Total Tayangan Halaman

Jumat, 22 April 2011

Pedagang Kaki Lima Bukan Obsolet


Selasa siang, 15 Desember 2007, pukul 11.22. Cuaca di sekitar Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, cukup panas. Aku mengeluarkan sekeping logam Rp 500  dari saku tas dan bersiap turun dari bus metromini T 52 jurusan Kampung Melayu-Cakung. Stasiun Tebet baru saja terlewati. Belum saja metromini mendekati terminal, sebuah mobil patroli warna biru dongker melintas cepat dari sisi kiri. Penumpang yang duduk berderet di belakang mobil itu berseragam seperti warna mobil, sebagian memegang sebuah lapak kaca berisi barang dagangan. Pandangan sinisku mengikuti laju mobil yang tiba-tiba berhenti di pertigaan bawah jembatan fly over.

Aku turun, karena T 52 hendak berputar arah lewat pertigaan itu. Segera kulihat petugas Polisi Pamong Praja berseragam biru dongker turun dari mobil patroli lalu menyebar ke tengah jalan. Para pedagang berlarian membawa barang dagangannya. Aku menyeberang dan berdiri di trotoar pertigaan jalan. Dari dekat dapat kulihat pedagang jeruk mendorong gerobaknya dengan tergesa. Berulangkali ia memutar arah gerobaknya. Pedagang itu terlihat bingung. Di dekatnya pedagang buku juga mendorong gerobak berisi buku-buku bekas. Ia berbalik arah dengan cepat sehingga beberapa buku terjatuh. Kepanikan juga tergambar di wajah pedagang lain yang ramai-ramai mendorong gerobaknya ke tempat aman. Pedagang asongan yang menaruh dagangannya di badan trotoar turut menyembunyikan dagangannya.

Aku baru menyadari kenapa para pedagang itu bingung menentukan arah sembunyi setelah melihat para petugas menyerbu pertigaan itu dari segala penjuru. Ya, pertigaan jalan itu dikepung! Petugas yang jumlahnya ratusan memenuhi Jalan Kampung Melayu Besar. Mereka datang dari dalam terminal. Barangkali mereka sudah menyisir pedagang kaki lima di itu terminal.

Aku tak melihat satupun gerobak pedagang diangkut petugas. Kupikir mereka sudah cukup terlatih untuk melarikan diri dari kejaran petugas. Entah di mana mereka sembunyikan itu gerobak. Yang pasti, setelah merasa aman, pemilik gerobak yang kukenal datang ke lokasi kejadian dengan ekspresi biasa.

Aku menyusuri bibir trotoar menuju terminal dengan hati yang tiba-tiba didera kesedihan. Aku hampir menangis. Dalam hati aku mencaci para petugas berseragam biru dongker yang jumlahnya makin banyak. Wajah mereka garang-garang, seolah ingin memakan itu semua pedagang.

Kuputar pandang ke seberang jalan arah Stasiun Tebet. Sebuah mobil bak tertutup warna biru dongker bertulisan Pol PP seperti menggiring para petugas mengejar pedagang. Hasil buruan mereka akan dimasukkan ke itu mobil. Ya, beberapa barang sitaan ada di dalam bak itu mobil. Entah apa.

Penggerebegan itu berjalan cepat. Pukul 11.28 mobil-mobil patroli mengangkut ratusan petugas dan bergerak ke arah Jalan Jatinegara Barat, sebelah utara terminal. Tiga menit kemudian, pukul 11.31, tiada tersisa petugas di kawasan itu. Barangkali mereka akan “membersihkan” Pasar Jati Negara, pikirku.    

Aku masih berdiri di trotoar seberang terminal. Kuamati sekitar, kondisi normal seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Kemacetan yang tadi sangat tampak kini kembali sedia kala. Tukang ojek tetap memarkir motornya dipinggir jalan. Di bawah jembatan, orang-orang tidur-tiduran di atas trotoar beralas tikar atau kardus. Sebagian ngobrol-ngobrol dengan penjual mie rebus dan kopi tak bergerobak. Beberapa orang bicara dalam bahasa Batak. Aku mendengarkan dan tidak mengerti. Aku menyeberang lalu naik Mikrolet ke arah Pasar Senen. Menuju tempat kerja di bilangan Kemayoran Jakarta Pusat.   

Besoknya para pedagang itu kembali menempati posisi masing-masing. Pedagang jeruk di situ, pedagang buku dan koran juga di situ; pinggir jalan. Aku menyempatkan bertanya pada pegadang koran langgananku—aku mengeluarkan logam Rp 500, ditambah selembar uang ribuan, untuk beli koran darinya. Saat penggerebegan ke mana dia. Katanya, waktu itu ia sudah menyadari akan digerebeg. Makanya saat istriarahat makan siang ia sudah menyembunyikan gerobaknya di tempat aman. Gerobaknya pernah di sita petugas.

PKL Jatinegara in memoriam
Kenapa aku sedih saat penggerebegan itu? Sebab yang kurasa yang sedang terjadi dihadapanku adalah sebuah fenomena kezaliman. Pemerintah, dengan kepanjangan tangan aparatnya, merampas mata pencaharian warganya. Mereka, para pedagang yang berdagang di pinggir jalan, dianggap merusak keindahan. Makanya harus dibersihkan. Tak sedikit aparat berseragam itu bertindak kasar. Banyak kasus kekerasan aparat terhadap pedagang ditayangkan televisi. Namun tetap saja kekerasan yang sebenarnya antaranggota masyarakat sipil terus terjadi.

Memang banyak yang memandang keberadaan pedagang kaki lima merusak pemandangan. Mereka tak jarang menjadi biang kemacetan di jalan raya. Berdagang semaunya dengan memotong badan jalan. Sampah berserakan dibiarkan.

Dulu badan trotoar Jalan Kampung Melayu Besar dekat terminal tidak ditempati pedagang. Namun sejak penggerebegan usai Idul Fitri akhir Desember 2006 terhadap pedagang di sekitar terminal Kampung Melayu dan pedagang di sepanjang Jalan Bekasi Barat Raya, badan trotoar itu dipenuhi pedagang; buah, nasi, koran, gorengan, dll. Kesemrawutan makin menjadi karena metromini T52 dan bus sekolah jurusan Tanah Abang-Pasar Minggu ikut mangkal di situ. Belum lagi tukang ojek yang memarkir motornya di sela-sela pedagang. Laju kendaraan ke arah terminal selalu tersendat.

Yang terlihat begitu menonjol adalah suasana di sepanjang Jalan Bekasi Barat Raya, dari bawah jembatan rel kereta Jalan Matraman Raya hingga Stasiun Jatinegara. Dulu sepanjang pinggir jalan itu dipenuhi pedagang. Terkadang mereka menggelar dagangan hingga memakan setengah badan jalan. Kemacetan kian parah karena kendaraan  angkutan berhenti di sembarang tempat untuk menunggu penumpang. Menjelang Lebaran kepadatan ini bisa meningkat dua kali.

“Kehebatan” eksistensi pedagang Jatinegara itu sangat dirasakan Plaza Jatinegara. Plaza itu kini ditutup. Pastilah bangkrut, karena pengunjung lebih tertarik membeli barang di pinggir jalan. Lebih murah dan banyak pilihan. Pintu masuk dan keluar pertokoan bertingkat itu selalu disesaki pedagang maupun bajaj yang kadang mangkal di depan pintu. Pengunjung plaza yang membawa mobil atau motor pastilah kerepotan untuk masuk atau keluar dari area pertokoan.

Tapi kini para pedagang itu tinggal kenangan. Sepanjang jalan itu bersih dari transaksi. Usai Lebaran, lapak-lapak mereka diangkut petugas. Mereka tidak bisa kembali menggelar barang dagangan karena saban hari ditongkrongi petugas. Pagi, siang, sore, malam. Bagian tengah jalan dibangun ruas jalan untuk busway. Di seberang Gereja Koinonia dibangun halte busway, lengkap dengan jembatannya.

Yang sangat kusesalkan adalah kehilangan pedagang buku bekas yang biasa mangkal di depan stasiun. Sejak sepuluh tahun lalu waktu masih sekolah di Grogol, aku biasa mencari-cari buku di situ, atau makan roti bakar bersama teman didekatnya. Kini mereka tidak ada. Ada sih yang masih bertahan, tapi sedikit sekali buku yang digelar. Kebanyakan majalah. Itu pun diletakkan di bawah dinding pagar stasiun.

Mal VS PKL
Nyoman S.Pendit, pakar MICE (Meeting, Incentif, Convention, Exhibition), berkata, pedagang kaki lima masuk dalam unsur MICE. Ada barang yang dijual, transaksi, dan tempat. Inilah bidang usaha rakyat jelata. Tempat mereka di pinggir-pinggir jalan karena tidak punya tempat menggelar dagangan.

Apalagi sekarang hampir di semua pasar tradisional atau simpang jalan pusat pedagang kaki lima di Jakarta berdiri mal. Ada Hyapermarket Carrefour dan Gyant, juga pusat perbelanjaan besar yang di belakangnya berembel-embel Trade Center dan Square. Tidakkah keberadaan mal-mal itu sengaja untuk membunuh pendapatan pedagang kecil di sekitarnya? Padahal sebelumnya omset mereka dirongrong habis-habisan oleh keberadaan minimarket yang semakin menjamur.    

Menurut Pendit, sebaiknya pemerintah tidak menganggap pedagang kaki lima sebagai ancaman dan pengganggu keindahan umum. Justru mereka adalah potensi yang seharusnya dikelola dengan baik.

Aku punya pandangan yang tak jauh berbeda dengan Pendit. Bahwa pedagang kaki lima belum bisa mengatur diri. Lihat saja, di mana ada pedagang kaki lima, di situ terjadi kemacetan. Sampah, kotoran, dan bau pesing menjadi penegas identitas. Kebanyakan mereka belum memiliki kesadaran bahwa kebersihan, ketertiban, dan kerapihan merupakan faktor penting yang bisa menaikkan omset mereka.

Di sinilah mestinya pemerintah mengambil peran. Pemerintah menyediakan area berdagang sambil memberi pembinaan akan pentingnya kebersihan, ketertiban, dan kerapihan sebagaimana ditunjukkan oleh mal-mal besar. Bukan malah menyingkirkan mereka!

Aku jadi berpikir, di sinilah penegas keberpihakan pemerintah terhadap warganya. Mereka lebih mementingkan pembangunan mal-mal modern yang dimotori segelintir pemodal besar ketimbang membangun pasar-pasar tradisional atau tempat belanja berisi pedagang kecil. PKL dipandang sebagai bidang usaha yang obsolet, usang atau ketinggalan zaman. 

Jadilah, sampai kapanpun, di mana-mana, pedagang kaki lima menjadi kaum terpinggirkan dan marjinal di tengah modernisasi negara ini. Keberadaan mereka seolah menjadi sampah di hadapan aparat pemerintah. Dan, drama kejar-mengejar Polisi Pamong Praja-PKL akan terus terjadi.         



 Duren Sawit, 18 Januari 2007. 22.50 wib.


Tidak ada komentar: