Mereka bersarung. Mereka berpeci. Mereka bocah-bocah di dalam masjid. Masjid Jami Nurul Yaqin di Kampung Cilungup I Duren Sawit Jakarta Timur. Saat kali pertama shalat tarawih, jumlah mereka hampir menyamai jamaah orang dewasa. Dua-tiga hari dan seterusnya menyusut menyamai jumlah orang dewasa hingga setengahnya.
Kadang di antara wajah-wajah lugu itu saya menemukan murid saya. Dan tadi seorang murid yang wajahnya saya lupa karena sudah lama tak bersua bertanya dengan ragu, “Bapak guru PAUD ya?” Bocah itu saya dekati lantaran kakak perempuannya akan menyuapinya sebuah jajanan. Ia menolak disuapi demi menanyakan hal itu. “Iya. Kamu....” Saya berusaha mengingat-ingat bocah berpeci dan bersarung tak sempurna itu. Sambil membelai kepalanya dan mengulas senyum.
Saya selalu ingat perkataan imam masjid setahun lalu tentang bocah-bocah. “Biar saja mereka datang. Tidak apa berisik. Dan jangan diusir!” Ia berkata seakan membela mereka dari perilaku beberapa jamaah yang tak segan-segan mengusir mereka lantaran berisik.
Saya yakin bocah-bocah datang atas inisiatif sendiri. Tanpa paksaan orangtua. Sebab, bisa jadi, ketika mereka di masjid, orangtua mereka sedang asyik-masyuk menonton televisi di rumah. Atau nongkrong di jalan. Kendati motivasinya tidak untuk shalat, melainkan bermain saja. Atau sekadar berkumpul dengan teman. Ya, mereka menjadikan masjid sebagai tempat berkumpul dan bercanda.
Biar begitu mereka tak berhak diusir. Sebab, keberadaan mereka lebih baik di masjid ketimbang di depan televisi: menonton sinetron atau melihat orang dewasa bernyanyi. Lebih baik di masjid ketimbang ikut nongkrong di jalan bersama sejumlah remaja. Lebih baik di masjid daripada main petasan. Lebih baik di masjid daripada di rental playstation.
Di masjid awalnya mereka melakukan gerakan-gerakan shalat. Takbir. I’tidal. Sujud. Teriak ‘Amin’. Mereka belajar bagaimana shalat. Melihat orang khusyuk. Memerhatikan makmum mengikuti gerakan imam. Melihat jamaah diam mendengar imam membaca surat. Mereka, secara otodidak, belajar gerakan-gerakan shalat. Sebab mungkin orangtua mereka lupa mengajarkan bagaimana gerakan shalat. Mereka datang untuk belajar. Sambil bermain. Itu yang sebenarnya.
Keberadaan bocah-bocah mengungkit kesadaran: perhatikan kami, anak-anakmu, bagaimana bersikap baik kepada Tuhan. Sebab mereka telah banyak belajar bagaimana mendustai orangtua dan melukai teman lewat televisi. Belajar bagaimana bersikap munafik dan jahat dari orang-orang dewasa di sekelilingnya. Belajar menafikan keberadaan Tuhan lewat perilaku buruk orang-orang tua.
Biarkan mereka bercanda. Gaduh. Lalu perlahan ajak mereka bicara: di sini rumah Allah, bersikap baiklah kepada-Nya.
Kasihan anak-anak Kampung Cilungup. Tak lagi punya lahan bermain. Tanah-tanah lapang telah disulap jadi rumah megah. Dan kontrakan-kontrakan. Juga kebun-kebun tak lagi ada. Beda ketika saya kecil. Tanah lapang, sawah, rawa, dan kebun masih banyak. Main apapun bisa: layang-layang, anggar, gambaran, kuda gedubrak, kelereng, bengkat, gentrong, galasin, senjata rahasia ninja, petak umpat, benteng, cari jejak, petasan. Pagi, siang, malam, bebas main. Tidak ada yang memarahi. Warganya baik-baik.
Banyak pohon yang bisa dipanjat di kebun: rambutan, juwet, buni, rukem, nangka, ceremai, kecapi, mangga, pepaya, petai, jengkol, kelapa. Kober (pekuburan umum) pun menyediakan pohon jambu mente untuk dipanjat. Juga banyak tempat mencari ikan: empang, rawa, sawah, selokan Kompleks IKIP, dan got Kompleks Kimia Farma.
Soal perpetasanan ada kemajuan. Tahun lalu dan sebelumnya, jamaah harus ekstra sabar. Udara pengap dan gerakan shalat supercepat bisa ditoleransi. Tapi suara petasan di samping dan depan masjid cukuplah mengganggu. Jantung tak nyaman berdetak. Belum lagi aroma petasan yang terbawa angin ke dalam masjid. Tapi beberapa hari ini, tak ada suara petasan menyusup ke telinga jamaah. Ini sebuah kemajuan.
Tapi bocah-bocah tetap bermain. Di dalam masjid. Juga di luar masjid; berlarian, beli jajanan. Mereka belajar memperlakukan masjid.
Billy Antoro
Cilungup, Duren Sawit, 31 Agustus 2009. 10.30 WIB.
Cilungup, Duren Sawit, 31 Agustus 2009. 10.30 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar