Total Tayangan Halaman

Minggu, 08 Mei 2011

Aku dan Gerimis

Jumat sore, 16 Maret 2007. Aku memacu motorku membelah jalan berliku di bawah langit Kemayoran yang menghitam. Hujan baru saja reda, namun masih menyisakan rintik di sana-sini. Aku tak peduli, biarlah hujan mendera asal aku bisa sampai ke Taman Ismail Marzuki. Cempaka Putih, kata seorang teman dari ujung pesawat telepon beberapa menit sebelumnya, hujan deras. Bagaimana dengan Cikini yang masih wilayah Jakarta Pusat? Aku tak peduli. Kutarik pedal gas dalam-dalam dan sesekali berakrobat di tengah kepadatan kendaraan. Aku tidak boleh terlambat!

Taman Ismail Marzuki tersekap gelap kala motor kuparkir di tengah kompleks pusat budaya itu. Rintik masih turun. Udara sedikit dingin. Deviyana, yang sejak awal duduk tenang di belakang punggungku, melangkah bersamaku menuju lokasi acara. Sebagai teman bicara kadang ia asyik, namun terkadang pula aku sulit mencerna kata-katanya—bicaranya cepat.

Graha Bakti Budaya dan Galeri Cipta 3 terlihat ramai. Poster dan spanduk besar berisi kabar pentas drama bertajuk ‘Mahkamah’ oleh Teater Pelakon terpampang di sekitarnya. Rencananya hari itu Teater Pelakon akan mementaskan drama untuk mengenang tiga tahun kepergian seniman teater Indonesia Asrul Sani. Kami berjalan menyusuri lorong di samping toko buku milik budayawan sekaligus sutradara ‘Mahkamah’ Jose Rizal Manua.  

Sepanjang perjalanan itu aku sedikit takjub. Sejumlah lampion terbuat dari rangka bambu dibungkus kertas minyak warna merah tergantung apik. Di dalamnya menyala lampu pijar. Bentuk lampion itu bermacam-macam; balok, limas segitiga, dan berlian—untuk menyebut bangun ruang gabungan dua limas segitiga. Udara dingin menyelinap lewat pori-pori jaketku, membikin aku agak menggigil, sementara suasana sekitarnya redup karena nyala lampion. Gerimis belum pergi.

Di depan sebuah bangunan persegi dekat Masjid Amir Hamzah kami berhenti. Ternyata acara sudah dimulai. Memang kami terlambat beberapa menit. Orang-orang sedang menyimak pembacaan naskah seorang di bangunan terbuka itu.

Sebentar aku terpana pada dekorasi ruangan yang dinamakan ‘Sanggar Baru’. Kain putih besar menutupi sisi utara dan timurnya. Tergantung 12 lampu warna-warni dan 21 buku tebal di sekelilingnya. Di lantai, buku-buku bertumpuk dan berserakan. Sementara lima perangkat perlengkapan belajar yaitu meja, kursi, dan lampu belajar, didiami lima orang.

Yonathan Rahardjo sedang membacakan petikan novelnya berjudul Lanang. Kadang ia duduk menekuri halaman-halaman teks di tangannya, kadang pula ia berdiri dan berputar dekat kursi. Ia begitu menikmati bacaannya.

Pada akhir 2006 lalu Dewan Kesenian Jakarta menggelar Sayembara Menulis Novel. Jurinya Apsanti Djokosujatno, Bambang Sugiharto, dan Ahmad Tohari. Sebanyak 249 naskah novel masuk. Pada 9 Maret 2007, di Teater Kecil TIM, lima pemenang diumumkan. Lima karya itu yaitu Hubbu karya Mashuri (Juara I), Mutiara Karam karya Tusiran Suseno (Juara II), Jukstaposisi karya Calvin Michel Sidjaja (Juara III), Glonggong karya Junaedi Setiyono (Juara Harapan I), dan Lanang karya Yonathan Rahardjo (Juara Harapan II).

Sedianya di acara bertajuk ‘Beraksinya Jawara-Jawara Baru’ sore itu semua penulis pemenang membacakan petikan novelnya. Namun hanya Mashuri dan Yonathan yang melakukannya. Sisanya tidak bisa hadir, tapi karya mereka dibacakan oleh tiga pembaca profesional dari kalangan aktor/sutradara teater di Jakarta; petikan Mutiara Karam di bacakan Haris Priadie Bah, sutradara Kelompok Teater Kami; petikan Glonggong dibacakan dubber Elsa Surya; dan petikan Jukstaposisi dibacakan oleh aktor teater Bambang Ismantoro.  

Saat pembacaan petikan novel, suasana TIM masih dingin dan remang. Aku berpindah-pindah tempat untuk mencari tempat nyaman. Orang-orang bebas duduk di mana saja, terutama yang berada di luar Sanggar Baru. Tikar yang digelar di bagian dalam sanggar tidak terisi penuh.

Aku menyempatkan diri menyambangi tukang bajigur yang mangkal di dekat situ. Kupesan dua gelas bajigur dan mengambil dua timus terakhir dari gerobak—untuk Deviyana. Lumayan, cukup menghangatkan badan.

Usai makan sambil menikmati pembacaan petikan novel, aku hendak membayar ke tukang bajigur. “Tidak usah, sudah dibayar panitia sini,” ujar Sang Tukang Bajigur. Wew, ternyata gratis, toh. Aku berpikir kenapa sejak datang tidak langsung mengambil penganan lain yang cepat habis itu.

Azan Maghrib menggema dari corong pengeras suara Masjid Amir Hamzah ketika Bambang Ismantoro ‘beraksi’. Ia berhenti sejenak demi mendengarkan azan. Penonton sebentar bersorak lalu segera sepi. Aku dan Deviyana bergegas ke masjid setelah mendatangi meja panitia untuk mendaftar dan mendapatkan buku kecil berisi lima petikan novel yang dibacakan serta isian door prize.

Pembawa acara pergelaran seni itu Zen Hae, Ketua Komite Sastra DKJ.  Sebelum sebuah karya dibacakan, ia membeberkan secara singkat isi novel, pengarangnya, dan orang yang membacakannya. Di sela-sela pembacaan karya ia mengundi sepuluh pemenang door prize. Ada sepuluh buku beragam judul yang dibagikan. Nukila Amal, penulis yang juga anggota Komite Sastra DKJ salah seorang yang beruntung. Aku? Alhamdulillah namaku dipanggil dan diberi buku Danger Zone karya Subhan SD terbitan Gagas Media yang terbit September 2003.    

Sebelum acara berakhir redakturku, Sigit Djatmiko, datang. Ia memang sering datang ke tempat itu dan memiliki banyak teman yang berasal dari Yogyakarta. Kami memang sudah janjian bertemu.

Acara selesai. Kami bertiga kemudian nongkrong di depan TIM. Seperti biasa suasananya ramai. Para pedagang mangkal di pinggir jalan. Pembelinya bebas duduk di mana saja. Kami mengambil tempat di bawah deretan spanduk sebelah selatan.

Deviyana mengambil dua gelas dan sebotol Anker Bir dari seorang pedagang. Kata Sigit di tempat itu yang menjual bir ada tiga pedagang. “Kalau Billy tidak boleh,” ucap Sigit sembari menuang bir ke dalam gelas. Itulah kenapa ia meminta Deviyana hanya memesan dua gelas. Sigit tahu aku tidak suka bir. Mencium baunya saja perutku mual.

Kami berbincang mengenai apa saja. Terutama yang berkaitan tentang kegiatan kantor. Lepas. Sigit dan Deviyana masing-masing memesan sepuluh tusuk sate padang sementara aku pesan mie rebus. Aku memang kepingin sekali makan makanan hangat biar badan tidak kedinginan.        

Pukul 21.30 kami beranjak dari TIM. Sigit langsung pulang ke kontrakannya di Kebun Jeruk Jakarta Barat. Sedangkan aku mengantar Deviayana ke kantor di bilangan Kemayoran.

Malam tak lagi dibekap mendung, namun udara mengalir dingin. Kami menyusuri Jalan Raden Saleh-Jalan Kramat Raya-Jalan Gunung Sahari-Jalan Industri yang sepi. Kepuasan tergambar di hati kami. Aku mengantar Deviyana hingga pintu gerbang Arena Pekan Raya Jakarta. Aku masih bisa mendengar suara lelaki asal Sukabumi Jawa Barat itu mengumbar kegembiraan. Aku kembali meneruskan perjalanan pulang ke Duren Sawit Jakarta Timur, sekitar 20 kilometer dari Kemayoran. Udara masih dingin, tapi langit terlihat cerah walau tak berbintang. Gerimis benar-benar sudah pergi.     

Duren Sawit, 17 Maret 2007. 22.24 WIB.

Tidak ada komentar: