“Demi mengetahui sumber air bah yang menenggelamkan desa, Amal, Amil, dan Amul berjalan menyusuri bukit, membelah hutan, menyeberangi sungai. Di tengah hutan mereka mendengar lolongan serigala, auman macan, teriakan monyet. Amal yang penakut segera berlindung di balik pohon.
“‘Payah, segitu saja takut!’ ujar Amul yang pemberani.
“Jger!
“Tiba-tiba petir menggelegar. Amul kaget dan buru-buru berlindung di samping Amal. Begitu pula Amul.
“Langit gelap. Awan hitam menggumpal di atas hutan. Berkali-kali petir menggelegar, membuat bulu kuduk Amal, Amil, dan Amul berdiri.”
Di luar garasi mobil sinar mentari tak lagi tampak. Tertutup awan kehitaman. Mendung. Fauzan, siswa bertubuh besar yang duduk paling depan, menoleh ke belakang, memanggil ibunya. Sesaat kemudian ia mengisak tangis, minta pulang. Sang Ibu memintanya diam, namun Fauzan tak menggubris Tangisnya makin keras. Lalu ia bangkit dari duduknya, ingin ke belakang, namun barisan kursi yang diduduki siswa lain tak memungkinkannya melangkah ke belakang. Tangisnya kemudian meledak.
Beberapa siswa berdiri, hampir semua terprovokasi tangisan Fauzan. Reza yang duduk satu baris dengan Fauzan berdiri, hendak ke belakang. Ia berteriak pada ibunya ingin pulang. Siswa yang duduk di barisan belakang keluar dengan mudah dari garasi mobil. Mendekati ibu mereka yang duduk di atas tikar sepuluh meter di belakang.
Saya memutar otak dengan mempercepat jalan cerita.
“Tibalah mereka di atas bukit. Tanah lapang berumput terhampar luas. Sebuah rumah besar berdiri di tengah-tengahnya. Amal, Amil, dan Amul mendekati rumah dan berdiri di ambang pintu.
“Di rumah itu kursinya besar, mejanya juga besar. Lalu terdengar suara isakan tangis dari samping rumah. Lalu ketiganya bergegas ke sumber suara di samping rumah.
“Amal dan Amul kaget. Mereka segera berlindung di balik batu. Di hadapan mereka makhluk raksasa sedang duduk di atas batu. Wajahnya ditangkupkan pada pangkuannya, di lingkari kedua bahunya.
“’Huu...huu...hu...’
“Anak raksasa itu menangis. Air matanya menjadi bah yang menenggelamkan desa. Amul dengan dada terangkat berkata, ‘Hei, apa yang membuatmu menangis?’
“Masih dengan wajah tersembunyi di balik pangkuan, anak raksasa menjawab, ‘Saya kesepian di sini. Ditinggal sendiri oleh ayah-ibu. Sudah beberapa hari.’
“Amal, Amil, dan Amul kemudian berdiskusi bagaimana membuat anak raksasa tak lagi menangis. Mereka sepakat untuk menghiburnya.
“’Yuk kita hibur dia dengan menyanyikan lagu ‘balonku’!’ teriak Amul.”
Lalu anak-anak bernyanyi ‘balonku’.
“Wah, ternyata anak raksasa itu masih menangis. ‘Kita harus menyanyikan lagu yang membuat hati semangat! Ayo kita menyanyikan lagu ‘Aku Seorang Kapiten!’ ajak Amul.”
Anak-anak bernyanyi lagu ‘Aku Seorang Kapiten’.
“Anak Raksasa itu mengangkat wajahnya. Kini tangisnya mulai mereda. ‘Biar dia diam, kita menyanyi lagu apalagi?’ tanya Amul pada Amal dan Amil.”
Seorang anak di belakang berteriak, “Lagu ‘Potong bebek angsa’!”
Lalu anak-anak menyanyi lagu ‘Potong Bebek Angsa’.
“Akhirnya anak raksasa itu tak lagi menangis. Ia berterima kasih pada Amal, Amil, dan Amul yang telah menghiburnya. ‘Sebagai tanda terima kasih, saya akan membantu kalian mengeringkan air bah yang menenggelamkan desa kalian,’ ujar anak raksasa.”
Di luar garasi mobil, anehnya, langit berubah cerah. Mentari bersinar kembali. Sengatnya sampai masuk mengenai sebagian siswa di dalam kelas. Ya, kelas mereka, siswa-siswi PAUD Nusa Indah Duren Sawit, adalah sebuah garasi. Panas dan hujan pasti menerpa bagian dalam garasi.
Anak-anak kembali masuk kelas. Saya menyudahi cerita.
PAGI tadi tak ada pelajaran yang melibatkan pensil warna dan kertas. “Hari ini kita belajar berkhayal,” ujar saya usai senam pagi. “Nanti Bapak akan mendongeng lalu kita nonton film di sini.” Saat berkata ‘mendongeng’ seraya menunjuk ruang kelas (garasi mobil) dan ‘nonton film di sini’ adalah tempat yang mereka pakai buat senam pagi.
Lantaran jam belajar terpotong oleh senam pagi dan waktu yang sempit, saya berinisiatif mengisi pelajaran Sabtu dengan variasi materi. Tak melulu berisi belajar menggunakan buku.
Sabtu lalu, karena kelas A dan B digabung (kelas A dan kelas B usia 3-5 tahun serta kelas kecil berusia 2-3 tahun senam bersama), saya kerepotan sekali. Lantaran ruang kelas tak muat menampung gabungan siswa kelas A dan B usia 3-5 tahun, dibagilah ruang belajar mereka. Kelas A di dalam kelas. Kelas B duduk di tikar, di lokasi mereka senam pagi—ruang belajar kelas kecil di garasi rumah Bu Alwin yang terletak di lain gang..
Awalnya saya berpikir untuk menangani keduanya, mondar-mandir ke kelas masing-masing. Saat saya memegang kelas A, Bu Sri Suwarsini, guru yang memegang pelajaran hari Kamis, bantu memegang kelas B. Ternyata rencana itu gagal. Waktu saya tersita di kelas A. Untung saja Bu Sri Suwarsini bisa menangani kelas B.
Setelah anak-anak istirahat, Bu Sundari, Bendahara PAUD, berkata, “Pak, sudah jam setengah sepuluh. Anak-anak dipulangkan saja.” Rencana saya mendongeng gagal. Padahal saya sudah membawa tiga boneka tangan. Janji saya pada Fajar, siswa yang sejak masuk sekolah usai liburan Lebaran minta saya untuk mendongeng, tak kunjung terpenuhi. Dan tadi, sebelum mendongeng, saya menjawab ancamannya yang lalu-lalu, “Awas lho, Pak, kalau nggak cerita!”
Entah apakah besok-besok Fajar masih melontarkan ancamannya, saya tidak tahu.
Duren Sawit, Jakarta Timur.
Sabtu, 24 Oktober 2009. 11.00 WIB.
1 komentar:
ternyata mas Billy juga pengajar.. saya baru tau,, saya salut sm pengajar anak2 usia dini, krn menghadapi mereka ga mudah, hehe
Posting Komentar