumpuk dan mengeluarkan aroma tidak sedap. Ingin membuang ke tempat lain bingung, karena sudah tidak ada lagi lahan kosong untuk pembuangan sampah.

Pukul 16 Aji kembali ke gubuk. Menyisihkan barang-barang layak jual. Lalu membuang sampah ‘tak berguna’ ke kontainer penampung sampah yang terletak di belakang kantor camat. Begitulah rutinitasnya. Senin sampai Minggu.
Bila ada bagian gerobak yang patah sehingga perlu dilas, atau bannya perlu diganti, Aji melapor ke Ketua RW. Kepadanya ia bertanggung jawab. Setelah semua kerusakan diperbaiki, baru ia bisa berkeliling lagi.


BARANGKALI keluarga Aji sudah ditakdirkan bergelut dengan sampah. Raimin, anak sulungnya, menjadi petugas kebersihan di kampung sebelah. Barkah, anak keduanya, bersuamikan petugas kebersihan di kampung sebelah juga. Raimin dan Barkah menyusul ke Jakarta setelah berkeluarga. Dari mereka Aji dikaruniai dua cucu yang lucu.

Harapan satu-satunya kini tertuju pada si bungsu Omad. Sekarang ia duduk di bangku 5 SD. Aji tak ingin anak itu mengikuti jejaknya. Sementara Saman total membantunya. Anak ketiganya ini tidak mau bersekolah. Dulu, waktu kelas 1 SD, Saman hanya masuk kelas satu hari. Ia menangis karena merasa banyak pelajaran yang harus dipelajarinya. Besoknya ia tidak datang ke sekolah untuk seterusnya.    

Namun kekhawatiran terus menghantui pikiran Aji. Ia ingin Omad nanti melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Tapi bagaimana dengan biayanya? Biaya yang sekarang saja sudah sangat membebani. Memang SPP-nya gratis. Yang memberatkan justru uang bukunya. Ketika Omad masuk kelas 5, Aji harus menanggung uang bukunya sebesar Rp 350 ribu. Dengan penghasilan pas-pasan, uang segitu besar artinya bila harus keluar dari dompet tipisnya. Gaji per bulan dari menarik sampah Rp 650 ribu hanya cukup untuk makan dan belanja sehari-hari.

Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk kesehatannya. Sebagai orang yang saban hari bergelut dengan sampah, beragam penyakit mengancamnya. Tak jarang ia diserang penyakit seperti sakit kepala, sesak napas dan asma. Pernah ketika berkunjung ke rumahnya, saya mendapatinya berwajah lesu. Sudah semingga ia terserang sakit kepala. Tiga kali berobat ke puskesmas baru terasa lebih baik. Baginya ini risiko pekerjaan. Dan ia menjalaninya dengan biasa saja.


AJI. Tiga huruf saja penyusun namanya. Dari Kartu Tanda Penduduknya terbaca ia lahir di Karawang, 21 April 1954. Itu tebakan saja. Sebab ia tak punya akta kelahiran.

Kompleks marinir tempat gubuknya bernaung dikelilingi tembok belakang rumah tetangganya dan pagar seng. Cukup rapat kalau dilihat dari luar. Namun setelah dimasuki, akan terlihat beberapa gubuk tidak permanen berdiri ‘sebisanya’. Atapnya hanya lembaran seng, asbes, papan triplek dan kayu kaso. Beberapa bagiannya dilambari plastik yang ditaruhi pemberat seperti batu dan balok kayu.

Ada empat kepala keluarga yang tinggal di situ. Sejumlah gubuk kosong tak berpenghuni. Kamar mandi terletak di bagian tengah. Untuk kepentingan mandi, cuci dan kakus. Dipakai beramai-ramai.

Gubuk Aji, tak beda dengan yang lain, hanyalah sepetak ruangan berukuran sekitar 4 x 5 meter. Berisi ranjang, rak pakaian dan televisi 18 inci. TV itu pemberian seorang warga. Aji harus membetulkannya dulu agar TV model lama itu bisa dinikmati gambar dan suaranya. Sementara kompor sumbu diletakkan dekat pintu. Menggoreng dan merebus di situ.

Beruntung Aji tak perlu membayar sewa gubuknya. Semua diurus oleh Yani, pengumpul. Asal tetap menyalurkan barang-barang layak jual kepadanya seorang, ia bebas tinggal di situ. Ia hanya membayar tarif listrik yang rata-rata Rp 20 ribu per bulan.

Aji bersahaja menjalani hidup bersama keluarganya. Susah-senang dihadapi bersama. Tak pernah terpikir olehnya menjadi seorang petugas kebersihan bergaji pas-pasan. Yang bisa ia lakukan kini hanya ikhtiar menjemput rezeki pemberian Tuhan. “Kondisi seperti ini pasrah saja sama Yang Di Atas. Namanya rezeki sudah ada yang mengatur. Sedikit banyak Dia yang ngatur. Nggak  bisa protes. Yang penting kita ikhtiar, usaha. Masa kalau sudah ikhtiar rezeki nggak  ketemu.”

Aji adalah sosok petugas kebersihan bersahaja. Mengalir saja ia jalani hidup. Perubahan zaman tak membuatnya gentar mengais rezeki. Meski ia dilupakan orang-orang di sekitarnya. Meski mereka menutup mata atas jasa-jasanya. 

Artikel ini ditulis sekitar tahun 2007-2008.



Kamis, 21 April 2011

Superman dan Anak Nakal


Saya ingin sekali menonton film Superman. Tokoh superhero asal Amerika Serikat itu sudah merasuki alam imajinasi saya sejak saya kecil. Lewat komik, film kartun dan pernak-perniknya. Ia menjadi tokoh tak terjangkau karena saya tidak terlalu mendalam mengenal karakter dan asal-usulnya saat itu. Maka, penayangan kembali versi terbaru Superman lewat Superman Returns di bioskop memancing saya untuk menontonnya. Setidaknya saya bisa langsung melihat bagaimana aksi heroiknya, kryptonite, Lois Lane, Lex Luthor dan tokoh karakter lainnya.

Maka pada 24 Juli lalu, bertepatan dengan hari Senin dalam paket nonton hemat (nomat)—saya memang menyengajakan menonton pada hari ini karena tiketnya lebih murah—saya menyambangi gedung bioskop Buaran, pinggir Jalan I Gusti Ngurah Rai, Jakarta Timur.

Dari kantor di Kemayoran, Jakarta Pusat, saya meluncur pukul 17.30. Saya kurang yakin akan dapat menonton Superman Returns mengingat jarak tempuh perjalanan yang relatif jauh. Dan benar saja, setiba di sana, film tersebut akan kembali ditayangkan di teater 3 pukul 20.15. Penayangan sebelumnya pukul 17.15. Saya tiba pukul 19.00. “Biarlah. Demi memuaskan hati, jam berapapun saya jabani,” kata saya dalam hati.

Lalu saya pergi ke musala yang terletak di pojok kanan belakang bioskop. Salat maghrib dan beberapa menit kemudian salat isya. Kemudian menunggu selama sekitar satu jam dengan duduk-duduk di sofa lobi. Mengisinya dengan membaca buku kumpulan tulisan ideolog Iran Ali Syari’ati. “Kapan, nih, buku saya selesai baca ya,” gumam saya.

Pukul 19.35 loket penjualan karcis dibuka. Saya, yang duduk di seberang loket, segera menghambur dan berdiri di barisan belakang para pengantre. “Banyak juga peminatnya,” pikir saya. Sambil menunggu giliran,  saya mengamati sejumlah anak kecil yang dilepas oleh orang tuanya, berlari-larian dan berguling-guling di lantai seolah itu rumah mereka. Usai mendapat karcis saya kembali duduk di sofa dan menekuri buku.

Saya berpikir alangkah enaknya menonton film sambil makan makanan kecil. Biasanya saya makan kacang kulit yang murah. Namun di satu-satunya kantin yang terletak di bagian dalam belakang bioskop itu tidak menjual kacang kulit. Setelah memindai harga-harga makanan yang tertera besar-besar di papan tulis putih di dinding, saya memilih membeli berondong seharga Rp 1.500. Habis yang lainnya relatif lebih mahal ketimbang harga di luaran.

Pukul 19.54 pintu teater dibuka. Tidak terburu-buru saya memasukinya. Sebab, memang jam segitu film belum dimulai. Di dalam saya duduk di kursi nomor 13 D. Terletak di tengah-tengah dan agak ke belakang. Biasanya saya mengambil duduk di depannya, 13 A atau 12 A.


Seru
Kali pertama menyaksikan tampilan layar saat film dimulai, saya segera takjub. Penggambaran luar angkasa, sebuah tempat aneh yang tidak pernah langsung saya lihat, begitu bagus. Setting grafis detail. Kemudian saya menduga bahwa kelanjutannya akan bagus pula. Dan benar saja,

Superman, dalam cerita ini, baru pulang kembali ke bumi setelah lima tahun bertualang mencari kampung halaman sebenarnya, Planet Krypton--planet ini telah lama hancur. Walau ia sudah tahu kabar kehancuran planetnya, ia ingin membuktikan laporan sejumlah astronot yang mengaku telah menemukan planetnya. Namun kabar itu cuma isapan jempol.

Sekembali ke bumi, semuanya berubah. Lois Lane, rekan sejawatnya di harian Daily Planet, membuat sebuah tulisan yang membuatnya dianugerahi Pulitzer—penghargaan tertinggi dalam dunia pers di Amerika Serikat terhadap hasil suatu liputan mengagumkan, sama seperti Piala Oscar di dunia perfilman. Tajuknya “Why The World Doesn’t Need Superman--Mengapa Dunia Tidak Memerlukan Superman”.    

Yang lebih membuat Clark Kent—nama samaran Kal-El alias Superman—kaget, ternyata Lois Lane telah bertunangan dengan Richard yang juga teman sekantornya. Richard adalah keponakan Perry, Chief di Daily Planet, yang telah memiliki anak lelaki bernama Jason. Masa lalu kembali terkenang, di mana antara ia dan Lois Lane pernah terjalin hubungan asmara. Sebenarnya kondisi inilah—pertentangan Lois Lane dan Clark Kent--yang mewarnai film ini. Bahwa Lane marah pada Kent karena Kent tidak memberi tahu kepergiannya selama lima tahun. Semua sudah berubah. Tapi Kent tetap berusaha mendekati Lane.

Kemunculan Superman ke hadapan publik Metropolis—kota di mana Superman berada—adalah pada saat ia menyelamatkan sebuah pesawat percobaan. Sebuah tayangan langsung televisi menyorot Lane dan sejumlah wartawan sedang bertanya kepada seorang pemandu. Di situlah Kent, di markas Daily Planet, pertama kali setelah lima tahun melihat Lane. Pesawat itu mengalami gangguan akibat pasokan listrik yang tiba-tiba hilang dan beberapa detik kemudian kembali normal. Tidak, melebihi normal. Semua gedung di Metropolis dan peralatan yang menggunakan listrik padam. Lalu tak lama kemudian kembali ke keadaan semula namun melebihi ambang normal. Termasuk memengaruhi sistem kerja pesawat tersebut.

Pesawat rusak dan terancam mengalami kehancuran. Di situlah Superman memberikan pertolongan—barangkali motivasi terbesarnya karena ada Lane di dalam pesawat itu. Setelah bekerja keras melepas bagian-bagian pesawat yang terbakar, ia berhasil menahan pesawat jumbo itu dengan memegang moncongnya di tengah lapangan baseball yang sedang menggelar pertandingan dan dipenuhi ribuan penonton.

Maka dimulailah popularitas Superman. Perry mengumpulkan semua personelnya. Menyuruh mereka memasukkan segala hal tentang Superman di rubrik-rubriknya. Termasuk dalam rubrik kesehatan. “Berapa berat badannya?” katanya. Ia sangat yakin korannya akan laku keras bila memberitakan Superman.

Lois yang telah lama tidak menulis tentang Superman merasa tidak berminat lagi. Ia lebih tertarik menulis tentang pemadaman listrik. Namun Perry sebagai chief menolaknya. Ia menugaskan Lane menulis lagi Superman sementara soal pemadaman diurus Kent.

Superman menjelajah dunia. Dengan pendengaran tajamnya ia bisa mendengar banyak orang membutuhkan pertolongan. Dalam rentang waktu sangat dekat, ia berada di tempat-tempat terjauh hingga Filipina. Dunia kembali mengagungkan keberadaannya. Kehadirannya menjadi pemberitaan semua media massa.      

Otak pemadaman listrik kota, yang juga mengakibatkan kecelakaan pesawat, adalah Lex Luthor, ilmuwan jahat yang berambisi menguasai dunia. Dengan batu Kryptonite yang diambil dari ‘kediaman’ Superman di Kutub Utara, musuh bebuyutan Superman ini membuat percobaan pada miniatur kota di laboratoriumnya. Batu itu, setelah diceburkan ke dalam air, akan mengembang dan menyerap energi listrik sangat besar di sekitarnya dan tak lama kemudian mengembalikan energi listrik dalam kondisi tak stabil. Proses pengambilan dan pengembalian energi ini mengakibatkan kerusakan hebat di sekitarnya.

Hasil penelitian tersebut memunculkan tesis, bahwa bila batu Kryptonite berukuran besar ditanamkan pada lautan, maka ia akan mengembang lebih besar dan menyerap banyak energi di sekitarnya. Lebih dari itu, akan lahir sebuah daratan baru di mana milyaran penduduk bumi tewas akibat tergusur planet baru Kryptonite. Tanah Amerika Serikat, di mana batu tersebut ditanamkan di laut dekatnya, akan musnah lebih dulu. Lex Luthor menceritakan rencana ini kepada Lane saat wartawati itu datang ke kapal mewahnya bersama Jason. Di tempat ini Lane dan Jason disandera.      

Sulitnya mengetahui keberadaan Lane membuat gusar Richard dan Kent. Untunglah Lane telah mengirim fax ke Daily Planet mengenai keberadaannya berupa titik koordinat. Richard dengan pesawat airnya menyusul.

Perkembangan cepat batu Kryptonite dari dasar laut membuat kapal yang dihuni Lane dan Jason terancam—Luthor dan beberapa anak buahnya telah pergi dengan helikopter. Sebuah batu yang menjulang ke permukaan menusuk jantung kapal dan membelahnya menjadi dua bagian. Richard yang—tiba-tiba—telah berada di situ terjebak bersama Lane dan Jason dalam lambung kapal. Mereka ikut karam bersama bagian kapal yang lain.

Di saat genting Superman datang. Menolong mereka. Lalu ia menuju tanah Kryptonite yang telah menjadi pulau. Di sana ia bertemu Luthor beserta anak buahnya. Karena kekuatan Superman hilang bila berada di dekat Kryptonite, Superman menjadi bulan-bulanan mereka. Luthor, yang telah mencuri bongkahan Kryptonite dari sebuah museum lewat ‘aksi pencurian yang cerdik’, menusukkan Kryptonite ke perut Superman. Superman terluka dan jatuh ke dasar laut.

Jason, lewat pesawat yang dikendarai ayahnya, melihat Superman muncul ke permukaan untuk kemudian tenggelam. Lane juga melihatnya.  Sebelum menyentuh dasar laut, Lane mengangkat tubuh Superman ke pesawat. Di pesawat Lane mencabut serpihan Kryptonite yang terhujam di perut Superman. Kekuatan Superman kembali pulih.

Superman kembali mencari Luthor. Ia mengangkat pulau Kryptonite dari dasar laut dan melemparnya ke ruang angkasa. Luthor yang berada di pulau tersebut berusaha menyelamatkan diri. Hanya ia dan Kitty, serta satu anjingnya, yang selamat. Beberapa anak buahnya mati tertimpa bongkahan batu. Ia berhasil menyelamatkan diri dengan helikopter walaupun beberapa batu Kryptonitenya jatuh ke laut setelah dilempar Kitty—Kitty tidak suka kalau milyaran manusi amati akibat kemunculan pulau tersebut.

Setelah membuang duplikasi planet Kryptonite jauh-jauh ke luar angkasa, Superman jatuh ke bumi. Di rumah sakit detak jantungnya terdeteksi sangat lemah. Koma. Sekeping Kryptonite tersisa yang bersarang di perutnya di keluarkan oleh tim dokter. Penduduk bumi mendukung kesembuhannya.    

Lane dan Jason datang membesuk. Lane, yang percaya Superman mencintainya—dan ia sebenarnya juga mencintainya—mencium Superman dengan harapan setelah itu Superman bangkit dari tidurnya. Namun, sesudah itu, detak jantungnya tidak mengalami peningkatan di layar deteksi jantung. Sebelum pulang Jason mencium kening Superman.

Besoknya Superman sudah lenyap dari rumah sakit. Ia sembuh seperti sedia kala.

Sosok Kesepian
Barangkali penulis skenario Michael Dougherty dan Dan Harris serta sutradara Bryan Singer ingin menggambarkan Superman sebagai sosok kesepian. Sepi karena planetnya benar-benar telah lenyap dan sepi ditinggal orang yang dicintainya, Lois Lane. Film yang telah menghabiskan dana sekitar Rp 2,2 triliun ini juga tetap menggambarkan Superman sebagai lelaki yang agak kaku dalam menghadapi perempuan dan kurang romantis. Tiap menjelang akhir perpisahannya dengan Lane, Superman hanya berucap, “Good night, Lois—Selamat malam, Lois.”

Saya pikir penggambaran karakter Superman yang kesepian mirip dengan penggambaran Peter Parker alias Spiderman. Dalam rilis terakhir filmnya, Spiderman 2, Spiderman digambarkan sebagai orang yang mencari jati diri sebenarnya. Seorang manusia yang mengalami dilema antara menjadi superhero yang menghabiskan waktu dengan menolong banyak orang, dan manusia biasa yang mengharap bisa menjalin asmara dengan kekasihnya, Mary Jane. Malah Spiderman sempat menanggalkan kostumnya.

Kesamaan penggarapan karakter ini mungkin sedang mendominasi alam imajinasi para pekerja sineas di Holywood sana. Kondisi psikis superhero disorot dengan aspek yang lebih manusiawi—sedih, senang, dilematis, dll. Tokoh superhero tidak lagi digambarkan sesempurna mungkin; kuat, tegar, tak terkalahkan, tidak pernah mengeluh dan mendapatkan apa saja yang diinginkan.

Kelemahan
Saya—dengan berbagai kekurangan penilaian dan tanpa maksud mengurangi kesuksesan film ini--menangkap beberapa kelemahan di film ini, yaitu pada hal-hal kecil menyangkut aktivitas Superman sendiri. Ketika ia meninggalkan ibu angkatnya, Martha Clark Kent, untuk kembali bekerja di Daily Planet, ia mengatakan belum mendapat tinggal tetap kepada Lane. Tapi tidak diceritakan tepatnya di mana Kent tinggal. Juga aktivitasnya sebagai wartawan selama ia di Daily Planet. Tidak terlihat ia melakukan aktivitas jurnalistik kecuali saat ia memegang catatan kecil ketika Perry mengumpulkan para personelnya. Yang terlihat di Daily Planet adalah Kent yang mengagumi dirinya sendiri saat melihat gambar Superman di tayangan televisi.

Lalu Luthor yang terdampar di sebuah pulau terpencil gara-gara bensin helikopternya habis. Memang itu terserah penulis skenario dan sutradaranya, apakah hal-hal kecil itu boleh diabaikan atau tidak. Sejauh pengamatan saya, mereka telah berusaha melakukan ‘rasionalisasi’ di berbagai adegan.

Saya juga merasa ganjil dengan Jason. Saat Lane dianiaya oleh seorang anak buah Luthor di kapal, Jason yang hanya bisa melihat kejadian itu, dan dalam keadaan sesak napas karena asma, mendorong piano besar yang baru ia mainkan. Anak buah Luthor itu mati terkena serudukan piano. Pertanyaannya: bagaimana bisa Jason mendorong piano seberat itu? Lalu adegan super Jason juga terlihat ketika mereka dikurung dalam ruangan terkunci. Pada detik-detik terakhir, Jason membuka pintu—walau kelihatannya ayahnya yang membukanya.

Sutradara menjawabnya ketika Superman singgah ke kamar Jason setelah kabur dari rumah sakit. Superman, dalam rona haru, mengatakan beberapa hal kepada Jason yang tengah tidur pulas. Ia katakan, suatu saat kekuatan yang dimilikinya akan berpindah ke anak itu. “Ayah menjadi anak dan anak menjadi ayah,” kata Superman. Saya tidak mengerti maksudnya. Apa karena saya belum membaca komiknya? Barangkali. 

Jurnalistik
Saya sangat menyukai hal-hal berbau jurnalistik. Baik buku maupun film. Dan Superman Returns, tentu saja, juga mengisahkan kerja-kerja jurnalistik. Sebab Clak Kent adalah seorang wartawan, meskipun aktivitas kewartawanannya kurang ditonjolkan ketimbang aksi heroiknya.

Seperti Lois Lane yang memperoleh Pulitzer. Sudah saya tulis di muka, Pulitzer adalah penghargaan tertinggi dalam dunia jurnalistik Amerika. Kesuksesan seorang wartawan kadang bisa dinilai dari kesanggupannya mendapatkan penghargaan bergengsi ini. Sebab tidak semua wartawan bisa mendapatkannya. Untuk mendapatkan sebuah liputan yang masuk dalam kriteria Pulitzer tidak mudah. Tidak sekadar mengandalkan tulisan yang mendalam. Namun saya sendiri tidak tahu apa yang diceritakan Lane dalam tulisannya “Why The World Doesn’t Need Superman”.

Lane sebagai sosok wartawati andal tergambar dari pemilihan berita. Saat semua media menyoroti kembalinya Superman ke bumi, Lane malah tertarik menyelidiki pemadaman listrik. Ciri sebuah berita dianggap investigatif adalah orisinalitas dan berbeda dengan ‘mainstream’ pemberitaan yang tengah berlangsung. Juga menguak skandal/kejahatan seorang atau sekelompok tokoh yang merugikan orang banyak—tentu berbeda sekali dengan media di Indonesia yang senang melabelkan ‘investigasi’ pada pengungkapan perpecahan rumah tangga seorang artis atau terungkapnya kasus maling ayam.

Film ini juga menggambarkan bagaimana ideologi sebuah media ketika menjalankan bisnisnya. Perry berkata kepada personelnya, masyarakat senang pada berita tragedi, seks dan Superman. Tapi dengan kedatangan Superman, tragedi dan seks tak lagi menarik dijual. Maka ia menginstruksikan para personelnya untuk mengangkat cerita Superman dalam semua rubrik korannya. Padahal tidak semua rubrik bisa menampung berbagai cerita seputar Superman. Hanya dengan mengait-kaitkannya saja cerita itu bisa terlihat relevansinya. Misalnya rubrik Kesehatan mengangkat Superman dengan membahas: setelah lama tidak terlihat, berapa berat tubuh Superman sekarang? Bertambahkah?

Memang film ini menggunakan aktivitas jurnalisme sebagai tempelan saja. Juga Peter Parker yang menjadi wartawan foto/fotografer. Jadi maklum saja bila film heroik tidak mengeksplorasi aktivitas jurnalistik secara mendalam. 

Di Indonesia, film yang turut menyertakan kegiatan jurnalistik para tokohnya adalah ‘Ada Apa dengan Cinta?’ (diperankan oleh Dian Sastro Wardoyo sebagai Cinta dan Nicholas Saputra sebagai Rangga) lewat kegiatan majalah dinding sekolah dan Issue (dibintangi Tamara Bleszynski) dengan kegiatan peliputannya.


Film tentang jurnalistik dan penulis buku
Sebenarnya banyak film, baik barat dan Indonesia, yang menyertakan kegiatan jurnalistik dalam skenarionya. Namun sepertinya belum ada film Indonesia yang benar-benar menceritakan secara penuh kegiatan kewartawanan ini. Selalu ada bumbu lain semisal percintaan yang mewarnai kisah ceritanya.

Berbeda dengan barat (Amerika Serikat) yang telah memiliki tradisi kewartawanan cukup lama. Banyak kisah nyata maupun rekaan yang telah diangkat ke layar lebar. Yang paling legendaris berjudul ‘All The President’s Men’. Film ini diangkat dari novel karya Bob Woodward dan Karl Bernstein yang menceritakan bagaimana kedua wartawan Washington Post ini mengungkap kejahatan Presiden AS Richard Nixon dalam pemilihan umum. Kedua wartawan ini menceritakan proses yang mereka alami dari mewawancarai ribuan nara sumber selama kurang lebih tiga tahun hingga turunnya Nixon dari kursi kepresidenan pada 1974 gara-gara pengungkapan skandalnya ini. Skandal ini dinamakan ‘Watergate’ karena gedung tempat penyadapan terhadap kubu Partai Demokrat bernama Watergate.

Lalu ada ‘War Photographer’. Film dokumenter seorang fotografer perang nomor satu dunia, James Nachtwey, dalam menjelajahi kekejaman perang, konflik berdarah dan kemiskinan di sejumlah negara dunia termasuk Indonesia.

Seorang teman yang aktif di Pers Mahasiswa asal Yogyakarta, dalam sebuah mailing list merekomendasikan agar menonton film-film bagus yang pernah ia tonton. Semua film itu menyangkut biografi para penulis terkenal. ‘The Hours’, kisah novelis Virginia Wolf. ‘The Disappearence of Garcia Lorca’, kisah lenyapnya penyair necis dari Andalusia Federico Garcia Lorca. ‘Sylvia’, kisah tragis kematian penyair Inggris Sylvia Plath. ‘Agatha’, kisah novelis terkenal Agatha Christie. ‘Quillls’, kisah penulis porno pertama di Eropa Marquis de Sade. ‘Finding Forrester’, kisah novelis peraih Pulitzer. ‘Anne Frank’, kisah yang diambil dari catatan harian Anne Frank, seorang perempuan yang hidup pada masa pemerintahan Nazi Adolf Hitler. ‘Farewell to arms’, kisah cinta wartawan dan novelis Ernest Hemingway.

‘Basic Instinct’ juga mengangkat kisah novelis yang diperankan oleh aktor sensual Sharon Stone.

Penutup
Sebagaimana judul di atas, Superman dan Anak Nakal, saya akan bercerita mengenai suasana bioskop Buaran saat berlangsungnya film Superman Returns. Saya duduk di kursi 13 D. Seorang Bapak dan Ibu serta satu anak lelakinya duduk di belakang saya, kursi 11 E dan 12 E. Sementara keluarga teman mereka yang duduk di deretan kursi seberang saya membawa dua anak perempuan. Ketiga anak itu saya kira hampir sama usianya. Sekitar tiga-empat tahun.

Saya menyadari ternyata penonton malam itu, selain banyak dihadiri remaja yang berpasangan, juga dipenuhi orang tua—bapak-bapak dan ibu-ibu. Teringatlah saya pada kata-kata redaktur saya ketika masih di kantor. Katanya Superman film anak-anak. Dan dalam hati saya menambahkan: juga ditonton orang tua.

Dugaan saya tak meleset. Selama penayangan Superman Returns, terutama dipertengahan film hingga akhir, ketiga anak itu menciptakan kegaduhan. Mereka berlari-larian ke sana-kemari. Tidak semua kursi terisi membuat mereka makin leluasa bergerak. Mereka lompat-lompatan di undakan lantai seperti jalannya vampir. Atau berdiri di kursi sambil teriak-teriak, “Itu orang botak jahat!” Maksudnya Lex Luthor. Si bocah lelaki sempat berteriak dari belakang kepala saya. Saya bergerak membetulkan posisi duduk untuk merajuk dan berharap orang tuanya melihat bahwa saya terganggu oleh anaknya. Tapi ternyata tidak. Mereka terus berkonsentrasi menonton film dan tidak bisa mencegah anak-anak itu meluapkan kegembiraan bermain di ruangan gelap. Tapi, terus terang, saya menyukai keriangan mereka.    

Memang, seperti biasa, saya nonton selalu sendiri. Tidak pernah mengajak teman. Biasanya nomat siang hari. Bareng siswa-siswi yang sekolahnya di dekat gedung bioskop. Film pertama setelah lebih sepuluh tahun tidak menyambangi bioskop adalah ‘Lord of The Ring III’, lalu ‘30 Hari Mencari Cinta’, ‘Ketika’, ‘Alexander The Great’, ‘Mission Imposible 3’ dan terakhir ‘Superman Returs’. Dan, saya akui, selain menulis dan membaca, saya suka nonton film.     

25 Juli 2006

Neoliberalisme dan Ketidakberdayaan Negara

Negeri ini sedang dibayangi hantu yang tidak muncul dari kuburan: neoliberalisme.

Untuk mendapatkan gambaran riil perikehidupan buruh pabrik, John Pilger sampai merelakan nyamuk-nyamuk Aedes Aegypti menggigiti kulitnya dan menderita demam berdarah selama beberapa hari. Ia sedang menggarap film berjudul The New Rulers of The World pada sekitar 2001 itu. Sebuah film yang dikatakannya “menceritakan penguasa baru dunia, khususnya pengaruh bagi sebuah negara: Indonesia”. Ia merasa harus menceritakan keberadaan satu bagian masyarakat korban “sang penguasa baru dunia” itu: buruh pabrik.

Pilger memasuki perkampungan kumuh yang sebagian besar “bangunannya” dibuat dari kotak-kotak barang, dengan jemuran pakaian menggantung tak beraturan. Sampah bertebaran di mana-mana. Air bersih sulit didapat. Kekurangan gizi melanda anak-anak balita sementara penyakit siap menjangkit. Itulah kondisi tempat tinggal para buruh yang memproduksi barang-barang bermerek terkenal dengan upah rata-rata Rp 9.000 per hari. 

Pilger juga menyoroti sisi lain kehidupan dunia yang paradoks ini, yaitu mereka sekelompok kecil orang-orang berkuasa dengan perusahaan-perusahaan raksasa yang menggurita di seluruh belahan dunia. Hanya dengan 200 perusahaan, kata lelaki kurus berambut keemasan itu, seperempat kegiatan ekonomi dunia sudah dapat dikuasai. Aset General Motors lebih besar dari Denmark, Ford lebih besar dibanding Afrika Selatan. Dan penjualan dua perusahaan raksasa itu, menurut Noreena Hertz, Associate Director of the Centre of International Business and Management at the Judge Institute of the University of Cambridge--dalam bukunya yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Perampok Negara; Kuasa Kapitalisme Global dan Kematian Demokrasi (Alinea, 2005)—lebih besar dari GDP seluruh negara subsahara Afrika. Seratus perusahaan multinasional terbesar kini mengontrol 20% aset asing global, lima puluh satu dari 100 negara dunia kini adalah perusahaan, dan sisanya, empat puluh sembilan, yang merupakan negara bangsa. Aset IBM, BP dan General Electric melampaui kemampuan ekonomi kebanyakan negara kecil, dan Walmart—pengecer supermarket Amerika Serikat—memiliki penghasilan yang lebih besar dari kebanyakan negara Eropa Timur dan Tengah (hal. 8). Inilah dunia di mana penjarahan terselubung, meminjam ungkapan Hertz, sedang menari-nari di hadapan kita.

Pertanyaannya kini, dengan cara apa kaum minoritas itu mencengkeram dunia? Dan di mana peran negara dalam melindungi rakyatnya dari kerakusan mereka? Apakah negara telah benar-benar memainkan perannya? Terakhir, bagaimana dengan konteks Indonesia?

Untuk melihat cara para kapitalis global itu menjalankan “aksi penjarahan terselubung” dan bagaimana negara memposisikan diri, dapatlah kita tinjau bagaimana “praktisi” neoliberal Margareth Thatcher berperan. Perdana Menteri Inggris itu, ketika memulai pemerintahan besinya di awal 1979, membuat terobosan besar dan mencengangkan, di mana nantinya negara-negara maju lain mengikutinya. 

Selama 1980-an dan 1990-an, ia memerintahkan penjualan aset besar-besaran dari sektor publik ke sektor privat. Pada 1979 institusi pemerintah masih menguasai semua badan usaha batu bara, baja, gas, listrik, air, kereta api, pesawat, telekomunikasi, tenaga nuklir dan dermaga, serta memiliki pendapatan signifikan dalam minyak, perbankan, kapal laut, serta angkatan darat. Pada 1997, hampir semua badan usaha ini berada di tangan-tangan privat (Hertz, 2005: 27).

Thatcher juga mengurangi tingkat pajak perusahaan dan pribadi. Kontrol harga, deviden dan pertukaran uang asing dihilangkan. Pembatasan atas pinjaman bank dan sewa pembelian dihapus. Kontrol atas penyiaran, telekomunikasi, transportasi dan iklan ditarik.

Semua dilakukan dengan satu keyakinan kuat: jika yang kaya diberi insentif seperti pajak yang lebih rendah, mereka menjadi pengusaha yang akan mendorong pertumbuhan dan menciptakan lapangan pekerjaan. Atau, bila industri pelayanan publik diserahkan ke sektor privat, industri tersebut akan beroperasi lebih efisien dan membuka lapangan pekerjaan lebih besar.

Teori “menetes ke bawah” ini kemudian diikuti Presiden AS Ronald Reagen—dengan Reagenomiknya—dan terus menyebar ke negara-negara Eropa, Amerika Latin, Asia Timur dan Afrika. Perusahaan yang bebas dianggap sebagai kunci keberhasilan ekonomi.

Di satu sisi, diakui, sejumlah kemajuan terjadi. Persaingan ketat antarperusahaan menyebabkan pelayanan publik semakin baik. Tingkat efisiensi perusahaan pun tinggi sehingga laba semakin besar. Lapangan kerja terbuka lebar. Namun, di sisi lain, mereka yang lemah secara kapital dan berada pada posisi “yang dieksploitasi”—buruh dengan upah rendah dan kondisi kerja buruk—semakin terperosok ke jurang kemiskinan. Subsidi sosial seperti kesehatan, pendidikan dan layanan publik yang dihapus membuat beban hidup bertambah. Sementara sumber daya alam terus dieksplorasi dan dieksploitasi demi keuntungan segelintir pengusaha dan pejabat pemerintah.

Dari sedikit uraian di atas dapatlah disimpulkan bagaimana peran negara berkaitan dengan pengusaha. Negara, lewat aparatur birokrasinya, hanya sebagai alat para pemilik modal memuluskan usahanya memperluas pasar. Regulasi perdagangan diatur. Privatisasi, liberalisasi dan deregulasi diberlakukan di semua sektor pelayanan publik. Pajak perusahaan perlahan dihapus. Bea impor ditiadakan. Keran penanaman investasi asing dibuka lebar-lebar seiring penghapusan faktor-faktor penghambatnya.


Di Indonesia
Proses liberalisasi ekonomi di Indonesia dimulai ketika Soeharto berkuasa—dikenal dengan pembangunanisme. Naiknya Soeharto menjadi presiden waktu itu sebenarnya didukung oleh AS dan Inggris. Selain kedua negara itu berkepentingan untuk menghabisi orang-orang komunis yang telah menyusup ke pemerintahan Soekarno, mereka juga melihat Indonesia sebagai pasar potensial dengan kekayaan alam luar biasa.

Terbukti setelah dua tahun pasca pembantaian massal orang-orang komunis pada 1965—media massa AS tidak memberitakan tragedi itu sebagai kejahatan kemanusiaan, melainkan peristiwa demi keuntungan ekonomi Barat—para pebisnis besar terkuat dunia berkumpul di Swiss. Hadir dalam konferensi itu para raksasa kapitalis Barat dari perusahaan minyak, bank, General Motor, British Lyeland, British American Tobacco, Lemon Brothers, American Express dan Siemens. Konferensi yang diselenggarakan perusahaan Timelife pada 1967 itu berlangsung tiga hari, merumuskan kebijakan yang menguntungkan investor sedunia itu, dan menyusun infrastruktur hukum untuk kepentingan investasi mereka di Indonesia.

Maka mulai masuklah para investor asing ke Indonesia, dikawal lembaga perdagangan dunia (WTO) dan lembaga moneter internasional (IMF). Resep pembangunan kapitalistik dijejalkan ke pemerintahan Soeharto. Hutang berupa pinjaman dan hibah dikucurkan secara tak terkendali. Gedung-gedung bertingkat berdiri megah, bank-bank sebagai roda penggerak ekonomi menjamur. Peraturan perundangan diproduksi massal guna memuluskan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam rencana pembangunan lima tahun (Repelita).

Namun gaya kapitalistik di bawah kekuasaan Soeharto memiliki kekhasan, yakni kronisme. Hanya anggota keluarga dan orang-orang terdekat Soeharto saja yang bisa menikmati fasilitas akses ekonomi secara luas. Militer dijadikan tukang pukul untuk menghabisi siapa saja yang menghalangi. Sementara itu, perusahaan-perusahaan raksasa asing mengeruk kekayaan alam Indonesia dengan leluasa, dari ujung Sumatera sampai tanah Papua; Exxon Mobil di Nanggroe Aceh Darussalam, Caltex di Riau hingga PT Freeport dengan tambang tembaga dan emas di Papua. Rakyat Indonesia hanya bisa gigit jari menyaksikan kekayaan alamnya di darat dan laut “dirampok secara legal”.

Maka yang terjadi adalah pemiskinan dan pembodohan. Bahkan terus berlangsung hingga orde yang disebut reformasi ini. Kemiskinan terus meluas, angka pengangguran hingga akhir 2005 menembus angka 10 juta. Krisis ekonomi yang menimpa negeri ini—berbarengan dengan negara Asia lainnya—pada 1997 masih terasa sampai sekarang. Anehnya, patut disadari, turunnya Soeharto dari tampuk kekuasaan pada 1998 yang berimbas pada makin terbukanya kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi, justru membuat gerakan liberalisasi ekonomi di Indonesia makin massif.

IMF, yang merasa tidak bersalah telah memberi resep beracun terhadap ekonomi Indonesia, makin gencar mencekoki resep-resep baru. Privatisasi dan liberalisasi makin digalakkan. Penjualan aset-aset pemerintah di BUMN kepada investor asing dikebut.

Tentu sebagian masyarakat yang khawatir dengan proses “penggadaian bangsa” ini tak mau tinggal diam. Puncaknya ketika pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, lewat Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi, pada akhir 2002, menjual saham PT Indosat Tbk. sebesar 41,94% kepada perusahaan milik pemerintah Singapura. Gelombang demonstrasi selama beberapa hari yang dimotori Serikat Pekerja Indosat, mahasiswa dan organisasi nonpemerintah (LSM) memenuhi ruas-ruas jalan ibu kota dan menjalar ke sejumlah daerah. Namun toh itu tak mampu mengurungkan niat pemerintah yang telah masuk dalam perangkap neoliberalisme. Protes masyarakat hanya dianggap angin lalu.


Makin terperangkap  
Beberapa waktu lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat melontarkan kekhawatirannya akan merebaknya sejumlah pengusaha yang menduduki jabatan-jabatan birokrasi di pemerintahan—ia mengistilahkannya dengan dwifungsi politisi. Tentu kekhawatiran ini sangat berdasar dengan argumen, bahwa pengusaha yang menduduki jabatan strategis di birokrasi pemerintahan akan menggunakan kewenangannya untuk membesarkan kepentingan bisnisnya. Bisnis ditopang kekuatan  politik, sungguh sebuah perpaduan yang kokoh.

Selain itu, konsep privatisasi telah bergeser/digeser secara radikal. Tujuan utama privatisasi adalah efisiensi dan efektivitas kinerja perusahaan. Sebab selama ini perusahaan-perusahaan yang dikelola pemerintah dianggap tidak berjalan baik dan cenderung menjadi ladang korupsi. Dengan privatisasi yang membuka akses publik untuk memiliki dan turut mengelola, diharapkan kinerja perusahaan berangsur membaik.

Namun sayangnya, pemerintah cenderung mengartikan privatisasi sebagai pengalihan kepemilikan kepada investor asing. Investor lokal tak diberi perhatian lebih untuk menguasai saham-saham perusahaan nasional. Padahal, kian hari semakin nyata terlihat, kinerja perusahaan di bawah pengelolaan investor asing tak lebih baik dari sebelumnya.

Hal itu diakui M. Said Didu, Sekretaris Kementerian Negara BUMN, dalam sebuah diskusi di Jakarta pada pertengahan Desember 2005. Investor asing, katanya, tak memberikan kemajuan pada semua BUMN yang telah diprivatisasi. Semua BUMN yang telah diprivatisasi yang sekarang kinerjanya bagus dan harga sahamnya telah melonjak jauh, tegas Didu, dikelola sepenuhnya oleh orang Indonesia. Ini sekaligus memupus mitos yang telah menjadi stigma, bahwa manajemen asing lebih hebat ketimbang manajemen pribumi.

Dari segi perundangan, cengkeraman pemilik modal internasional makin kuat mengokohkan posisinya. Setelah terbit Undang-Undang Sumber Daya Air, menyusul kemudian Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Disinyalir Perpres yang menguntungkan pengusaha dan pemodal asing ini sebagai kelanjutan Infrastructure Summit pada awal 2005 lalu. Setelah pemanfaatan atas kekayaan alam dibatasi, hak kepemilikan masyarakat atas air dan tanah semakin digusur oleh pemerintah atas nama pembangunan demi kepentingan umum. Sekali lagi, meski gelombang demonstrasi dari berbagai kalangan masyarakat termasuk ulama--yang mengatakan Perpres ini zalim—digelar di berbagai daerah, pemerintah, didukung DPR, tetap bergeming. Kehendak untuk mencabut atau merivisi Perpres tersebut tinggal angan.     

* * *
Melihat kondisi di atas, apa yang bisa kita lakukan?

Barangkali yang dilakukan Retno Listyarti, seorang guru SMA negeri di Jakarta Utara, dapat dijadikan contoh kecil. Suatu hari Retno mengirim e-mail ke John Pilger, meminta izinnya untuk memperbanyak dan menayangkan film The New Rulers of The World di kelasnya. Pilger memberi izin.

Guru yang ramah dan cerdas ini juga membuat buku dengan menyertakan film tersebut sebagai referensi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan SMA kelas XI. Dan hingga suatu hari terjadilah sesuatu yang tidak ia duga.

Suatu hari seperti biasa Retno memesan teh botol di kantin. Tak mendapat yang dipesannya karena sudah habis, ia malah ditegur penjaga warung, “Apa, sih, yang ibu ajarkan ke anak-anak siswa? Teh botol yang biasa ibu minum habis, tapi tuh lihat, minuman lain masih banyak tersisa.” Ya, minuman yang dimaksud itu adalah minuman dalam kemasan kaleng dan botol dengan lisensi perusahaan asing.  

Artikel ini ditulis sekitar tahun 2006.