Sekitar 15 anak yang kuajar tadi siang. Itu pun tak lama, sekitar 30 menit. Seperti biasa, sebelum aku melangkah ke depan, anak-anak dan orangtuanya menyingkirkan meja belajar kecil. Anak-anak duduk berkumpul di depanku.
“Selamat siang adik-adik!” sapaku pada mereka.
“Selamat siang, Bu!” jawab seorang anak lelaki dengan suara keras. Aku dan sebagian ibu-ibu yang duduk mengumpul di sisi kiri tertawa.
“Hei, kakak emang ibu-ibu?” tanyaku padanya dengan canda. Ia tertawa. Aku mengulang lagi ucapan selamat siang dan mereka menjawab dengan riang. “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh!” lanjutku, kali ini dengan salam ala Islam. Mereka menjawab salamku.
Lalu kutanya mereka tentang hewan-hewan yang mereka lihat di Ragunan. Keroyokan mereka menjawab, namun sebagian besar menjawab monyet. Satu per satu mereka menyebut nama binatang.
“Siapa di sana yang melihat jerapah?” tanyaku lagi.
“Saya...!” seru anak-anak sambil mengacungkan jari.
“Memang jerapah seperti apa?”
“Lehernya panjang!” Beberapa anak menjawab tepat.
“Kaki jerapah ada berapa?”
Sejenak mereka diam. Lalu seorang anak di depan, yang menyebut aku ‘Ibu’, menjawab, “Dua!”
Aku dan ibu-ibu tertawa.
“Masak kaki jerapah dua?” ucapku, bertanya lagi. “Ayo siapa yang tahu jerapah punya berapa kaki?”
“Tiga!” kata anak yang memanggil aku ‘ibu’ dan pertama penyebut kaki jerapah ‘dua’.
“Empat!”
“Lima!”
Tertawaku makin lebar. Kubentang kertas karton bergambar binatang di whiteboard dan menempelnya dengan selotip. “Nah, ini binatang-binatang yang adik-adik lihat di Ragunan. Ini jerapah.” Aku menunjuk gambar jerapah. “Coba lihat kakinya ada berapa?”
“Empat!” Barulah mereka menjawab dengan pasti dan benar. Aku tidak tahu ketika mereka melihat jerapah di Ragunan, kaki jerapah tertutup kandang atau bagaimana sehingga mereka luput menghitung jumlah kakinya.
Kemudian aku menunjuk beberapa binatang dan mengonfirmasi ke mereka apakah mereka melihatnya. Aku sembari mengajarkan mereka mengucapkannya dalam bahasa Inggris.
Waktunya bernyanyi. Kami bernyanyi bersama. Hampir semua anak hafal lagunya. Aku meminta satu anak memimpin bernyanyi di depan. Irfan angkat tangan dan aku menariknya ke depan.
“Are you sleeping/Are you sleeping/Brother John/Brother John!”
Ekky, yang duduk di depan, menambahkan, “When the bells are ringing/When the bells are ringing/Ding dong ding/Ding dong ding.”
Ternyata Ekky sudah menghafalnya lebih dulu. Barangkali sudah diajari orang tuanya.
Usai bernyanyi aku mengajarkan tentang anatomi; kepala, tangan, kaki, dan rambut. Dalam bahasa Inggris. Ya, ini sangat sederhana dan begitu menarik bagi anak-anak. Sesuatu yang dekat dan mereka miliki.
SUNGGUH, saat mengajar, aku sangat menikmatinya. Di hadapanku anak-anak berusia 3-5 tahun dan aku berusaha ‘menjadi’ mereka; riang, lincah, tiada beban. Dalam tiap kesempatan aku menyapa mereka satu per satu dan memandangnya lama untuk menunjukkan kedekatan dan perhatian lebih. Yang kurasa hanya kesenangan dan keasyikan. Hal yang tak pernah kudapat dalam interaksi dengan orang-orang dewasa dan orangtua.
Aku seperti bisa memasuki dunia mereka. Tiap memandang mereka, dan mereka memandang aku, seperti ada ruang keakraban yang tercipta dan membuat aku dan mereka ingin berinteraksi. Kami jadi cepat akrab dan bisa main bersama. Alhamdulillah.
Aku pun tidak tahu kenapa itu terjadi. Ketika aku melihat wajah mereka dengan segala ekspresi lucu, aku seperti melihat dunia penuh makna; polos, lugu, mengandung misteri, mengundang ketertarikan hati. Aku juga tidak tahu kenapa mereka cepat akrab denganku. Kupikir itu terjadi lantaran wajahku tak terlihat menyeramkan sehingga mereka tidak khawatir diterkam atau digigit olehku.
Saatnya menutup pelajaran. Murid-murid kuminta berdiri. Aku berdiri dan melompat-lompat kecil. Mereka ikut berdiri dan melompat-lompat kecil. Sebagian anak sengaja jatuh dan mendorong anak lain sehingga beberapa anak jatuh. Hah, itu sudah biasa. “Sebelum kita pulang, kita nyanyi lagi ya!” Aku menoleh ke Ekky. “Ekky, ayo pimpin bernyanyi!”
Ekky maju dan memimpin bernyanyi. Aku dan anak-anak bernyanyi “Are you sleeping...”
Hampir pukul 11 aku minta Bu Ani ke depan untuk memimpin ‘ritual’ pulang—aku belum hafal ‘ritualnya’. Ritualnya sangat sederhana: menyanyi dan berdoa. Bu Ani, bersama anak-anak, menyanyikan beberapa lagu yang tak kutahu judulnya, baca surat al-Ashr, doa untuk orangtua, dan doa ‘sapu jagat’. Aku ikut bernyanyi bersama mereka.
Bu Ani kali ini bikin aturan. Ia membolehkan anak pulang bagi yang menjawab tepat pertanyaannya. Ia menunjuk huruf-huruf Arab alif-ba-ta-tsa.
Anak yang terakhir pulang bernama Wulan. Saat mengenakan sepatu ia menangis. Aku mendekatinya dan bertanya kenapa dia menangis. Devi, temannya, memberitahu bahwa Wulan menangis karena ditinggal ibunya. Wulan sendiri menangis sambil berusaha memakai sepatu yang sulit masuk ke telapak kakinya. Aku membantunya mengenakan sepatu. Wulan pergi meninggalkan Pos RW, sekolahnya, sambil menangis.
Usai pelajaran kami (ibu-ibu kader, seorang relawan, dan aku) melipat tikar dan karpet tempat belajar. Kemudian kami kumpul di dalam pos. Tepatnya aku dan empat ibu-ibu. Bu Ani membawa anaknya Noval. Diskusi membahas pendanaan tur ke Ragunan dan permasalahan siswa. Bu Suhono, seorang kader PKK penyelenggara PAUD, menyampaikan masukan seorang ibu mengenai ia dan anaknya yang non-muslim. Bu Suhono diminta agar di awal dan akhir pelajaran anak-anak tidak membaca doa (dalam bahasa Arab alias Islam).
Bu Ani menimpalinya. Dia bercerita tentang pengalamannya magang mengajar di TK Sawitri, sebuah Taman Kanak-Kanak di pinggir Jalan Pendidikan Raya yang di kelola Dharma Wanita Universitas Negeri Jakarta. Di sana murid-muridnya diajarkan berdoa. Anak-anak non-muslim, saat berdoa, diperbolehkan main di luar dan masuk kelas bila doa selesai dipanjatkan.
Jadi sebenarnya tidak masalah bila hal tersebut diterapkan di PAUD RW 01. Lagi pula mayoritas anak-anak beragam Islam. “Bukankah sebaiknya anak-anak sejak kecil diajarkan untuk selalu berdoa?” ucap Bu suhono. “Tidak semestinya hanya karena satu orang mengorbankan banyak orang.” Maksudnya keberadaan satu peserta non-muslim selayaknya tidak membuat kegiatan positif semacam berdoa bagi muslim dihilangkan. Toh anak tersebut nanti bisa saja diperbolehkan bermain di luar saat doa dipanjatkan. Bagaimanapun ini dinamika yang harus dihadapi dengan bijaksana.
Aku pulang dengan perasaan gembira. Di perjalanan aku mengenang perbincanganku dengan Silvie, warga RT 009, sebelum mengajar. Salah satu murid PAUD merupakan anak Silvie. Silvie sekitar 10 tahun lalu murid pengajianku. Jadilah dia dan anaknya muridku.
“Jadi kapan kak nikahnya? Sudah punya calon?” tanyanya sambil menggendong anak keduanya yang masih bayi.
Aku menjawab pelan, “Belum punya.”
“Hah, belum punya? Masak belum punya?” kejarnya.
“Ehm, calon sih ada,” jawabku buru-buru.
Yah, sebelum berkeluarga dan punya anak, ada baiknya belajar tentang dunia anak. Jadi guru mereka salah satu caranya. Betul?
Duren Sawit, Selasa, 12 Februari 2008. 12.39 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar