Saat melintas di depan SMA 54, aku terkejut. Bangunan sekolah itu tinggal puing. Sebuah eskavator, dengan tangan robotnya, sedang mencabik-cabik puing dan meratakannya hingga mencium tanah. Seketika terlintas bayangan di kepalaku mengenai kunjunganku ke sekolah itu beberapa bulan lalu untuk sebuah keperluan. Dan kini gedung sekolah itu tak berbentuk lagi.
Setiba di depan gedung perpustakaan, aku menambat motor di parkiran—tepatnya jalanan beraspal yang sudah rusak di depan gedung. Di pelataran perpustakaan, sejumlah pelajar berseragam putih-abu-abu berkumpul, berdiskusi. Aku membuka pintu dan meninggalkan senyum kecil pada mereka; terus terang aku sangat senang melihat sekumpulan pelajar berkumpul untuk berdiskusi.
Di dalam aku menitipkan tas dan jaket. Loker sudah penuh. Terpaksa aku menitipkannya di meja resepsionis dan mengambil kartu penitipan. Sebelum beranjak ke lantai 2, aku melihat di ruang dekat resepsionis sedang digelar perlombaan cerdas cermat antar-SMA. Tidak boleh masuk, kata seorang ibu penjaga perpustakaan setelah kutanya. Ya sudah, aku pun tak bermaksud menyimaknya. Aku sedang terburu-buru.
Aku menyempatkan diri bertanya pada itu ibu tentang SMA 54 yang dibongkar. Katanya, sekolah itu sengaja dirubuhkan karena bangunannya rawan ambruk. Kegiatan belajar-mengajar di pindah ke SD di sebelahnya.
Soal modus perpindahan ini sepertinya sama dengan modus perpindahan SMA 71. Waktu SMA 71 direhabilitasi, aktivitas persekolahan dipindah ke SD 016/017. Aku berpikir, bagaimana dengan kegiatan belajar siswa SD? Pasti terganggu. Dan sebenarnya membuat tidak nyaman para penghuni dua sekolah itu.
Di lantai 2, kelihatan sejumlah pelajar SMA mondar-mandir di antara rak-rak buku. Sayang, sistem katalogisasi perpustakaan ini belum berjalan, baik komputer maupun kartu. Jadi sulit bagi pengunjung untuk melacak dengan cepat buku yang dicari. Pengunjung hanya mengandalkan kategorisasi buku per bidang ilmu per rak dan kecepatan mata memindai.
Koleksi buku perpustakaan ini juga tidak update. Kebanyakan buku lama, baik buku pelajaran maupun buku umum. Hanya koran dan majalah yang selalu update.
Ruang baca koran berada di depan meja petugas pelayanan peminjaman/pengembalian buku. Tiap aku datang selalu saja ruangan itu ramai dengan televisi selalu menyala. Sementara ruang baca majalah/tabloid berada di tempat terpisah—masih di lantai 2. Bila ruang baca koran dipenuhi pemuda dan orang tua, runag baca majalah/tabloid dipenuhi pelajar. Ruangan ini cukup nyaman untuk digelar diskusi. Namun saat itu ruangan baca majalah/tabloid terkunci.
Setelah meminjam dua buku, aku keluar. Di luar anak-anak SD kelihatan berlari-larian. Sudah jam pulang sekolah rupanya. Perlahan motorku menerobos kerumunan mereka. Tapi....
Tiba-tiba beberapa di antara mereka mengejar motorku. Aku tak bermaksud melarikan diri. Mereka menangkapku. Mereka minta diboncengi. Tanpa menunggu persetujuanku, dua pelajar menaiki jok belakang dan seorang lagi melesak di depanku. Ya sudah, aku pun tak merasa keberatan.
Malah aku berusaha menikmatinya. Kapan lagi bisa bersenang-senang dengan anak SD? Ini kesempatan baik untuk bersenang-senang, batinku. Lalu perlahan kususuri gang berliku. Mendengarkan mereka berceloteh. Aku menikmatinya.
Di jalan, beberapa orang melihat kami berkendara. Bagaimana tidak? Kami berempat menyusuri jalanan berliku dengan posisi tidak nyaman. Jalanan menuju jalan raya sangat buruk; berbatu dan sepertinya sudah lama tidak diperbaiki. Bagaimana masyarakat tertarik berkunjung kalau letak perpustakaannya terpencil dan jalan untuk menjangkaunya rusak, keluh batinku. Aku sendiri mengkhawatirkan seorang yang duduk paling belakang jatuh.
Aku menyempatkan diri berbincang dengan mereka sementara mulutku tertutup masker dan helm menempel di kepala. “Kalian kelas berapa?”
“Kelas dua.”
“Tadi di sekolah belajar apa?”
“Matematika. Uh, susah banget.”
“Ini yang di depan namanya siapa?”
“Kemal.”
“Yang di belakang?”
“Saya Supri. Kalau yang di tengah Hendra.”
Lalu aku mulai berkata layaknya seorang kakak, beri nasihat agar mereka rajin belajar. Saat memasuki jalan raya, aku berharap tidak ada polisi iseng ‘nongkrong’ di dekat situ. Syukurlah, mereka tidak ada sampai aku menurunkan ketiga pelajar itu.
Mereka bertiga turun. Barulah aku bisa memerhatikan satu per satu wajah mereka. Masing-masing mengucap terima kasih dengan sebutan ‘Pak’, ‘Bang’, dan ‘Om’ padaku. Supri, yang duduk paling belakang, ternyata nyeker alias tidak pakai sepatu. Entah sepatunya ia taruh mana.
Di perjalanan aku mengucap syukur pada Tuhan. Di sela kesibukanku—setiba di rumah aku langsung pergi ke tempat kerja—aku masih diberi-Nya kesempatan bersenang-senang. Dalam pergaulan, aku lebih senang bermain dan berbincang dengan anak kecil dan pelajar. Aku bisa banyak belajar dari mereka, bercanda, dan memberi nasihat yang barangkali tidak pernah mereka dengar di rumah dan sekolah. Satu lagi, ternyata aku cepat akrab dengan balita dan pelajar SD. Kata seorang teman, mereka bisa cepat akrab denganku karena wajahku kebapakan. Ah, semoga itu hanya guyon. Aku belum menikah dan punya anak, jadi wajahku masih wajah bujangan.
Perpustakaan, bagiku, sangat penting. Ia bisa menjadi gudang ilmu bagi masyarakat yang membutuhkan. Kulihat perpustakaan kotamadya Jakarta Timur bisa lebih memainkan perannya. Anak-anak dan penduduk sekitar perpustakaan, juga para pelajar, sepanjang penglihatanku, tampak akrab dengan tempat itu. Lantai 1 diperuntukkan bagi perpustakaan khusus siswa SD. Kalau sore, lapangan di depan gedung itu dipakai bermain anak-anak. Mobil perpustakaan keliling terparkir di pinggir lapangan meski tidak dibuka. Semoga, ke depan, perpustakaan menjadi tempat nongkrong yang asyik bagi pelajar dan orang kantoran, bocah hingga orang tua, ibu-ibu dan bapak-bapak. Nggak gaul kalau nggak jadi anggota perpustakaan. Utopiskah?
Duren Sawit, 10 September 2007. 07.45 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar