Sengat mentari pagi begitu terasa ketika saya menginjakkan kaki di halaman gedung Istora Senayan Jakarta, Sabtu, 19 Juni 2004. Ya, selama sembilan hari itu, sampai 27 Juni, di tempat tersebut digelar pameran buku. Forum Lingkar Pena (FLP), sebagai organisasi kepenulisan, bersama beberapa organisasi perbukuan lainnya ikut berperan serta dengan mendirikan stan.
Stan FLP masih sepi. Segeralah saya menyiapkan segala hal yang dipamerkan; buku, formulir pendaftaran, dll. Tak berapa lama satu suara menyapa ketika saya sedang menggelar karpet.
“Assalamu ‘alaikum. Billy sendirian? Yang lain pada ke mana?”
“Wa ‘alaikum salam. Belum pada datang, Mbak. Mungkin sebentar lagi.”
Suara ramah itu milik perempuan anggun yang senyumnya ‘selalu begitu’; lebar tanpa memperlihatkan giginya. Dialah Helvy Tiana Rosa, tokoh sastra islami Indonesia yang juga Ketua Umum FLP. Saya tak bermaksud berbangga hati, dialah ‘pengunjung’ pertama stan FLP dan saya penerima tamunya.
Sambil merangkai sejumlah tali berwarna untuk ditempeli foto-foto kegiatan Rumah Cahaya di Penjaringan, saya berbincang dengannya. Soal keperluannya datang awal, yaitu untuk memenuhi undangan panitia pameran membuka acara, hingga pertanyaan saya, “Mbak, tulisan saya dimuat di antologi yang Mbak buat, ya?”
Dengan ramah ia menjawab, “Iya. Tapi maaf ya tulisan Billy mbak ubah-ubah sedikit.”
Dengan jawaban seperti itu benak saya terheran, “Kenapa ya penulis kawakan seperti Mbak Helvy merendah diri dengan mengatakan ‘maaf’ kepada saya yang masih pemula? Padahal mengoreksi tulisan seorang pemula seperti saya adalah kewajaran?”
Beberapa saat kemudian Rahmania Arunita, penulis novel Eifel I’m In Love, datang. Ia mengedarkan pandangan ke stan FLP seperti mencari sesuatu.
“Faiz belum datang, ya?” tanyanya, entah kepada siapa. Yang dicarinya Abdurrahman Faiz, penulis cilik yang telah membukukan puisi-puisinya dan juara pertama sayembara penulisan ‘Surat untuk Presiden’ yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta.
“Belum, dia datang besok,” jawab Mbak Helvy. Seorang perempuan yang saya tidak kenal, yang berdiri di samping Rahmania, membisikinya kalau orang yang menjawab pertanyaannya barusan adalah Helvy Tiana Rosa. Saya berpikir Rahmania belum kenal wajah Mbak Helvy. “Saya ibunya. Memang ada apa?”
Dengan mimik yang baru saja berubah, Rahmania berkata, “Aduh, saya suka sama puisi-puisinya. Saya jadi pengin ketemu.”
Perbincangan keduanya berlanjut. Seperti ketidaktahuan Rahmania kenapa dia diundang panitia dalam pembukaan pameran, juga, mudah-mudahan saya tidak salah dengar, rencananya untuk menikah dalam waktu dekat.
***
Saya merekam dan menuliskan peristiwa itu dalam catatan saya. Sebuah kesan mendalam tentang seorang Helvy Tiana Rosa—kini ia tidak lagi menjabat Ketua Umum FLP.
Tulisan yang saya tanyakan kepadanya termuat dalam buku antologi ‘Matahari Tak Pernah Sendiri: Di Sini Ada Cinta! 2’ yang terbit enam bulan kemudian (Desember 2004)—diterbitkan Lingkar Pena Publishing House. Satu tulisan saya itu bertajuk ‘Belajar Dari Azimah’.
Nama (pena) lengkapnya Azimah Rahayu. Saya memujinya sebagai ‘perempuan energik yang pernah saya temui’. Selain bekerja sebagai pegawai negeri sipil, Azimah sangatlah sibuk mengurusi kegiatan organisasi—ia Ketua FLP DKI Jakarta periode 2002-2004. Ia mondar-mandir kesana-kemari hingga larut malam. Sikap dan tutur katanya begitu bersemangat seperti tidak mencerminkan kelelahan aktivitasnya. Di situlah saya mengaguminya. Dan, kini, ia memegang amanah sebagai Ketua Harian FLP. Mendampingi Irfan Hidayatullah, Ketua Umum FLP yang juga dosen Universitas Padjadjaran, Bandung.
Orang ketiga di jajaran FLP yang saya kagumi adalah Gola Gong, sastrawan kawakan yang sejak 2002 mendirikan Rumah Dunia di Serang, Banten. Ingin sekali saya bertemu dan berbincang langsung dengannya. Nama dan pengabdian panjangnya di dunia tulis-menulis hanya bisa saya dengar dari cerita teman dan bacaan media cetak.
Alhamdulillah pada 30 Juli kemarin saya dan teman-teman FLP DKI bertandang ke Rumah Dunia. Wew, menyenangkan sekali! Di sana kami bisa melihat langsung bagaimana rupa Rumah Dunia; perpustakaan, panggung pentas, kedai buku, taman bermain, dll. Yang sangat menggembirakan adalah bisa berdiskusi dengannya.
Ia bercerita banyak mengenai karir menulisnya sejak SMA. Juga bagaimana perjuangan mendirikan Rumah Dunia. Bagian inilah yang saya kagumi darinya. Ketulusan dan pengorbanannya begitu besar, tanpa mengharap imbalan sedikitpun. Ia ingin semua orang senang membaca dan bisa menulis. Sebab dari sinilah Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan. Qizink La Aziva, seorang relawan yang sudah lima tahun ‘menetap’ di sana, mengatakan soal Rumah Dunia: “Masuk sini nggak ada yang bayar dan dibayar”. Di zaman yang serba komersil ini, solidaritas dan tempat seperti ini sangatlah sulit dicari.
Bolehlah kita mengagumi atau mengidolakan seseorang. Namun, bagi saya, tentu saja Rasulullah Muhammad Saw. tauladan utama. Selain dari diri Rasulullah dan para Sahabat, kita bisa belajar dari orang terdekat; mereka yang memberi tanpa meminta, mereka yang berjuang untuk mengubah masyarakat. Bukan kepada mereka yang cuma bisa bernyanyi dan minta dikirimi SMS sebanyak-banyaknya. So, who is your idol?
*Tulisan ini dibuat sekitar setahun yang lalu. Lupa dicantumkan tanggal pembuatannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar