Total Tayangan Halaman

Selasa, 10 Mei 2011

Sekolah Rakyat

Selasa, 5 Februari 2008. Ini hari kedua aku mengajar di Pendidikan Anak Usia Dini RW 01. Melelahkan sekaligus menyenangkan. Saat aku duduk di kursi bagian belakang, seorang ibu dengan enteng berkata, “Tuh ada Pak Guru, nanti kita nyanyi are you sleeping.” Aku dan beberapa ibu lain yang mendengarnya tertawa kecil. Rupanya ibu itu hafal dengan lagu yang kuajarkan seminggu lalu pada anak-anak—juga ibu-ibu yang turut mendengarnya.

Saat itu pelajaran merangkai garis menjadi huruf dan mewarnai. Gurunya Bu Ani. Sejumlah ibu-ibu duduk di samping anak-anaknya, telaten mengajarkan dan memotivasi anaknya agar mengerjakan tugas yang diberikan Bu Ani. Aku memerhatikan bagaimana mereka memperlakukan anaknya. Ada yang sabar dan tidak sabar. Yang sabar, bila anaknya tidak mau menulis, ia memimbing tangan anaknya untuk menulis. Yang tidak sabar, dengan wajah cemberut, menggertak atau mencubit anaknya. Melihat itu aku tersenyum saja.

Sekitar pukul 10.00 aku mulai mengajar. Tanpa diberi aba-aba, ibu-ibu menyingkirkan meja belajar anaknya dan anak-anak duduk berkumpul di depan. Ya, itulah kondisi yang kuinginkan sebagaimana Selasa lalu. Seorang anak, aku lupa namanya, melafalkan lagu are you sleeping. Wah ternyata ada yang hafal, batinku.

Aku mengucap salam dan sebagian anak membalasnya. Hari ini aku mengajarkan kata ‘mother’, ‘father’, dan angka. Kuucapkan kata ‘mother’ lalu meminta anak-anak mengulangnya. Kuterangkan siapa sosok ibu pada mereka; yang mengandung dalam rahimnya selama sembilan bulan, kesakitan, dan capek. Terakhir kuajak mereka untuk menghormati ibu karena pengorbanan besar mereka telah melahirkan anak.

Aku ingin mereka mengungkapkan perasaan sayang pada ibu mereka, maka kuajarkan anak-anak kalimat, “I love you, mom—saya sayang kamu, ibu.” Untuk ibu-ibu kuberitahu, “I love you, my son—saya sayang kamu, anakku,” Kalau untuk suami, ucapkan, “I love you, my husband—saya cinta kamu, suamiku.” Ibu-ibu tertawa sambil mengeja. Ba Ani yang duduk di sampingku menyahut, “Iya, nanti suaminya langsung ngasih duit.” Ibu-ibu kembali tertawa.

Lalu aku mengajari menyebut angka dalam bahasa Inggris. Kugunakan jari untuk memperagakannya. Sebagian anak sampai teriak-teriak demi didengar bahwa dia bisa menyebutkan angka. Dan hari ini memang, sepertinya, anak-anak senang teriak-teriak. Baru angka 1 sampai 5 aku mengajari mereka.

Sepanjang proses belajar, seperti biasa, sebagian anak-anak asyik dengan dirinya sendiri. Makanya aku selalu berusaha mencuri perhatian mereka. Ada pula yang senangnya teriak di depan—dekat aku duduk dan berdiri. Dua anak, di depan, tanpa malu, sepanjang belajar, makan permen dan makanan berserbuk—entah apa namanya. Sengaja aku mendiamkan mereka hingga serbuk makanan itu jatuh dan mengotori celanaku. Hm, barulah aku meminta gadis cilik itu membuang makanan berserbuk itu yang sepertinya sudah habis—karena isinya tumpah.

Sekitar pukul 10.45 kusudahi pelajaran. Anak-anak seperti tidak konsentrasi lagi belajar. Aku sampai dibantu Bu Ani untuk membuat mereka diam dan memerhatikan. Yah, maklum, aku belum berpengalaman mengajar anak-anak usia 3-5 tahun. 

Usai belajar anak-anak pulang bersama ibunya. Aku ikut kumpul dengan ibu-ibu di dalam Pos RW. Ibu-ibu membahas tentang cicilan seragam dan persiapan kunjungan wisata ke Kebun Binatang Ragunan pada Sabtu 9 Februari mendatang. Seragam PAUD dijual Rp 40 ribu satu stel, bisa dicicil. Kunjungan ke Ragunan, tiap ibu ditarik iuran Rp 30 ribu untuk biaya sewa bus dan tiket masuk. Sewa dua bus Rp 1 juta dengan kapasitas tiap bus 25 orang.

Memang semuanya serba terbatas. Ibu-ibu PKK ini menggarap PAUD secara suka rela. Kebanyakan kerja sosial. Tak ada iuran PAUD bagi peserta. Donatur sangat terbatas—yang jelas rutin menyumbang hanya satu orang donatur. Uang Rp 30 ribu dikali jumlah peserta sekitar 40 orang adalah Rp 1,2 juta. Bila dikurang dengan bea sewa bus tinggal Rp 200 ribu. Uang ini untuk bea masuk Ragunan. Kalau sisa uang kurang, “Kita ambil saja dari uang kas,” ujar Bu Bejo. Aku belum tahu asal uang kas ini.   

Melihat kondisi ini, Bu Arfani berkata, “Inilah Sekolah Rakyat.” Semua serba terbatas, terutama dana. Dalam hati aku terharu melihat ibu-ibu itu yang begitu setia melayani warga. Merekalah aktivis PKK dan Posyandu yang selalu sabar ‘melayani’ warga yang secara akademis kebanyakan kurang berpendidikan.

Semoga semua berjalan baik. Bagaimanapun pendidikan sangat penting bagi semua warga, terutama bagi mereka yang miskin dan tidak bisa mengakses pendidikan lantaran tak punya uang. Pendidikan bagi anak usia dini sangat penting. Mereka hadir dalam keluarga dan lingkungan yang bisa jadi tidak mengerti bagaimana mendidik anak. Anak-anak yang memiliki bakat kecerdasan dikhawatirkan tidak berkembang lantaran memiliki orangtua yang tidak mengerti cara mendidik serta lingkungan (pergaulan, lingkungan masyarakat, televisi, dll) yang rusak. Tak perlu perlu lagi kita memikirkan pemerintah cq Departemen Pendidikan Nasional yang gagap menyalurkan dana gara-gara ‘kebanjiran’ duit dari alokasi 20 persen anggaran pendidikan.

Duren Sawit, 5 Februari 2008


      

Tidak ada komentar: