Total Tayangan Halaman

Jumat, 20 Mei 2011

Ketika Napas di Ujung Tanduk

Bagaimana sakit yang kuderita mengingatkanku pada kematian.

Tiba-tiba aku jadi sulit bernapas. Tiap helaan laksana menarik gerobak berisi berton-ton batu kali. Sesekali terdengar suara lirih bersamaan dengan udara yang terhela, mengingatkanku pada detik-detik sakaratul maut di film-film. Aku mau mati saja.

Barulah Sabtu siang itu, 9 Januari yang dingin, aku menyadari bahwa sesak napasku tak biasa. Dua butir obat warung yang biasanya tokcer melepaskanku dari belitan sesak napas, yang kutelan pagi dan siang, tak beri efek apa-apa pada tubuhku. Asmaku kambuh.

Melihat kondisi kritis begitu, Ibu prihatin. Ia menyarankanku menyambangi Unit Gawat Darurat Puskesmas Kecamatan Duren Sawit. Aku masih menolak. Dan aku masih seperti menikmati jadi orang kritis kesulitan napas di hadapan tatapan nanar Ibu.

Akupun menyerah. Ke klinik saja ya, pintaku. Adikku, Merliana Merlin namanya,  menawarkan diri mengecek lebih dulu klinik yang kumaksud apakah masih beroperasi: di pinggir jalan seberang bioskop Buaran. Meluncurlah ia dengan sepeda motor. Tak berapa lama, dari ujung telepon ia mengabarkan klinik itu sudah tutup.

Cari klinik lain, kata Ibu. Aku dan Ibu keluar, hendak menyambangi dokter praktik yang rumahnya tepat di mulut gang rumahku: Jalan Swadaya VI. Setiba di sana, adikku menutuk-nutukkan kunci pintu pagar masuk yang terletak di belakang rumah. Tak tampak tanda-tanda penghuninya keluar. Beberapa tetangga yang melihat itu bertanya dan menyarankan untuk periksa di klinik lain. Maksudnya klinik bidan! Memang aku pasien hamil atau mau diimunisasi, tanyaku dalam hati. “Itu si Yana kemarin ke bidan sana, sesak napasnya sembuh,” ucap tetanggaku yang biasa kusapa Enyak. Ia menunjuk praktik bidan di kawasan Pondok Bambu. Aku, Ibu, dan adik tidak tahu letaknya. Lagi pula agak jauh dari rumah. Enyak memberi referensi lain yang lebih dekat. Tapi tetap praktik bidan. Letaknya di Jalan swadaya I. Praktik bidan Farida. Okelah aku ke sana. Naik motor diboncengi adik yang masih tergolong pengantin baru—belum genap sebulan menikah.

Oleh bidan Farida aku diperiksa tekanan darah. “Normal,” kata bidan muda itu. Bicaranya santun dan sopan. “120/80.” Syukurlah, batinku. “Di suntik ya, biar sesak napasnya berkurang,” lanjutnya. Sudah kuduga.

Setelah disuntik aku merasa pusing. Wajahku memucat. Oleh bidan aku disarankan berbaring di atas ranjang periksa. Oleh asistennya hidungku di masukkan selang oksigen. Baru kali pertama itu aku menghirup oksigen.

Selama berbaring dada bawah bagian kananku nyeri, pegal. Sesekali aku merintih. Kata bidan itu biasa. Efek suntik barangkali maksudnya.

Adik memanggil Ibu. Memboncengnya dengan motor. Selama berbaring Ibu mendampingiku. Memijiti kaki dan tanganku. Sebuah kesadaran tiba-tiba menyapaku. Sentuhan Ibu menggerakkan sendi-sendi tubuhku. Memberi kekuatan yang sulit kulukiskan. Aku teringat masa-masa sulit saat sakit merongrongku, dulu, saat masih kecil dan remaja, ketika Ibu dengan setia dan penuh perhatian menemaniku berbaring; memijiti kepalaku dan sekujur tubuhku. Dan baru kusadari, Sabtu sore kemarin, bahwa sentuhan Ibu juga memberi kontribusi pada kesembuhanku.

Aku pun teringat pada Sabtu pekan sebelumnya, 2 Januari, saat aku membesuk bayi prematur seorang teman di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi. Kata temanku, perempuan muda beranak dua, suster penjaga bayi jika tak bisa menghentikan tangis bayi di dalam inkubator (tempat menyimpan bayi) akan menelepon sang ibu. Memintanya datang ke rumah sakit. Ajaibnya, setelah sang ibu menyentuhnya, bayi itu akan diam. Itulah kehebatan seorang Ibu! Sentuhan dan kedekatannya dengan sang anak mampu memberi kekuatan tak terduga pada psikologi dan biologis anak.

Maka aku minta Ibu menggenggam tanganku. Akupun memeluk telapak tangannya dengan telapak tanganku yang dingin. Ibu tampak heran. Namun kemudian aku merasakan kekuatan yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata menjalar dari tangan Ibu ke tubuhku.

Bidan Farida bertanya tentang riwayat sakit asmaku. Kata Ibu, sakit itu menurun dari nenekku. Dulu, saat usiaku sekitar lima tahun, asmaku kambuh. Aku dibawa ke Rumah Sakit Mitra Keluarga di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur—sekarang berganti nama menjadi RS Mitra Internasional. Setelah lima kali terapi, asmaku normal. Maksudnya, tidak separah penderita lain.

Ibu terus memijiti kakiku. Tubuhku berangsur membaik. Napas tak lagi saling berkejaran. Keringat keluar dari pembuluh kulit kaki, tangan, dan kepala. Sejam setelah berbaring, aku merasa agak membaik. Bidan Farida memberiku sejumlah obat untuk diminum.

Tak lama tiba di rumah, napasku kembali bergejolak. Dadaku makin berat. Kembali menghela napas seperti menarik berton-ton batu kali dalam gerobak. Sempat terpikir betapa sulit bernapas dan enaknya bisa bernapas lega. Ya Allah, aku teringat dengan nikmat terbesar dalam hidup: bisa bernapas lega. Nikmat ini yang hampir tak pernah disyukuri banyak manusia. Termasuk aku. Berapa banyak waktu yang dihabisi dalam gelimang maksiat dan dosa saat bisa bernapas lega? Aku berefleksi dan memprihatinkan perilaku hidupku.

Ternyata bisa bernapas lega itu sangat enak. Nikmat. Tak perlu susah payah menghela udara untuk bisa hidup normal. Tidak seperti aku yang mati-matian menarik napas, menahan sesak perut yang kian menegang dan berat agar bisa terus bertahan hidup! Ya, aku berpikir, sampai berapa lama aku akan bertahan untuk mati-matian bisa bernapas. Bernapas itu sulit! Aku bisa saja putus asa lantaran kelelahan menghela napas yang tak kian membaik. Dan kematian, tiba-tiba saja membayangiku.

Bayangan kematian yang juga sempat menghantui benakku saat terkulai lemah menahan panas-dingin yang bolak-balik mendera tubuh, pada November 2007 kelabu, dikikis virus Aedes Aegypti yang banyak memakan korban jiwa (Tulisan tentang ini dapat dilihat di blogku: www.billyantoro.multiply.com. Tulisan panjang yang kubagi dalam tiga bagian bertajuk “Aku dan Nyamuk 1, Aku dan Nyamuk 2, dan Aku dan Nyamuk 3.)  

Tapi aku tak boleh mati. Masih banyak pekerjaan yang belum kuselesaikan. Dan cita-cita yang belum kugapai. Juga demi menjaga sebuah hiburan, tepatnya pengharapan, dari Allah yang diberikan hari itu bagi sebuah masa depan. Aku tak boleh mati. Aku tak boleh menyerah. Ini ujian Allah yang semoga dapat meruntuhkan dosa-dosaku dan memberikan hikmah terdalam pada hidupku. 

Ibu menyarankanku memeriksakan diri ke UGD RS Islam Jakarta Pondok Kopi. Bapak yang sudah pulang kerja setuju. Aku masih ragu: barangkali aku masih bisa tahan hingga besok pagi dan sesak ini akan hilang jika aku bisa lelap tidur. Keduanya terus mendesakku. Tergambar kecemasan di wajah mereka. Aku menyerah. Aku menyetujui anjuran mereka.

Di luar hujan turun deras. Bapak memanggil taksi. Sebelum berangkat aku shalat Isya. Aku tak ingin, jika ini penghujung hidupku, aku meninggal dalam keadaan belum shalat. Aku pasrah saja menjalani shalat Isya, sebelumnya Maghrib, Ashar, dan Zuhur, dengan sengal napas di dada.

Taksi berjalan menembus derai hujan di pinggir Banjir Kanal Timur yang entah kapan selesai. Aku minta sopir mengecilkan pendingin ruangan (AC). Sesak masih mencekik dadaku. Ibu duduk di sampingku. Bapak duduk di samping sopir.

Sekitar pukul 20.00 aku masuk UGD. Menyeret tubuh menuju seorang dokter berkerudung biru langit dan bermasker hijau yang duduk di kursi, memegang pena mencoret-coret kertas putih. Barangkali ia sedang membuat sejumlah analisis pasien UGD. “Sesak napas, Dok. Asma.” Aku langsung membuka percakapan. Ia menyuruhku mencari ranjang tidur yang kosong.   

Di ranjang itu aku membaringkan diri, masih menahan sesak napas yang tak kunjung membaik. Ibu memijiti kakiku. Kuminta pula ia memijiti kepalaku. Bapak berdiri menyender dinding agar terlihat dokter.

Beberapa lama kemudian dokter perempuan itu datang, memeriksa sebentar, membuat analisis. “Pengasapan ya,” ujarnya. Menyusul perawat lelaki berseragam merah jambu memeriksa tekanan darahku. Ia menaikkan posisi berbaringku hingga hampir duduk. Dilanjutkan seorang perawat perempuan membawa  alat pengasap: sebuah kotak putih dengan selang yang ditancapkan ke sebuah masker dan masker itu menutupi mulut dan hidungku.

Suara alat pengasap memukul-mukul gendang telingaku. Tak terlalu gaduh. Uap keluar dari dalam masker, merembes ke luar, ditingkahi letupan-letupan kecil air yang menciprati mulut dan hidungku. Tak bisa kuhindari, cipratan air meresap ke dalam mulutku. Asin rasanya.

Aku merasa, sedikit demi sedikit, bisa bernapas lega. Aku tak perlu lagi bersusah payah bernapas. Otakku yang berseliweran pikiran tak jelas menjadi tenang. Tangan kiriku yang tadi terkulai di pinggir ranjang jatuh ke paha. Aku mengantuk. Rupanya alat pengasap ini mengandung obat. Dan ibu, dari suara yang terdengar menyelinap ke telingaku, mengatakan itu. 

Aku menggunakan momen itu untuk mengistirahatkan diri. Sudah kepayahan aku bernapas. Kubuka mata, kulihat ibu berdiri di sampingku, memijiti kakiku. Bapak berdiri menyender dinding. Ia mondar-mandir mengurus pendaftaran dan pengambilan obat ke apotek.

Melihat mereka, aku jadi ingat saat bertempur mati-matian melawan Demam Berdarah sekitar dua tahun lalu. Sebelum dirujuk ke RS Budhi Asih di bawah guyuran deras hujan, aku terkulai lemah di UGD RS Duren Sawit dengan tusukan infus yang menyakitkan. Bapak yang kuanggap tak biasa mengurus administrasi hilir-mudik mengikuti instruksi dokter jaga; melakukan pendaftaran, periksa hasil darah di laboratorium, mencari taksi. Sementara Ibu dan adik semata wayangku berkejaran dengan waktu di tengah perjalanan kereta Bojonegoro-Jakarta.

Ya Allah, melihat mereka kembali menjagaku dalam sakit, hatiku trenyuh. Di usia sedewasa ini, mereka masih menjagaku. Aku seharusnya sudah bisa mandiri, membahagiakan mereka dengan memberikan cucu-cucu lucu. Bahkan hingga kini pun aku belum meminang seorang perempuan sebagai menantu mereka.

Dadaku terasa enak untuk bernapas. Ya, bisa dibilang aku sudah sembuh. Tapi tubuhku masih lemas. Suaraku pun belum normal. Masih di bawah hujan, taksi biru membawa aku, Ibu, dan Bapak pulang ke rumah.

Ibu menyiapkan kasur di ruang tengah, di depan televisi. Di tempat itulah aku biasa tidur sebab kamarku kadang pengap. Ia memberiku obat dan menyuapi sirup. Aku seperti anak kecil lagi. Adikku sudah tidur di kamarnya. Sendiri. Suaminya barangkali sedang bekerja dapat shift malam.

Setelah Ibu dan Bapak masuk kamar untuk istirahat, aku membuka kotak pesan layanan singkat (SMS) telepon selulerku. Sebuah pesan yang datang pukul 21:09:09 mengatakan pengirimnya sedang membutuhkan obat antibiotik amfotericin. Sudah tiga hari ia mencari obat itu di berbagai apotek tapi tidak ketemu. Ya, dialah temanku yang bayinya lahir prematur. Saat dia mengirim SMS, saya terbaring di UGD, tak jauh dari posisinya mengirim SMS. Aku tak sempat mengirim kabar padanya.

Dia memintaku mencari informasi ihwal antibiotik amfotericin lewat internet. Kukatakan padanya aku baru tiba dari UGD dan tidak bisa membantunya malam itu juga. Lantas aku teringat pada temanku yang bekerja sebagai asisten apoteker di sebuah apotek di kawasan Pondok Kelapa. Kutelepon ponselnya, tak diangkat. Kukirimi SMS, beberapa saat kemudian ia menjawab obat yang berisi amfotericin B bernama Fungizone dan Talsutin. Di apoteknya tak tersedia obat itu. Sebab selama ini tak ada dokter yang membuat resep seperti itu di apoteknya. Ia memberi tahu lebih lanjut soal bentuk pengemasan obat dan saran agar mencari di sebuah apotek di bilangan Rawamangun.

Aku berpikir, kukira malam itu aku adalah orang paling menderita. Ternyata ada yang lebih menderita lagi: seorang ibu di sebuah rumah sakit pada larut malam memikirkan obat bagi bayinya yang telah lama menghuni inkubator selama kurang lebih dua bulan. Aku berdoa agar bayinya segera sehat dan ia tabah menjalani cobaan ini.   



PADA Kamis pagi 7 Januari 2010 aku masih merasa sehat-sehat saja. Aku datang ke Balai Warga RW 01, tempat PAUD Nusa Indah menggelar kelas belajar. Aku membantu Bu Sri Suwarsini membimbing siswa-siswi kelas A menulis angka. Membantu beberapa siswi berhitung, dan mati-matian mengajari dua siswi usia 3-4 tahun bagaimana menulis angka 1 dan 2.

Aku tak habis pikir kenapa mereka tak bisa menuliskan angka itu, padahal tinggal mencontek saja di papan tulis dan angka yang kubuatkan di buku mereka. Tapi aku tak boleh putus asa. Aku tak boleh egois. Barangkali dulu, seumur mereka, aku juga tak bisa melakukannya. 

Seorang siswi yang kuajari berkali-kali memegang kerudung putih yang membelit lehernya. “Gerah,” katanya. Lalu aku mengizinkannya untuk mencopotnya. Belum selesai di situ, konsentrasi belajarnya luruh. Sebab teman-temannya yang duduk di depan, belakang, dan sampingnya berujar, “Pak Guru, ajarin saya dong! Saya nggak bisa nih!”

Siswi berambut tipis panjang itu, Anggun namanya, memang pelit bersuara. Kalaupun bersuara kecil sekali. Dua kali saat aku mengajarinya menulis angka 1, lendir putih kehijauan berleleran dari hidungnya. Ia cepat-cepat mengusapnya dengan punggung tangannya.  
   
Sebelum kelas bubar, aku membariskan siswa-siswi kelas B yang masuk siang. Bu Sri sibuk menyiapkan siswa-siswi kelas A untuk pulang; membereskan alat belajar, membagikan buku Pekerjaan Rumah, dan berdoa. Setelah kelas B masuk dan Bu Sri kembali mengajar, aku kembali pulang. Sebab aku harus segera pergi ke kantor. Sudah siang.

Di rumah, masih dengan pakaian batik biru yang basah peluh, aku menyiapkan jaket oranye dan tas merah. Tiba-tiba aku bersin berkali-kali. Flu. Aku memaksakan diri pergi kendati bersin menerjang berulang kali. Sengaja aku memaksakan diri lantaran sebelum-sebelumnya sudah terjadi demikian kali dan flu hilang di jalan setelah tubuh ini terpanggang mentari.

Ternyata dugaanku salah. Di kantorku yang dingin, flu-ku menjadi-jadi. Segelas teh manis panas tak sanggup meredakannya. Kutarik penutup kepala yang menyatu dengan jaket hingga kepalaku penuh tertutup. Atasanku yang masuk ruangan bertanya, “Sedang sakit, Bil?” “Iya,” jawabku. Beberapa teman menyayangkan dalam keadaan flu aku tetap datang ke kantor. Mereka menyarankanku pulang.

Aku baru pulang sore. Ingin mampir dulu ke tukang fotokopi yang berderet di sepanjang jalan dekat STM Pembangunan, Rawamangun, Jakarta Timur. Aku ingin menjilid softcover buku yang baru kurampungkan: Pelangi di Ujung Gerimis, Secercah Kisah di PAUD Nusa Indah.

Buku ini merupakan kumpulan tulisanku sejak kali pertama mengajar di PAUD Nusa Indah. Berisi sejarah dan kondisi pembelajaran di PAUD Nusa Indah serta metodeku dalam mengajar Bahasa Inggris. Sengaja untuk cetakan pertama ini aku memperbanyaknya hanya empat eksemplar; satu untuk diriku sendiri, satu untuk PAUD Nusa Indah, satu untuk RW, dan satu lagi, belakangan baru Sabtu aku meniatkannya, akan kuberikan kepada seorang yang istimewa.

Jalanan ibukota sangat macet. Aku menyempatkan diri shalat Maghrib di dekat pom bensin Jalan Pramuka. Peluh dan dingin menyatu dalam pakaianku. Baru setelah Isya aku tiba di tempat fotokopi.

Besoknya, Jumat, kondisi tubuhku makin turun. Flu tak lagi main-main mencekikku. Aku tak pergi ke kantor. Di rumah saja berbaring dan keluar hanya untuk shalat Jumat. Obat pereda flu yang kubeli kemarin di kantin kantor tak banyak pengaruh.

Sehari kemudian aku batuk keras di kamar mandi. Membuat dadaku sesak. Napasku terengah-engah. Kumakan obat warung yang biasanya manjur melepaskanku dari cengkeraman sesak napas. Tak berpengaruh, kumakan obat itu lagi setelah makan siang. Sesak napasku makin menjadi-jadi. Akhirnya kusadari, penderitaan itu sedang dimulai.



Duren Sawit, Ahad, 10 Januari 2010. 07.14 WIB

 

1 komentar:

Rumput Ilalang mengatakan...

Ibu,... tiada kata yang yang lebih indah dari sebutan itu..