Ini keping mimpi Gol A Gong soal pendidikan. Rencananya, di atas Taman Budaya Rumah Dunia, selain membangun gedung pertunjukan, ruang pameran lukisan, perpustakaan, dan sekretariat bagi komunitas literasi, juga akan dibangun gedung sekolah. Namanya SMA Generasi Baru.
Siswa sekolah ini awalnya akan merekrut 25 siswa terbaik lulusan SMP di Banten lewat sebuah seleksi. Berikutnya 25 siswa terbaik se-Indonesia. “Kita didik mereka dengan kurikulum nasional plus; plus kemahiran berpolitik, berbicara, menulis novel,” jelas Gong. Tak tanggung-tanggung, dosen tamunya adalah praktisi di bidangnya, seperti rektor, wartawan, dan anggota DPR.
Para siswa akan menginap di rumah-rumah penduduk di sekitar Rumah Dunia. Supaya ada interaksi sosial, kata Gong. Gong berharap perusahaan-perusahaan lewat program Company Social Responsibility (CSR) mau menanggung biaya operasional pendidikan. “Sehingga siswa murni belajar, tidak memusingkan biaya,” jelas Gong. Setelah lulus, siswa akan direkomendasikan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Mimpi Gong ini lahir dari kegelisahannya terhadap para pemimpin yang tidak punya karakter dan jati diri bangsa. “Sebenarnya nilai-nilai bangsa ini sudah ada di Pancasila, tapi tidak tersublimasi ke dalam diri masing-masing pemimpin,” ucapnya. “Di Indonesia ini semua pemimpin lahir bukan karena dia pintar atau cerdas, tapi dilahirkan oleh uang.”
Jadi, tambah Gong, diharapkan SMA Generasi Baru akan melahirkan para pemimpin yang berkarakter dan bernurani. Merekalah yang akan membawa bangsa menjadi maju dan bangkit dari keterpurukan ini.*
Total Tayangan Halaman
Selasa, 31 Mei 2011
Jumat, 20 Mei 2011
Ketika Napas di Ujung Tanduk
Bagaimana sakit yang kuderita mengingatkanku pada kematian.
Tiba-tiba aku jadi sulit bernapas. Tiap helaan laksana menarik gerobak berisi berton-ton batu kali. Sesekali terdengar suara lirih bersamaan dengan udara yang terhela, mengingatkanku pada detik-detik sakaratul maut di film-film. Aku mau mati saja.
Barulah Sabtu siang itu, 9 Januari yang dingin, aku menyadari bahwa sesak napasku tak biasa. Dua butir obat warung yang biasanya tokcer melepaskanku dari belitan sesak napas, yang kutelan pagi dan siang, tak beri efek apa-apa pada tubuhku. Asmaku kambuh.
Melihat kondisi kritis begitu, Ibu prihatin. Ia menyarankanku menyambangi Unit Gawat Darurat Puskesmas Kecamatan Duren Sawit. Aku masih menolak. Dan aku masih seperti menikmati jadi orang kritis kesulitan napas di hadapan tatapan nanar Ibu.
Akupun menyerah. Ke klinik saja ya, pintaku. Adikku, Merliana Merlin namanya, menawarkan diri mengecek lebih dulu klinik yang kumaksud apakah masih beroperasi: di pinggir jalan seberang bioskop Buaran. Meluncurlah ia dengan sepeda motor. Tak berapa lama, dari ujung telepon ia mengabarkan klinik itu sudah tutup.
Cari klinik lain, kata Ibu. Aku dan Ibu keluar, hendak menyambangi dokter praktik yang rumahnya tepat di mulut gang rumahku: Jalan Swadaya VI. Setiba di sana, adikku menutuk-nutukkan kunci pintu pagar masuk yang terletak di belakang rumah. Tak tampak tanda-tanda penghuninya keluar. Beberapa tetangga yang melihat itu bertanya dan menyarankan untuk periksa di klinik lain. Maksudnya klinik bidan! Memang aku pasien hamil atau mau diimunisasi, tanyaku dalam hati. “Itu si Yana kemarin ke bidan sana, sesak napasnya sembuh,” ucap tetanggaku yang biasa kusapa Enyak. Ia menunjuk praktik bidan di kawasan Pondok Bambu. Aku, Ibu, dan adik tidak tahu letaknya. Lagi pula agak jauh dari rumah. Enyak memberi referensi lain yang lebih dekat. Tapi tetap praktik bidan. Letaknya di Jalan swadaya I. Praktik bidan Farida. Okelah aku ke sana. Naik motor diboncengi adik yang masih tergolong pengantin baru—belum genap sebulan menikah.
Oleh bidan Farida aku diperiksa tekanan darah. “Normal,” kata bidan muda itu. Bicaranya santun dan sopan. “120/80.” Syukurlah, batinku. “Di suntik ya, biar sesak napasnya berkurang,” lanjutnya. Sudah kuduga.
Setelah disuntik aku merasa pusing. Wajahku memucat. Oleh bidan aku disarankan berbaring di atas ranjang periksa. Oleh asistennya hidungku di masukkan selang oksigen. Baru kali pertama itu aku menghirup oksigen.
Selama berbaring dada bawah bagian kananku nyeri, pegal. Sesekali aku merintih. Kata bidan itu biasa. Efek suntik barangkali maksudnya.
Adik memanggil Ibu. Memboncengnya dengan motor. Selama berbaring Ibu mendampingiku. Memijiti kaki dan tanganku. Sebuah kesadaran tiba-tiba menyapaku. Sentuhan Ibu menggerakkan sendi-sendi tubuhku. Memberi kekuatan yang sulit kulukiskan. Aku teringat masa-masa sulit saat sakit merongrongku, dulu, saat masih kecil dan remaja, ketika Ibu dengan setia dan penuh perhatian menemaniku berbaring; memijiti kepalaku dan sekujur tubuhku. Dan baru kusadari, Sabtu sore kemarin, bahwa sentuhan Ibu juga memberi kontribusi pada kesembuhanku.
Aku pun teringat pada Sabtu pekan sebelumnya, 2 Januari, saat aku membesuk bayi prematur seorang teman di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi. Kata temanku, perempuan muda beranak dua, suster penjaga bayi jika tak bisa menghentikan tangis bayi di dalam inkubator (tempat menyimpan bayi) akan menelepon sang ibu. Memintanya datang ke rumah sakit. Ajaibnya, setelah sang ibu menyentuhnya, bayi itu akan diam. Itulah kehebatan seorang Ibu! Sentuhan dan kedekatannya dengan sang anak mampu memberi kekuatan tak terduga pada psikologi dan biologis anak.
Maka aku minta Ibu menggenggam tanganku. Akupun memeluk telapak tangannya dengan telapak tanganku yang dingin. Ibu tampak heran. Namun kemudian aku merasakan kekuatan yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata menjalar dari tangan Ibu ke tubuhku.
Bidan Farida bertanya tentang riwayat sakit asmaku. Kata Ibu, sakit itu menurun dari nenekku. Dulu, saat usiaku sekitar lima tahun, asmaku kambuh. Aku dibawa ke Rumah Sakit Mitra Keluarga di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur—sekarang berganti nama menjadi RS Mitra Internasional. Setelah lima kali terapi, asmaku normal. Maksudnya, tidak separah penderita lain.
Ibu terus memijiti kakiku. Tubuhku berangsur membaik. Napas tak lagi saling berkejaran. Keringat keluar dari pembuluh kulit kaki, tangan, dan kepala. Sejam setelah berbaring, aku merasa agak membaik. Bidan Farida memberiku sejumlah obat untuk diminum.
Tak lama tiba di rumah, napasku kembali bergejolak. Dadaku makin berat. Kembali menghela napas seperti menarik berton-ton batu kali dalam gerobak. Sempat terpikir betapa sulit bernapas dan enaknya bisa bernapas lega. Ya Allah, aku teringat dengan nikmat terbesar dalam hidup: bisa bernapas lega. Nikmat ini yang hampir tak pernah disyukuri banyak manusia. Termasuk aku. Berapa banyak waktu yang dihabisi dalam gelimang maksiat dan dosa saat bisa bernapas lega? Aku berefleksi dan memprihatinkan perilaku hidupku.
Ternyata bisa bernapas lega itu sangat enak. Nikmat. Tak perlu susah payah menghela udara untuk bisa hidup normal. Tidak seperti aku yang mati-matian menarik napas, menahan sesak perut yang kian menegang dan berat agar bisa terus bertahan hidup! Ya, aku berpikir, sampai berapa lama aku akan bertahan untuk mati-matian bisa bernapas. Bernapas itu sulit! Aku bisa saja putus asa lantaran kelelahan menghela napas yang tak kian membaik. Dan kematian, tiba-tiba saja membayangiku.
Bayangan kematian yang juga sempat menghantui benakku saat terkulai lemah menahan panas-dingin yang bolak-balik mendera tubuh, pada November 2007 kelabu, dikikis virus Aedes Aegypti yang banyak memakan korban jiwa (Tulisan tentang ini dapat dilihat di blogku: www.billyantoro.multiply.com. Tulisan panjang yang kubagi dalam tiga bagian bertajuk “Aku dan Nyamuk 1, Aku dan Nyamuk 2, dan Aku dan Nyamuk 3.)
Tapi aku tak boleh mati. Masih banyak pekerjaan yang belum kuselesaikan. Dan cita-cita yang belum kugapai. Juga demi menjaga sebuah hiburan, tepatnya pengharapan, dari Allah yang diberikan hari itu bagi sebuah masa depan. Aku tak boleh mati. Aku tak boleh menyerah. Ini ujian Allah yang semoga dapat meruntuhkan dosa-dosaku dan memberikan hikmah terdalam pada hidupku.
Ibu menyarankanku memeriksakan diri ke UGD RS Islam Jakarta Pondok Kopi. Bapak yang sudah pulang kerja setuju. Aku masih ragu: barangkali aku masih bisa tahan hingga besok pagi dan sesak ini akan hilang jika aku bisa lelap tidur. Keduanya terus mendesakku. Tergambar kecemasan di wajah mereka. Aku menyerah. Aku menyetujui anjuran mereka.
Di luar hujan turun deras. Bapak memanggil taksi. Sebelum berangkat aku shalat Isya. Aku tak ingin, jika ini penghujung hidupku, aku meninggal dalam keadaan belum shalat. Aku pasrah saja menjalani shalat Isya, sebelumnya Maghrib, Ashar, dan Zuhur, dengan sengal napas di dada.
Taksi berjalan menembus derai hujan di pinggir Banjir Kanal Timur yang entah kapan selesai. Aku minta sopir mengecilkan pendingin ruangan (AC). Sesak masih mencekik dadaku. Ibu duduk di sampingku. Bapak duduk di samping sopir.
Sekitar pukul 20.00 aku masuk UGD. Menyeret tubuh menuju seorang dokter berkerudung biru langit dan bermasker hijau yang duduk di kursi, memegang pena mencoret-coret kertas putih. Barangkali ia sedang membuat sejumlah analisis pasien UGD. “Sesak napas, Dok. Asma.” Aku langsung membuka percakapan. Ia menyuruhku mencari ranjang tidur yang kosong.
Di ranjang itu aku membaringkan diri, masih menahan sesak napas yang tak kunjung membaik. Ibu memijiti kakiku. Kuminta pula ia memijiti kepalaku. Bapak berdiri menyender dinding agar terlihat dokter.
Beberapa lama kemudian dokter perempuan itu datang, memeriksa sebentar, membuat analisis. “Pengasapan ya,” ujarnya. Menyusul perawat lelaki berseragam merah jambu memeriksa tekanan darahku. Ia menaikkan posisi berbaringku hingga hampir duduk. Dilanjutkan seorang perawat perempuan membawa alat pengasap: sebuah kotak putih dengan selang yang ditancapkan ke sebuah masker dan masker itu menutupi mulut dan hidungku.
Suara alat pengasap memukul-mukul gendang telingaku. Tak terlalu gaduh. Uap keluar dari dalam masker, merembes ke luar, ditingkahi letupan-letupan kecil air yang menciprati mulut dan hidungku. Tak bisa kuhindari, cipratan air meresap ke dalam mulutku. Asin rasanya.
Aku merasa, sedikit demi sedikit, bisa bernapas lega. Aku tak perlu lagi bersusah payah bernapas. Otakku yang berseliweran pikiran tak jelas menjadi tenang. Tangan kiriku yang tadi terkulai di pinggir ranjang jatuh ke paha. Aku mengantuk. Rupanya alat pengasap ini mengandung obat. Dan ibu, dari suara yang terdengar menyelinap ke telingaku, mengatakan itu.
Aku menggunakan momen itu untuk mengistirahatkan diri. Sudah kepayahan aku bernapas. Kubuka mata, kulihat ibu berdiri di sampingku, memijiti kakiku. Bapak berdiri menyender dinding. Ia mondar-mandir mengurus pendaftaran dan pengambilan obat ke apotek.
Melihat mereka, aku jadi ingat saat bertempur mati-matian melawan Demam Berdarah sekitar dua tahun lalu. Sebelum dirujuk ke RS Budhi Asih di bawah guyuran deras hujan, aku terkulai lemah di UGD RS Duren Sawit dengan tusukan infus yang menyakitkan. Bapak yang kuanggap tak biasa mengurus administrasi hilir-mudik mengikuti instruksi dokter jaga; melakukan pendaftaran, periksa hasil darah di laboratorium, mencari taksi. Sementara Ibu dan adik semata wayangku berkejaran dengan waktu di tengah perjalanan kereta Bojonegoro-Jakarta.
Ya Allah, melihat mereka kembali menjagaku dalam sakit, hatiku trenyuh. Di usia sedewasa ini, mereka masih menjagaku. Aku seharusnya sudah bisa mandiri, membahagiakan mereka dengan memberikan cucu-cucu lucu. Bahkan hingga kini pun aku belum meminang seorang perempuan sebagai menantu mereka.
Dadaku terasa enak untuk bernapas. Ya, bisa dibilang aku sudah sembuh. Tapi tubuhku masih lemas. Suaraku pun belum normal. Masih di bawah hujan, taksi biru membawa aku, Ibu, dan Bapak pulang ke rumah.
Ibu menyiapkan kasur di ruang tengah, di depan televisi. Di tempat itulah aku biasa tidur sebab kamarku kadang pengap. Ia memberiku obat dan menyuapi sirup. Aku seperti anak kecil lagi. Adikku sudah tidur di kamarnya. Sendiri. Suaminya barangkali sedang bekerja dapat shift malam.
Setelah Ibu dan Bapak masuk kamar untuk istirahat, aku membuka kotak pesan layanan singkat (SMS) telepon selulerku. Sebuah pesan yang datang pukul 21:09:09 mengatakan pengirimnya sedang membutuhkan obat antibiotik amfotericin. Sudah tiga hari ia mencari obat itu di berbagai apotek tapi tidak ketemu. Ya, dialah temanku yang bayinya lahir prematur. Saat dia mengirim SMS, saya terbaring di UGD, tak jauh dari posisinya mengirim SMS. Aku tak sempat mengirim kabar padanya.
Dia memintaku mencari informasi ihwal antibiotik amfotericin lewat internet. Kukatakan padanya aku baru tiba dari UGD dan tidak bisa membantunya malam itu juga. Lantas aku teringat pada temanku yang bekerja sebagai asisten apoteker di sebuah apotek di kawasan Pondok Kelapa. Kutelepon ponselnya, tak diangkat. Kukirimi SMS, beberapa saat kemudian ia menjawab obat yang berisi amfotericin B bernama Fungizone dan Talsutin. Di apoteknya tak tersedia obat itu. Sebab selama ini tak ada dokter yang membuat resep seperti itu di apoteknya. Ia memberi tahu lebih lanjut soal bentuk pengemasan obat dan saran agar mencari di sebuah apotek di bilangan Rawamangun.
Aku berpikir, kukira malam itu aku adalah orang paling menderita. Ternyata ada yang lebih menderita lagi: seorang ibu di sebuah rumah sakit pada larut malam memikirkan obat bagi bayinya yang telah lama menghuni inkubator selama kurang lebih dua bulan. Aku berdoa agar bayinya segera sehat dan ia tabah menjalani cobaan ini.
PADA Kamis pagi 7 Januari 2010 aku masih merasa sehat-sehat saja. Aku datang ke Balai Warga RW 01, tempat PAUD Nusa Indah menggelar kelas belajar. Aku membantu Bu Sri Suwarsini membimbing siswa-siswi kelas A menulis angka. Membantu beberapa siswi berhitung, dan mati-matian mengajari dua siswi usia 3-4 tahun bagaimana menulis angka 1 dan 2.
Aku tak habis pikir kenapa mereka tak bisa menuliskan angka itu, padahal tinggal mencontek saja di papan tulis dan angka yang kubuatkan di buku mereka. Tapi aku tak boleh putus asa. Aku tak boleh egois. Barangkali dulu, seumur mereka, aku juga tak bisa melakukannya.
Seorang siswi yang kuajari berkali-kali memegang kerudung putih yang membelit lehernya. “Gerah,” katanya. Lalu aku mengizinkannya untuk mencopotnya. Belum selesai di situ, konsentrasi belajarnya luruh. Sebab teman-temannya yang duduk di depan, belakang, dan sampingnya berujar, “Pak Guru, ajarin saya dong! Saya nggak bisa nih!”
Siswi berambut tipis panjang itu, Anggun namanya, memang pelit bersuara. Kalaupun bersuara kecil sekali. Dua kali saat aku mengajarinya menulis angka 1, lendir putih kehijauan berleleran dari hidungnya. Ia cepat-cepat mengusapnya dengan punggung tangannya.
Sebelum kelas bubar, aku membariskan siswa-siswi kelas B yang masuk siang. Bu Sri sibuk menyiapkan siswa-siswi kelas A untuk pulang; membereskan alat belajar, membagikan buku Pekerjaan Rumah, dan berdoa. Setelah kelas B masuk dan Bu Sri kembali mengajar, aku kembali pulang. Sebab aku harus segera pergi ke kantor. Sudah siang.
Di rumah, masih dengan pakaian batik biru yang basah peluh, aku menyiapkan jaket oranye dan tas merah. Tiba-tiba aku bersin berkali-kali. Flu. Aku memaksakan diri pergi kendati bersin menerjang berulang kali. Sengaja aku memaksakan diri lantaran sebelum-sebelumnya sudah terjadi demikian kali dan flu hilang di jalan setelah tubuh ini terpanggang mentari.
Ternyata dugaanku salah. Di kantorku yang dingin, flu-ku menjadi-jadi. Segelas teh manis panas tak sanggup meredakannya. Kutarik penutup kepala yang menyatu dengan jaket hingga kepalaku penuh tertutup. Atasanku yang masuk ruangan bertanya, “Sedang sakit, Bil?” “Iya,” jawabku. Beberapa teman menyayangkan dalam keadaan flu aku tetap datang ke kantor. Mereka menyarankanku pulang.
Aku baru pulang sore. Ingin mampir dulu ke tukang fotokopi yang berderet di sepanjang jalan dekat STM Pembangunan, Rawamangun, Jakarta Timur. Aku ingin menjilid softcover buku yang baru kurampungkan: Pelangi di Ujung Gerimis, Secercah Kisah di PAUD Nusa Indah.
Buku ini merupakan kumpulan tulisanku sejak kali pertama mengajar di PAUD Nusa Indah. Berisi sejarah dan kondisi pembelajaran di PAUD Nusa Indah serta metodeku dalam mengajar Bahasa Inggris. Sengaja untuk cetakan pertama ini aku memperbanyaknya hanya empat eksemplar; satu untuk diriku sendiri, satu untuk PAUD Nusa Indah, satu untuk RW, dan satu lagi, belakangan baru Sabtu aku meniatkannya, akan kuberikan kepada seorang yang istimewa.
Jalanan ibukota sangat macet. Aku menyempatkan diri shalat Maghrib di dekat pom bensin Jalan Pramuka. Peluh dan dingin menyatu dalam pakaianku. Baru setelah Isya aku tiba di tempat fotokopi.
Besoknya, Jumat, kondisi tubuhku makin turun. Flu tak lagi main-main mencekikku. Aku tak pergi ke kantor. Di rumah saja berbaring dan keluar hanya untuk shalat Jumat. Obat pereda flu yang kubeli kemarin di kantin kantor tak banyak pengaruh.
Sehari kemudian aku batuk keras di kamar mandi. Membuat dadaku sesak. Napasku terengah-engah. Kumakan obat warung yang biasanya manjur melepaskanku dari cengkeraman sesak napas. Tak berpengaruh, kumakan obat itu lagi setelah makan siang. Sesak napasku makin menjadi-jadi. Akhirnya kusadari, penderitaan itu sedang dimulai.
Duren Sawit, Ahad, 10 Januari 2010. 07.14 WIB
Kamis, 19 Mei 2011
Dongeng dan Mendung di Luar Kelas
“Demi mengetahui sumber air bah yang menenggelamkan desa, Amal, Amil, dan Amul berjalan menyusuri bukit, membelah hutan, menyeberangi sungai. Di tengah hutan mereka mendengar lolongan serigala, auman macan, teriakan monyet. Amal yang penakut segera berlindung di balik pohon.
“‘Payah, segitu saja takut!’ ujar Amul yang pemberani.
“Jger!
“Tiba-tiba petir menggelegar. Amul kaget dan buru-buru berlindung di samping Amal. Begitu pula Amul.
“Langit gelap. Awan hitam menggumpal di atas hutan. Berkali-kali petir menggelegar, membuat bulu kuduk Amal, Amil, dan Amul berdiri.”
Di luar garasi mobil sinar mentari tak lagi tampak. Tertutup awan kehitaman. Mendung. Fauzan, siswa bertubuh besar yang duduk paling depan, menoleh ke belakang, memanggil ibunya. Sesaat kemudian ia mengisak tangis, minta pulang. Sang Ibu memintanya diam, namun Fauzan tak menggubris Tangisnya makin keras. Lalu ia bangkit dari duduknya, ingin ke belakang, namun barisan kursi yang diduduki siswa lain tak memungkinkannya melangkah ke belakang. Tangisnya kemudian meledak.
Beberapa siswa berdiri, hampir semua terprovokasi tangisan Fauzan. Reza yang duduk satu baris dengan Fauzan berdiri, hendak ke belakang. Ia berteriak pada ibunya ingin pulang. Siswa yang duduk di barisan belakang keluar dengan mudah dari garasi mobil. Mendekati ibu mereka yang duduk di atas tikar sepuluh meter di belakang.
Saya memutar otak dengan mempercepat jalan cerita.
“Tibalah mereka di atas bukit. Tanah lapang berumput terhampar luas. Sebuah rumah besar berdiri di tengah-tengahnya. Amal, Amil, dan Amul mendekati rumah dan berdiri di ambang pintu.
“Di rumah itu kursinya besar, mejanya juga besar. Lalu terdengar suara isakan tangis dari samping rumah. Lalu ketiganya bergegas ke sumber suara di samping rumah.
“Amal dan Amul kaget. Mereka segera berlindung di balik batu. Di hadapan mereka makhluk raksasa sedang duduk di atas batu. Wajahnya ditangkupkan pada pangkuannya, di lingkari kedua bahunya.
“’Huu...huu...hu...’
“Anak raksasa itu menangis. Air matanya menjadi bah yang menenggelamkan desa. Amul dengan dada terangkat berkata, ‘Hei, apa yang membuatmu menangis?’
“Masih dengan wajah tersembunyi di balik pangkuan, anak raksasa menjawab, ‘Saya kesepian di sini. Ditinggal sendiri oleh ayah-ibu. Sudah beberapa hari.’
“Amal, Amil, dan Amul kemudian berdiskusi bagaimana membuat anak raksasa tak lagi menangis. Mereka sepakat untuk menghiburnya.
“’Yuk kita hibur dia dengan menyanyikan lagu ‘balonku’!’ teriak Amul.”
Lalu anak-anak bernyanyi ‘balonku’.
“Wah, ternyata anak raksasa itu masih menangis. ‘Kita harus menyanyikan lagu yang membuat hati semangat! Ayo kita menyanyikan lagu ‘Aku Seorang Kapiten!’ ajak Amul.”
Anak-anak bernyanyi lagu ‘Aku Seorang Kapiten’.
“Anak Raksasa itu mengangkat wajahnya. Kini tangisnya mulai mereda. ‘Biar dia diam, kita menyanyi lagu apalagi?’ tanya Amul pada Amal dan Amil.”
Seorang anak di belakang berteriak, “Lagu ‘Potong bebek angsa’!”
Lalu anak-anak menyanyi lagu ‘Potong Bebek Angsa’.
“Akhirnya anak raksasa itu tak lagi menangis. Ia berterima kasih pada Amal, Amil, dan Amul yang telah menghiburnya. ‘Sebagai tanda terima kasih, saya akan membantu kalian mengeringkan air bah yang menenggelamkan desa kalian,’ ujar anak raksasa.”
Di luar garasi mobil, anehnya, langit berubah cerah. Mentari bersinar kembali. Sengatnya sampai masuk mengenai sebagian siswa di dalam kelas. Ya, kelas mereka, siswa-siswi PAUD Nusa Indah Duren Sawit, adalah sebuah garasi. Panas dan hujan pasti menerpa bagian dalam garasi.
Anak-anak kembali masuk kelas. Saya menyudahi cerita.
PAGI tadi tak ada pelajaran yang melibatkan pensil warna dan kertas. “Hari ini kita belajar berkhayal,” ujar saya usai senam pagi. “Nanti Bapak akan mendongeng lalu kita nonton film di sini.” Saat berkata ‘mendongeng’ seraya menunjuk ruang kelas (garasi mobil) dan ‘nonton film di sini’ adalah tempat yang mereka pakai buat senam pagi.
Lantaran jam belajar terpotong oleh senam pagi dan waktu yang sempit, saya berinisiatif mengisi pelajaran Sabtu dengan variasi materi. Tak melulu berisi belajar menggunakan buku.
Sabtu lalu, karena kelas A dan B digabung (kelas A dan kelas B usia 3-5 tahun serta kelas kecil berusia 2-3 tahun senam bersama), saya kerepotan sekali. Lantaran ruang kelas tak muat menampung gabungan siswa kelas A dan B usia 3-5 tahun, dibagilah ruang belajar mereka. Kelas A di dalam kelas. Kelas B duduk di tikar, di lokasi mereka senam pagi—ruang belajar kelas kecil di garasi rumah Bu Alwin yang terletak di lain gang..
Awalnya saya berpikir untuk menangani keduanya, mondar-mandir ke kelas masing-masing. Saat saya memegang kelas A, Bu Sri Suwarsini, guru yang memegang pelajaran hari Kamis, bantu memegang kelas B. Ternyata rencana itu gagal. Waktu saya tersita di kelas A. Untung saja Bu Sri Suwarsini bisa menangani kelas B.
Setelah anak-anak istirahat, Bu Sundari, Bendahara PAUD, berkata, “Pak, sudah jam setengah sepuluh. Anak-anak dipulangkan saja.” Rencana saya mendongeng gagal. Padahal saya sudah membawa tiga boneka tangan. Janji saya pada Fajar, siswa yang sejak masuk sekolah usai liburan Lebaran minta saya untuk mendongeng, tak kunjung terpenuhi. Dan tadi, sebelum mendongeng, saya menjawab ancamannya yang lalu-lalu, “Awas lho, Pak, kalau nggak cerita!”
Entah apakah besok-besok Fajar masih melontarkan ancamannya, saya tidak tahu.
Duren Sawit, Jakarta Timur.
Sabtu, 24 Oktober 2009. 11.00 WIB.
Dilema Ibu Muda
Tadi sore seorang teman menceritakan keluhannya tentang keluarga dan pekerjaan yang digelutinya. Ia ibu muda, pegawai negeri sipil. Anaknya baru satu, berusia 3 tahun. Anak keduanya berusia 6 bulan di dalam rahimnya.
Ia merasa kerepotan mengurus anak sulungnya lantaran pembantunya tak lagi datang usai pulang kampung Lebaran kemarin. Mencari pengganti sulitnya bukan main. Pengasuhan anak diberikan kepada suaminya yang punya waktu lebih banyak di rumah.
Maklum, karena masih bapak muda, suaminya kurang telaten mengurus anaknya. Pakaian anak baru diganti setelah ia pulang dari kantor, sore atau malam. Sekalian memberinya makan sebab kadang siang belum diberi makan. Kasihan sekali.
Kondisi demikian mendorongnya mengambil keputusan: mempertimbangkan untuk mengundurkan diri dari posisinya di kantor dan menjadi staf biasa saja. Posisi sekarang membuatnya tak nyaman dalam hal waktu pulang: kadang larut malam.
Inilah dilema seorang ibu muda. Juga kebanyakan perempuan lain yang memilih bekerja membantu suami mencukupi kebutuhan keluarga. Sebelum menikah mereka bekerja di instansi negeri atau pun swasta. Setelah menikah dan punya anak, kesibukannya ganda: mengurus anak dan pekerjaan.
Bukannya suami tidak diserahi tanggung jawab mengurus anak. Pada umumnya, secara kultur, suami bertanggung jawab mencari nafkah dengan bekerja di luar rumah. Sementara tugas mengurus anak diserahkan pada istri; mengajaknya bermain, mengurus makan, minum, buang hajat, dan berbagai kegiatan yang rasanya sulit dikerjakan suami.
Tak masalah jika suami bekerja di luar rumah dan istri bekerja mengurus rumah tangga. Namun jika keduanya bekerja, siapa yang mengurus anak dari pagi sampai sore? Pembantu rumah tangga, itu solusi ampuh yang kini dipakai kebanyakan pasangan suami-istri. Bagi yang kurang mampu, solusi yang “agak kurang ajar” adalah menyerahkan pengasuhan anak pada orangtua.
Sebenarnya tidak masalah jika pekerjaannya dapat diatur waktunya. Fleksibel. Misalnya, guru sekolah atau bimbingan belajar dan berdagang keliling/mangkal. Atau pekerjaan yang bisa dilakukan di rumah, seperti menulis (artikel, skenario, novel, cerpen), membuka warung, atau industri rumah tangga.
Dalam hidup berumah tangga, sebaiknya suami dan istri melakukan diskusi. Kerja-kerja rumah tangga dibagi secara adil. Jangan sampai salah satu diberatkan. Sehingga tugas mengurus anak, membersihkan rumah, menyapu dan mengepel lantai, mencuci piring dan pakaian, dilakukan dengan baik dan hati lapang. Paradigma bahwa pekerjaan rumah tangga semuanya menjadi tanggung jawab istri harus dihilangkan. Bahkan suami pun punya kewajiban mengurus anak, seperti memandikan, membuatkan susu, membersihkan kotoran, mengganti popok, dan mengajaknya bermain.
Pembicaraan tentang pembagian peran dalam rumah tangga sebelum memutuskan menikah juga diperlukan. Jangan sampai persoalan itu baru dibicarakan setelah menikah sehingga dikhawatirkan keduanya tidak menemui jalan temu. Rumah tangga jadi berantakan.
Calon istri tidak punya kewajiban mencari nafkah. Namun ia pun tidak boleh dilarang ikut mencari nafkah asal pekerjaan utamanya mengurus rumah tangga tidak terlantar. Jika mereka memang memilih berperan ganda, suami pun harus sadar bahwa dia pun juga harus membantu istri mengurus pekerjaan rumah tangga. Jadi keduanya melakukan peran ganda.
Jika suami merasa mampu memenuhi seluruh kebutuhan keluarga, ia pun tidak boleh memaksakan istrinya untuk hanya berkecimpung di rumah mengurus rumah tangga. Bila pekerjaan sang istri membuatnya mampu mengembangkan potensi diri, mengamalkan ilmu yang didapatnya saat sekolah/kuliah, dan membuat perubahan di masyarakat, maka suami harus turut mendukungnya.
Suamipun tidak boleh memaksa sang istri bekerja jika istri tak menginginkannya. Mengurus rumah tangga juga sebuah pekerjaan kendati tak ada yang menggaji. Justru pekerjaan ini sangat mulia dan penting karena kestabilan rumah tangga dapat tetap terjaga; pengurusan anak, rumah, sosialisasi dengan lingkungan masyarakat.
Yang perlu diperhatikan pasangan yang bekerja adalah tujuan utama bekerja. Bahwa mereka mencari uang demi kebaikan anak dan keberlangsungan keluarga. Sayangnya banyak dari mereka melupakan ini. Mereka bekerja namun anak terlantar. Akibat sama-sama frustasi dengan pekerjaan, keduanya saling emosi dan tak ada salah satunya yang mengambil peran sebagai pendamai. Akhirnya rumah tangga berantakan. Tiap hari terjadi pertengkaran. Anak kembali menjadi korban. Apalagi jika ada perceraian.
Mengurus anak
Salah satu pekerjaan terberat dalam rumah tangga adalah mengurus anak, terlebih anaknya masih kecil. Pasangan muda pastilah banyak mengalami kesulitan. Maklum, kurang berpengalaman. Semua serba baru.
Pada beberapa acara silaturahmi sebelum dan sesudah Lebaran dengan teman-teman, saya melihat acara silaturahmi diselingi kesibukan ibu-bapak muda mengurus anak; mengajak anak bermain, mendiamkan anak jika menangis, membersihkan kotorannya. Saya berpikir, repot sekali jadi orangtua. Suami pastilah jadi pihak yang agak menjauh jika anak mereka kelihatan rewel atau hendak buang hajat. Pura-pura sibuk atau tidak tahu. Sang istri dibiarkan repot sendiri. Kira-kira, apa yang ada dalam benak istri?
Lalu, setelah anak bertambah usia, masih balita atau batita, kesigapan orangtua juga tak berkurang. Kesabaran harus lebih tebal. Kadang anak susah diatur, banyak kemauan, atau malah mengganggu pekerjaan. Tidak sabar, anak dimarahi, dicubit, atau ditinggal pergi. Repotnya jadi orangtua. Apalagi ibu muda.
Ketika saya mendengarkan cerita ibu muda tadi sore, berulang kali saya memuji kehebatan ibu muda yang rela berperan ganda. Juga perempuan pada umumnya yang mengabdikan diri bagi tumbuh-kembang sang anak dan kehebatan sang suami. Mereka ber-ada, dibutuhkan. Menjadi, memberi, berkorban. Martir.
Ia merasa kerepotan mengurus anak sulungnya lantaran pembantunya tak lagi datang usai pulang kampung Lebaran kemarin. Mencari pengganti sulitnya bukan main. Pengasuhan anak diberikan kepada suaminya yang punya waktu lebih banyak di rumah.
Maklum, karena masih bapak muda, suaminya kurang telaten mengurus anaknya. Pakaian anak baru diganti setelah ia pulang dari kantor, sore atau malam. Sekalian memberinya makan sebab kadang siang belum diberi makan. Kasihan sekali.
Kondisi demikian mendorongnya mengambil keputusan: mempertimbangkan untuk mengundurkan diri dari posisinya di kantor dan menjadi staf biasa saja. Posisi sekarang membuatnya tak nyaman dalam hal waktu pulang: kadang larut malam.
Inilah dilema seorang ibu muda. Juga kebanyakan perempuan lain yang memilih bekerja membantu suami mencukupi kebutuhan keluarga. Sebelum menikah mereka bekerja di instansi negeri atau pun swasta. Setelah menikah dan punya anak, kesibukannya ganda: mengurus anak dan pekerjaan.
Bukannya suami tidak diserahi tanggung jawab mengurus anak. Pada umumnya, secara kultur, suami bertanggung jawab mencari nafkah dengan bekerja di luar rumah. Sementara tugas mengurus anak diserahkan pada istri; mengajaknya bermain, mengurus makan, minum, buang hajat, dan berbagai kegiatan yang rasanya sulit dikerjakan suami.
Tak masalah jika suami bekerja di luar rumah dan istri bekerja mengurus rumah tangga. Namun jika keduanya bekerja, siapa yang mengurus anak dari pagi sampai sore? Pembantu rumah tangga, itu solusi ampuh yang kini dipakai kebanyakan pasangan suami-istri. Bagi yang kurang mampu, solusi yang “agak kurang ajar” adalah menyerahkan pengasuhan anak pada orangtua.
Sebenarnya tidak masalah jika pekerjaannya dapat diatur waktunya. Fleksibel. Misalnya, guru sekolah atau bimbingan belajar dan berdagang keliling/mangkal. Atau pekerjaan yang bisa dilakukan di rumah, seperti menulis (artikel, skenario, novel, cerpen), membuka warung, atau industri rumah tangga.
Dalam hidup berumah tangga, sebaiknya suami dan istri melakukan diskusi. Kerja-kerja rumah tangga dibagi secara adil. Jangan sampai salah satu diberatkan. Sehingga tugas mengurus anak, membersihkan rumah, menyapu dan mengepel lantai, mencuci piring dan pakaian, dilakukan dengan baik dan hati lapang. Paradigma bahwa pekerjaan rumah tangga semuanya menjadi tanggung jawab istri harus dihilangkan. Bahkan suami pun punya kewajiban mengurus anak, seperti memandikan, membuatkan susu, membersihkan kotoran, mengganti popok, dan mengajaknya bermain.
Pembicaraan tentang pembagian peran dalam rumah tangga sebelum memutuskan menikah juga diperlukan. Jangan sampai persoalan itu baru dibicarakan setelah menikah sehingga dikhawatirkan keduanya tidak menemui jalan temu. Rumah tangga jadi berantakan.
Calon istri tidak punya kewajiban mencari nafkah. Namun ia pun tidak boleh dilarang ikut mencari nafkah asal pekerjaan utamanya mengurus rumah tangga tidak terlantar. Jika mereka memang memilih berperan ganda, suami pun harus sadar bahwa dia pun juga harus membantu istri mengurus pekerjaan rumah tangga. Jadi keduanya melakukan peran ganda.
Jika suami merasa mampu memenuhi seluruh kebutuhan keluarga, ia pun tidak boleh memaksakan istrinya untuk hanya berkecimpung di rumah mengurus rumah tangga. Bila pekerjaan sang istri membuatnya mampu mengembangkan potensi diri, mengamalkan ilmu yang didapatnya saat sekolah/kuliah, dan membuat perubahan di masyarakat, maka suami harus turut mendukungnya.
Suamipun tidak boleh memaksa sang istri bekerja jika istri tak menginginkannya. Mengurus rumah tangga juga sebuah pekerjaan kendati tak ada yang menggaji. Justru pekerjaan ini sangat mulia dan penting karena kestabilan rumah tangga dapat tetap terjaga; pengurusan anak, rumah, sosialisasi dengan lingkungan masyarakat.
Yang perlu diperhatikan pasangan yang bekerja adalah tujuan utama bekerja. Bahwa mereka mencari uang demi kebaikan anak dan keberlangsungan keluarga. Sayangnya banyak dari mereka melupakan ini. Mereka bekerja namun anak terlantar. Akibat sama-sama frustasi dengan pekerjaan, keduanya saling emosi dan tak ada salah satunya yang mengambil peran sebagai pendamai. Akhirnya rumah tangga berantakan. Tiap hari terjadi pertengkaran. Anak kembali menjadi korban. Apalagi jika ada perceraian.
Mengurus anak
Salah satu pekerjaan terberat dalam rumah tangga adalah mengurus anak, terlebih anaknya masih kecil. Pasangan muda pastilah banyak mengalami kesulitan. Maklum, kurang berpengalaman. Semua serba baru.
Pada beberapa acara silaturahmi sebelum dan sesudah Lebaran dengan teman-teman, saya melihat acara silaturahmi diselingi kesibukan ibu-bapak muda mengurus anak; mengajak anak bermain, mendiamkan anak jika menangis, membersihkan kotorannya. Saya berpikir, repot sekali jadi orangtua. Suami pastilah jadi pihak yang agak menjauh jika anak mereka kelihatan rewel atau hendak buang hajat. Pura-pura sibuk atau tidak tahu. Sang istri dibiarkan repot sendiri. Kira-kira, apa yang ada dalam benak istri?
Lalu, setelah anak bertambah usia, masih balita atau batita, kesigapan orangtua juga tak berkurang. Kesabaran harus lebih tebal. Kadang anak susah diatur, banyak kemauan, atau malah mengganggu pekerjaan. Tidak sabar, anak dimarahi, dicubit, atau ditinggal pergi. Repotnya jadi orangtua. Apalagi ibu muda.
Ketika saya mendengarkan cerita ibu muda tadi sore, berulang kali saya memuji kehebatan ibu muda yang rela berperan ganda. Juga perempuan pada umumnya yang mengabdikan diri bagi tumbuh-kembang sang anak dan kehebatan sang suami. Mereka ber-ada, dibutuhkan. Menjadi, memberi, berkorban. Martir.
Duren Sawit, Jakarta Timur.
Kamis, 8 Oktober 2009. 21.43 WIB
Kamis, 8 Oktober 2009. 21.43 WIB
Penggunaan Bahasa dan Keprihatinan Kita
Pada sejumlah silaturahmi dengan saudara-saudara dalam merayakan Idul Fitri 1430 Hijriah, saya baru menyadari sesuatu: beberapa saudara (keponakan) saya kelas 2 SMA. Dan mereka semua punya akun di Facebook.
Saya selalu tertarik dengan dunia sekolah. Sejak kuliah, interaksi saya langsung dengan siswa sekolah lewat beberapa pelatihan jurnalistik yang digelar oleh organisasi tempat saya berkecimpung. Hingga kini pun saya tetap menjaga hubungan baik dengan sejumlah anak sekolah maupun mereka yang baru beranjak kuliah. Banyak hal menarik dari dunia anak sekolah, sebab saya pun merasakannya saat masih berseragam putih-biru dan putih-abu-abu.
Beberapa waktu belakangan saya mencermati gaya bahasa tulis pelajar sekolah. Pertama saya mencermati bahasa tulis pada pesan layanan singkat (SMS-Short Message Service). Awalnya agak sulit memahami bahasa mereka, namun kemudian saya mudah mencernanya. Saya pun mengambil sejumlah akronim yang mereka gunakan.
Kedua, saya mencermati bahasa tulis di situs jejaring sosial Facebook. Rumitnya minta ampun. Barangkali saya yang belum paham atau kesulitan memahami ‘sandi’ atau ‘konvensi istilah’ yang mereka pakai. Saat membaca deretan kalimat di status atau komentar mereka, saya selalu mengulang-ulang, mengurai singkatan, dan makna tulisan mereka. Butuh waktu agak lama untuk memahaminya.
Mari simak salah satu kalimat status Facebook berikut ini: “Mv w ud m0nk gt0w k lw, , ,w cyg m lw, w cm tag mu lw kceua krr n, , .W tw ntr 0r bcug pzt lw aqn lbic kceua krn w”. Bisakah Anda dengan cepat mencerap maknanya?
Tiap zaman punya bahasa tersendiri, baik bahasa lisan maupun tulisan. Yang mampu memahaminya dengan fasih juga anak zaman itu. Zaman saya sekolah, antara 10-15 tahun lalu, gaya bahasa tulis tak begitu menonjol. Sebab saat itu fasilitas yang mampu menghubungkan lalu lintas komunikasi personal dan komunal secara masif belum begitu banyak seperti sekarang. Paling-paling hanya telepon dan pager. Itu pun, bagi sebagian besar pelajar, masih tergolong eksklusif. Maka yang berkembang saat itu lebih kepada gaya bahasa lisan dan pemunculan istilah prokem/slank.
Beda dengan zaman sekarang. Anak sekolah kini dapat menikmati kemajuan teknologi informasi yang memungkinkan mereka berkomunikasi tak hanya mengandalkan bahasa lisan untuk berkomunikasi. Bahasa tulis sebagai alat komunikasi juga sangat efektif dipakai, misalnya pada SMS, blog, dan situs jejaring sosial semacam Facebook. Ini semua sebagai dampak kemajuan internet dan teknologi telepon seluler.
Perbedaan penggunaan bahasa tiap zamannya tidak perlu dipersoalkan. Bahkan itu sesuatu yang harus dihargai sebagai produk inovatif zaman tersebut. Selama digunakan sebagai bahasa pergaulan, tak masalah. Namun, ketika bahasa prokem digunakan atau dicampur-adukan dengan bahasa ilmiah dan baku, ini yang jadi masalah. Masalahnya lagi ketika mereka tak mampu menggunakan bahasa Indonesia baku dalam percakapan umum ataupun penulisan ilmiah sederhana, seperti menulis artikel di media massa, ujian sekolah, atau skripsi.
Dikutub lain, penggunaan bahasa dan peristilahan oleh orang-orang berpendidikan sarjana tak bagus-bagus amat. Banyak sekali yang tidak memahami istilah atau ungkapan yang mereka gunakan, terutama pencampur-adukan kalimat bahasa Indonesia dengan bahasa asing.
Masih banyak dijumpai istilah asing yang sebenarnya sudah ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia, dicampur pemakaiannya dengan kalimat bahasa Indonesia. Termasuk bahasa yang dipakai oleh birokrasi pemerintahan. Dalam bahasa tulis, selama istilah asing itu diberi garis miring, tidak masalah. Itu pun untuk penggunaaan satu-dua istilah saja yang kemudian digunakan padanan bahasa Indonesia sebenarnya.
Misalnya kata ‘schedule’ dan ‘list’. Dua kata ini adalah istilah bahasa Inggris yang jika diindonesiakan berarti ‘jadwal’ dan ‘daftar’. Namun berapa banyak wartawan, guru, karyawan, direktur, aktivis LSM, organisasi pemuda dan kemahasiswaan, serta pejabat yang ‘senang’ menggunakan istilah ini dalam bertutur dan menulis?
Misalnya: “Kita harus membuat schedule yang jelas agar kegiatan kita tidak bentrok dengan schedule rapat kantor.” Atau: “List yang bos kita buat berbeda sekali dengan list yang kita buat.”
Yang memprihatinkan yaitu pemaksaan penggunaan imbuhan yang disematkan pada istilah asing itu. Contoh: “Kita harus men-schedule ulang kedatangan mereka ke kantor ini.” Atau: “Me-list nama-namanya jangan asal-asalan ya!”
Nah contoh ini sangat memprihatinkan: “Jangan lupa di-schedule-in waktu presentasi saya!” Atau: “Kamu kalau nge-list yang benar!”
Saya menilai, fenomena penggunaan bahasa seperti ini sangat memprihatinkan. Dulu banyak yang menganggap orang-orang dan pejabat senang menyisipkan istilah asing dalam ucapan dan tulisannya agar terkesan mewah dan prestisius. Namun kini pendapat itu tak berlaku lagi. Saya menganggap, orang-orang yang demikian adalah pemalas dan bodoh.
Mereka tahu, dalam pembicaraan atau penulisan yang bersifat umum dan ilmiah, penggunaan bahasa yang baku dan lazim merujuk pada kamus bahasa. Banyak sekali kamus bahasa Indonesia beredar di toko buku, baik isinya tebal maupun tipis, baik kualitasnya asli maupun bajakan. Namun berapa banyak wartawan, guru, karyawan, direktur, aktivis LSM, organisasi pemuda dan kemahasiswaan, serta pejabat memiliki kamus bahasa Indonesia? Mereka malas membaca kamus dan membiarkan hal demikian terus berlanjut.
Saya pernah diminta menjadi juri yang menilai hasil pembuatan media (koran/majalah/tabloid) oleh peserta sebuah pelatihan jurnalistik mahasiswa di Jakarta. Mayoritas penulisan bahasanya, baik tata bahasa maupun peristilahan, kacau balau!
“Siapa di antara kalian yang memiliki kamus bahasa Indonesia?” tanya saya. Tak satu pun peserta angkat tangan. “Mana organisasi pers kampus yang punya kamus bahasa Indonesia?” Tak ada juga yang angkat tangan. Saya kecewa. Saya katakan terus terang di depan mereka bahwa hasil tulisan mereka tak ubahnya seperti anak sekolah! Harus banyak belajar bahasa!
Saat itu saya kembali teringat pada sejumlah naskah skripsi mahasiswa yang pernah saya baca. Banyak sekali kesalahan logika, penggunaan tanda baca, dan penggunaan kata keterangan. Barangkali efeknya tak begitu besar jika itu skripsi bidang sosial. Namun jika skripsi bidang kimia dan teknik, bisa-bisa alat eksperimen meledak. Bukan masalah pada ramuan kimia atau susunan kode, melainkan pada bahasa yang menjelaskan cara kerja ramuan kimia dan eksekusi kode.
Jadi tak perlulah berpanjang lebar mengenai aplikasi konsep bahasa sebagai alat pemersatu bangsa. Atau bahasa sebagai produk budaya dan identitas suatu bangsa. Mulailah pemangku kepentingan di bidang bahasa ‘bergerilya’ meluruskan pemakaian ‘bahasa Indonesia yang baik dan benar’ di sekolah, kampus, dan kantor-kantor pemerintahan. Dan biarkan saya asyik menelisik bahasa prokem anak sekolah zaman sekarang di Facebook kendati berulangkali mengerutkan dahi.
Saya selalu tertarik dengan dunia sekolah. Sejak kuliah, interaksi saya langsung dengan siswa sekolah lewat beberapa pelatihan jurnalistik yang digelar oleh organisasi tempat saya berkecimpung. Hingga kini pun saya tetap menjaga hubungan baik dengan sejumlah anak sekolah maupun mereka yang baru beranjak kuliah. Banyak hal menarik dari dunia anak sekolah, sebab saya pun merasakannya saat masih berseragam putih-biru dan putih-abu-abu.
Beberapa waktu belakangan saya mencermati gaya bahasa tulis pelajar sekolah. Pertama saya mencermati bahasa tulis pada pesan layanan singkat (SMS-Short Message Service). Awalnya agak sulit memahami bahasa mereka, namun kemudian saya mudah mencernanya. Saya pun mengambil sejumlah akronim yang mereka gunakan.
Kedua, saya mencermati bahasa tulis di situs jejaring sosial Facebook. Rumitnya minta ampun. Barangkali saya yang belum paham atau kesulitan memahami ‘sandi’ atau ‘konvensi istilah’ yang mereka pakai. Saat membaca deretan kalimat di status atau komentar mereka, saya selalu mengulang-ulang, mengurai singkatan, dan makna tulisan mereka. Butuh waktu agak lama untuk memahaminya.
Mari simak salah satu kalimat status Facebook berikut ini: “Mv w ud m0nk gt0w k lw, , ,w cyg m lw, w cm tag mu lw kceua krr n, , .W tw ntr 0r bcug pzt lw aqn lbic kceua krn w”. Bisakah Anda dengan cepat mencerap maknanya?
Tiap zaman punya bahasa tersendiri, baik bahasa lisan maupun tulisan. Yang mampu memahaminya dengan fasih juga anak zaman itu. Zaman saya sekolah, antara 10-15 tahun lalu, gaya bahasa tulis tak begitu menonjol. Sebab saat itu fasilitas yang mampu menghubungkan lalu lintas komunikasi personal dan komunal secara masif belum begitu banyak seperti sekarang. Paling-paling hanya telepon dan pager. Itu pun, bagi sebagian besar pelajar, masih tergolong eksklusif. Maka yang berkembang saat itu lebih kepada gaya bahasa lisan dan pemunculan istilah prokem/slank.
Beda dengan zaman sekarang. Anak sekolah kini dapat menikmati kemajuan teknologi informasi yang memungkinkan mereka berkomunikasi tak hanya mengandalkan bahasa lisan untuk berkomunikasi. Bahasa tulis sebagai alat komunikasi juga sangat efektif dipakai, misalnya pada SMS, blog, dan situs jejaring sosial semacam Facebook. Ini semua sebagai dampak kemajuan internet dan teknologi telepon seluler.
Perbedaan penggunaan bahasa tiap zamannya tidak perlu dipersoalkan. Bahkan itu sesuatu yang harus dihargai sebagai produk inovatif zaman tersebut. Selama digunakan sebagai bahasa pergaulan, tak masalah. Namun, ketika bahasa prokem digunakan atau dicampur-adukan dengan bahasa ilmiah dan baku, ini yang jadi masalah. Masalahnya lagi ketika mereka tak mampu menggunakan bahasa Indonesia baku dalam percakapan umum ataupun penulisan ilmiah sederhana, seperti menulis artikel di media massa, ujian sekolah, atau skripsi.
Dikutub lain, penggunaan bahasa dan peristilahan oleh orang-orang berpendidikan sarjana tak bagus-bagus amat. Banyak sekali yang tidak memahami istilah atau ungkapan yang mereka gunakan, terutama pencampur-adukan kalimat bahasa Indonesia dengan bahasa asing.
Masih banyak dijumpai istilah asing yang sebenarnya sudah ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia, dicampur pemakaiannya dengan kalimat bahasa Indonesia. Termasuk bahasa yang dipakai oleh birokrasi pemerintahan. Dalam bahasa tulis, selama istilah asing itu diberi garis miring, tidak masalah. Itu pun untuk penggunaaan satu-dua istilah saja yang kemudian digunakan padanan bahasa Indonesia sebenarnya.
Misalnya kata ‘schedule’ dan ‘list’. Dua kata ini adalah istilah bahasa Inggris yang jika diindonesiakan berarti ‘jadwal’ dan ‘daftar’. Namun berapa banyak wartawan, guru, karyawan, direktur, aktivis LSM, organisasi pemuda dan kemahasiswaan, serta pejabat yang ‘senang’ menggunakan istilah ini dalam bertutur dan menulis?
Misalnya: “Kita harus membuat schedule yang jelas agar kegiatan kita tidak bentrok dengan schedule rapat kantor.” Atau: “List yang bos kita buat berbeda sekali dengan list yang kita buat.”
Yang memprihatinkan yaitu pemaksaan penggunaan imbuhan yang disematkan pada istilah asing itu. Contoh: “Kita harus men-schedule ulang kedatangan mereka ke kantor ini.” Atau: “Me-list nama-namanya jangan asal-asalan ya!”
Nah contoh ini sangat memprihatinkan: “Jangan lupa di-schedule-in waktu presentasi saya!” Atau: “Kamu kalau nge-list yang benar!”
Saya menilai, fenomena penggunaan bahasa seperti ini sangat memprihatinkan. Dulu banyak yang menganggap orang-orang dan pejabat senang menyisipkan istilah asing dalam ucapan dan tulisannya agar terkesan mewah dan prestisius. Namun kini pendapat itu tak berlaku lagi. Saya menganggap, orang-orang yang demikian adalah pemalas dan bodoh.
Mereka tahu, dalam pembicaraan atau penulisan yang bersifat umum dan ilmiah, penggunaan bahasa yang baku dan lazim merujuk pada kamus bahasa. Banyak sekali kamus bahasa Indonesia beredar di toko buku, baik isinya tebal maupun tipis, baik kualitasnya asli maupun bajakan. Namun berapa banyak wartawan, guru, karyawan, direktur, aktivis LSM, organisasi pemuda dan kemahasiswaan, serta pejabat memiliki kamus bahasa Indonesia? Mereka malas membaca kamus dan membiarkan hal demikian terus berlanjut.
Saya pernah diminta menjadi juri yang menilai hasil pembuatan media (koran/majalah/tabloid) oleh peserta sebuah pelatihan jurnalistik mahasiswa di Jakarta. Mayoritas penulisan bahasanya, baik tata bahasa maupun peristilahan, kacau balau!
“Siapa di antara kalian yang memiliki kamus bahasa Indonesia?” tanya saya. Tak satu pun peserta angkat tangan. “Mana organisasi pers kampus yang punya kamus bahasa Indonesia?” Tak ada juga yang angkat tangan. Saya kecewa. Saya katakan terus terang di depan mereka bahwa hasil tulisan mereka tak ubahnya seperti anak sekolah! Harus banyak belajar bahasa!
Saat itu saya kembali teringat pada sejumlah naskah skripsi mahasiswa yang pernah saya baca. Banyak sekali kesalahan logika, penggunaan tanda baca, dan penggunaan kata keterangan. Barangkali efeknya tak begitu besar jika itu skripsi bidang sosial. Namun jika skripsi bidang kimia dan teknik, bisa-bisa alat eksperimen meledak. Bukan masalah pada ramuan kimia atau susunan kode, melainkan pada bahasa yang menjelaskan cara kerja ramuan kimia dan eksekusi kode.
Jadi tak perlulah berpanjang lebar mengenai aplikasi konsep bahasa sebagai alat pemersatu bangsa. Atau bahasa sebagai produk budaya dan identitas suatu bangsa. Mulailah pemangku kepentingan di bidang bahasa ‘bergerilya’ meluruskan pemakaian ‘bahasa Indonesia yang baik dan benar’ di sekolah, kampus, dan kantor-kantor pemerintahan. Dan biarkan saya asyik menelisik bahasa prokem anak sekolah zaman sekarang di Facebook kendati berulangkali mengerutkan dahi.
Duren Sawit, Jakarta Timur.
Kamis, 24 September 2009. 15.07 WIB.
Belajar Iqra’ dari Profesor
Alhamdulillah, suasana Idul Fitri 1430 Hijriah di Kampung Cilungup I, Duren Sawit, Jakarta Timur, berjalan meriah. Tak banyak perubahan terjadi. Usai shalat ID di Masjid Jami Nurul Yaqin yang membeludak hingga jalan raya, saya sekeluarga saling bermaafan. Usai sarapan pagi, kami menerima tamu kemudian berkeliling silaturahmi ke sejumlah rumah tetangga di sekitar gang.
Menjelang siang, pukul 10.00, saya sekeluarga menyambangi keluarga paman yang beberapa hari lalu masuk rumah sakit karena harus menjalani operasi kanker prostat dan hernia—dua operasi dalam waktu berdekatan. Kembali ke rumah menonton acara ‘Kick Andy’ dan menerima kedatangan saudara dari Bekasi.
Tentu saja ada kebahagiaan tersendiri dalam acara rutin di hari yang fitri ini. Namun kebahagiaan yang hendak saya ceritakan dalam tulisan ini adalah kebahagiaan setelah bersilaturahmi ke rumah Bu Zahara, istri (alm.) Prof. Deliar Noer.
Tadi saya menyambangi rumahnya nan asri bersama seorang teman yang dulu pernah belajar mengaji di mushala belakang rumahnya. Ishak namanya. Ishak membawa anak dan istrinya. “Kamu, Bill?” tanya Bu Zahara. “Belum punya, Bu,” jawab saya disambut tawa.
Terakhir saya bertemu dengan Bu Zahara saat tahlilan meninggalnya Prof. Deliar Noer pada akhir Juni 2008. Tadi, alhamdulillah, beliau kelihatan sehat kendati sisa stroke masih tampak. Tante Yessy (saya dan Ishak memanggilnya demikian), menantunya, juga turut menemani.
Satu cerita tentang (alm.) Prof. Deliar Noer yang tadi diungkapkan Bu Zahara baru saya dengar, yaitu salah satu kebiasaan almarhum sebelum meninggal. “Bapak orangnya nggak bisa diam. Maunya jalan terus. Dia suka ke Gramedia naik bus kota. Sendiri,” urainya.
Toko Buku Gramedia terletak di Jalan Matraman Raya. Untuk mencapainya dari rumahnya di Jalan Swadaya Raya Nomor 7-9, Duren Sawit, beliau harus berjalan kaki sekitar 50 meter ke perempatan lampu merah di seberang Apotek Swadaya. Dari sana naik bus Metromini T 52 jurusan Cakung-Kampung Melayu. Turun di terminal Kampung Melayu, menyambung mikrolet M 01 jurusan Kampung Melayu-Pasar Senen. “Kalau naik mikrolet M 31, turun di Pasar Jatinegara lalu nyambung Mikrolet M 01,” tambah Bu Zahara. Toko Gramedia berada di sebelah kiri Jalan Matraman Raya.
Mendengarnya saya terkejut. Di usianya yang terbilang senja, beliau masih mau bersusah payah mencari buku naik bus kota. Padahal, kalau mau, ia bisa minta diantarkan sopir. Atau pesan buku lewat internet. Padahal perjalanan demikian bagi kakek bercucu tiga itu terbilang jauh. Belum lagi suasana jalanan yang macet, panas, banyak debu. Saya sendiri yang rumahnya beda dua gang dari rumahnya agak malas kalau ke Gramedia naik bus kota.
Bu Zahara juga bercerita, enam bulan sebelum meninggal, beliau masih aktif mengajar di Universitas Krisnadwipayana dan Universitas Indonesia.
Begitulah. Di awal Syawal ini, ada bekal baru yang saya dapat dari cerita Bu Zahara, ibu yang sangat saya hormati saat saya jadi muridnya di pengajian mushala An-Noer, tentang (alm.) Prof. Deliar Noer. Pelajaran tentang kesederhanaan hidup, kecintaan pada ilmu yang sangat tinggi, ketegasan sikap dan disiplin tinggi, serta semangat membuat perubahan yang terus berkobar.
“Saya juga merasa beruntung, Bu, diajari Iqra’ oleh seorang profesor,” ucap saya, tulus, pada Bu Zahara.
Usai berpulangnya beliau memenuhi panggilan Allah SWT., saya membuat beberapa tulisan tentang sosok beliau, suasana pemakamannya di Karet Bivak, dan pengalaman saya berinteraksi dengannya pada 21 Juni 2008. Tulisan tersebut dimuat di blog saya: www.billyantoro.multiply.com.
Menjelang siang, pukul 10.00, saya sekeluarga menyambangi keluarga paman yang beberapa hari lalu masuk rumah sakit karena harus menjalani operasi kanker prostat dan hernia—dua operasi dalam waktu berdekatan. Kembali ke rumah menonton acara ‘Kick Andy’ dan menerima kedatangan saudara dari Bekasi.
Tentu saja ada kebahagiaan tersendiri dalam acara rutin di hari yang fitri ini. Namun kebahagiaan yang hendak saya ceritakan dalam tulisan ini adalah kebahagiaan setelah bersilaturahmi ke rumah Bu Zahara, istri (alm.) Prof. Deliar Noer.
Tadi saya menyambangi rumahnya nan asri bersama seorang teman yang dulu pernah belajar mengaji di mushala belakang rumahnya. Ishak namanya. Ishak membawa anak dan istrinya. “Kamu, Bill?” tanya Bu Zahara. “Belum punya, Bu,” jawab saya disambut tawa.
Terakhir saya bertemu dengan Bu Zahara saat tahlilan meninggalnya Prof. Deliar Noer pada akhir Juni 2008. Tadi, alhamdulillah, beliau kelihatan sehat kendati sisa stroke masih tampak. Tante Yessy (saya dan Ishak memanggilnya demikian), menantunya, juga turut menemani.
Satu cerita tentang (alm.) Prof. Deliar Noer yang tadi diungkapkan Bu Zahara baru saya dengar, yaitu salah satu kebiasaan almarhum sebelum meninggal. “Bapak orangnya nggak bisa diam. Maunya jalan terus. Dia suka ke Gramedia naik bus kota. Sendiri,” urainya.
Toko Buku Gramedia terletak di Jalan Matraman Raya. Untuk mencapainya dari rumahnya di Jalan Swadaya Raya Nomor 7-9, Duren Sawit, beliau harus berjalan kaki sekitar 50 meter ke perempatan lampu merah di seberang Apotek Swadaya. Dari sana naik bus Metromini T 52 jurusan Cakung-Kampung Melayu. Turun di terminal Kampung Melayu, menyambung mikrolet M 01 jurusan Kampung Melayu-Pasar Senen. “Kalau naik mikrolet M 31, turun di Pasar Jatinegara lalu nyambung Mikrolet M 01,” tambah Bu Zahara. Toko Gramedia berada di sebelah kiri Jalan Matraman Raya.
Mendengarnya saya terkejut. Di usianya yang terbilang senja, beliau masih mau bersusah payah mencari buku naik bus kota. Padahal, kalau mau, ia bisa minta diantarkan sopir. Atau pesan buku lewat internet. Padahal perjalanan demikian bagi kakek bercucu tiga itu terbilang jauh. Belum lagi suasana jalanan yang macet, panas, banyak debu. Saya sendiri yang rumahnya beda dua gang dari rumahnya agak malas kalau ke Gramedia naik bus kota.
Bu Zahara juga bercerita, enam bulan sebelum meninggal, beliau masih aktif mengajar di Universitas Krisnadwipayana dan Universitas Indonesia.
Begitulah. Di awal Syawal ini, ada bekal baru yang saya dapat dari cerita Bu Zahara, ibu yang sangat saya hormati saat saya jadi muridnya di pengajian mushala An-Noer, tentang (alm.) Prof. Deliar Noer. Pelajaran tentang kesederhanaan hidup, kecintaan pada ilmu yang sangat tinggi, ketegasan sikap dan disiplin tinggi, serta semangat membuat perubahan yang terus berkobar.
“Saya juga merasa beruntung, Bu, diajari Iqra’ oleh seorang profesor,” ucap saya, tulus, pada Bu Zahara.
Usai berpulangnya beliau memenuhi panggilan Allah SWT., saya membuat beberapa tulisan tentang sosok beliau, suasana pemakamannya di Karet Bivak, dan pengalaman saya berinteraksi dengannya pada 21 Juni 2008. Tulisan tersebut dimuat di blog saya: www.billyantoro.multiply.com.
Duren Sawit, 22 September 2009
Orangtua dan Kesadaran Kita
Tadi, di perempatan Jalan Kolonel Sugiono, Duren Sawit, Jakarta Timur, usai acara berbuka puasa bersama di rumah teman, saya menunggu lampu lalu lintas berwarna hijau. Seorang bocah perempuan, tampak sebagai pengamen, melintas. Tiba-tiba hati kecil saya berkata, “Bill, lihat, hidupmu lebih beruntung dari dia. Kamu beruntung punya orangtua seperti sekarang.”
Tiba di rumah, sembari istirahat, saya duduk merenung di belakang rumah. Sunyi. Ungkapan hati kecil itu muncul lagi. Lalu saya ke kamar, menggelar matras biru, mematikan lampu, berbaring, memejamkan mata. Sekadar melepas penat sembari mengumpulkan tenaga bekal shalat isya dan tarawih sendiri. Dalam gelap ingatan saya menggelinding pada pengamen cilik itu. Kemudian melompat pada kata hati kecil, “Kamu beruntung punya orangtua seperti sekarang.”
Air mata saya kemudian berlinang. Ingatan saya berlompatan; dari perilaku buruk saya pada orangtua dan pembandingan dengan orangtua si bocah cilik.
“Bill, pernahkah kamu menyadari bahwa hidupmu lebih beruntung dari bocah itu? Lihat, dia malam-malam masih mengamen mengais rezeki! Ke mana orangtuanya? Tidakkah mereka bertanggung jawab pada anak-anaknya; membiarkan anak mereka menggelandang dari satu kendaraan ke kendaraan lain berharap belas kasih orang, tak memikirkan kesehatan si anak, atau tidak memberi jaminan pendidikan yang layak.
“Lalu bagaimana dengan orangtuamu? Sekarang hidupmu terbilang nyaman, Bill. Kamu bisa hidup lebih layak dari bocah itu. Tidur nyaman. Makan terjamin. Sekolah tinggi. Dan kamu kini bisa mengusahakan kerja ditempat yang baik pula. Kamu tak perlu repot-repot menggelandang di jalanan mengumpulkan uang. Tidakkah itu membuktikan bahwa kedua orangtuamu, bapak-ibumu, telah berhasil membuatmu ‘hidup mewah’? Setidaknya hidup yang didambakan oleh pengamen, tunawisma, preman, dan gelandangan.
“Mungkin kamu tidak puas dengan kesederhanaan hidup yang diberikan bapak-ibumu. Mereka tidak memberimu kamar yang luas, rumah mewah, mobil, ruangan berpendingin udara, perabotan mewah, playstation. Atau kamu tidak mendapat sosok yang kamu inginkan pada diri mereka; saleh, teladan baik, santun, pengertian, perhatian, dermawan, memiliki jabatan tinggi, perusahaan, dan banyak warisan.
“Bahkan mungkin kamu membenci mereka. Itu tampak dari cara bicaramu yang ketus pada mereka. Mengucapkan ‘ah’ untuk merespon perilaku mereka yang tidak berkenan di hatimu. Atau kamu mengabaikan ucapan mereka karena kamu anggap tidak berbobot.
“Tapi, Bill, lihatlah! Buka matamu baik-baik! Gunakan akal sehatmu! Tidakkah kedua orangtuamu telah berhasil menjauhkanmu dari kehidupan kejam jalanan? Mereka tidak membiarkanmu menggelandang. Mereka tak membiarkanmu mencari uang di jalan agar hari ini dan besok bisa makan sejumput nasi.
“Mereka, sejak kau lahir, bekerja keras membanting tulang menguras keringat agar hidupmu layak. Mereka mengurangi bagian makanannya untukmu demi pertumbuhan tubuhmu. Mereka mendoakanmu siang-malam agar hidupmu sehat, pintar, dan mencapai keberuntungan.
“Tapi apa yang kau perbuat pada mereka, Bill? Kamu membentak mereka lantaran kecewa. Kamu mengabaikan mereka. Kamu selalu merasa benar karena pendidikanmu lebih tinggi dari mereka. Kamu tidak memberi toleransi jika mereka bersalah.
“Bill, buka kesadaranmu tinggi-tinggi! Siapa sesungguhnya yang telah membuat kedua orangtuamu menjagamu hingga kau dewasa kini? Siapa yang menanamkan kasih sayang dan tanggung jawab di hati mereka kepadamu?
“Tuhanmu, Allah! Dialah yang lewat tangan kedua orangtuamu memberimu keberuntungan hidup. Dia tidak menakdirkanmu hidup di jalan, mengais rezeki dari mengemis, dan mengumpulkan uang dari cara tak halal. Itulah nikmat yang Allah berikan padamu, Bill! Dan itu belum seberapa!
“Maka kenapa ketika Ia memintamu agar menghormati orangtuamu, menjaganya kala mereka renta, kamu tidak melakukannya? Di mana harga dirimu? Di mana nilai kemanusiaanmu? Maukah kau disamakan dengan binatang ternak yang melupakan orangtuanya setelah beranjak dewasa?
“Bill, jujurlah pada dirimu sendiri, tidakkah nikmat-nikmat Tuhanmu telah kau dustakan? ‘Fabiayyi aa laaa irabbikumaa tukadzdzibaan. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?’ Sebanyak 31 kali Ia mengingatkanmu dalam surat Ar-Rahman; ayat 13, 16, 18,21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, 77.
“Kau beruntung diberikan rumah yang melindungimu dari panas dan hujan. Tubuh sehat. Banyak teman. Sekolah tinggi. Pekerjaan layak. Kasih sayang saudara-saudara. Apalagi yang kurang sehingga segala perintah Tuhanmu tak kau indahkan?
“Maka, Bill, perlakukan kedua orangtuamu dengan baik. Kalau tidak setuju pendapat mereka, bantahlah dengan cara yang baik. Kecilkan suaramu di hadapan mereka. Hibur mereka kala sedih. Beri mereka seulas senyum tiap hari. Apakah itu memberatkanmu?
“Bill, keberatanmu terhadap kualitas mereka tak sebanding dengan pengorbanan mereka untukmu.”
Teman, inilah kesadaran yang saya miliki hari ini. Kesadaran yang barangkali sudah kalian rasakan jauh-jauh hari. Maka izinkan saya membagi cerita ini kepada teman-teman yang belum tersentuh kesadarannya, bahwa kita, anak, harus menghormati orangtua. Apapun kesulitannya.
Tiba di rumah, sembari istirahat, saya duduk merenung di belakang rumah. Sunyi. Ungkapan hati kecil itu muncul lagi. Lalu saya ke kamar, menggelar matras biru, mematikan lampu, berbaring, memejamkan mata. Sekadar melepas penat sembari mengumpulkan tenaga bekal shalat isya dan tarawih sendiri. Dalam gelap ingatan saya menggelinding pada pengamen cilik itu. Kemudian melompat pada kata hati kecil, “Kamu beruntung punya orangtua seperti sekarang.”
Air mata saya kemudian berlinang. Ingatan saya berlompatan; dari perilaku buruk saya pada orangtua dan pembandingan dengan orangtua si bocah cilik.
“Bill, pernahkah kamu menyadari bahwa hidupmu lebih beruntung dari bocah itu? Lihat, dia malam-malam masih mengamen mengais rezeki! Ke mana orangtuanya? Tidakkah mereka bertanggung jawab pada anak-anaknya; membiarkan anak mereka menggelandang dari satu kendaraan ke kendaraan lain berharap belas kasih orang, tak memikirkan kesehatan si anak, atau tidak memberi jaminan pendidikan yang layak.
“Lalu bagaimana dengan orangtuamu? Sekarang hidupmu terbilang nyaman, Bill. Kamu bisa hidup lebih layak dari bocah itu. Tidur nyaman. Makan terjamin. Sekolah tinggi. Dan kamu kini bisa mengusahakan kerja ditempat yang baik pula. Kamu tak perlu repot-repot menggelandang di jalanan mengumpulkan uang. Tidakkah itu membuktikan bahwa kedua orangtuamu, bapak-ibumu, telah berhasil membuatmu ‘hidup mewah’? Setidaknya hidup yang didambakan oleh pengamen, tunawisma, preman, dan gelandangan.
“Mungkin kamu tidak puas dengan kesederhanaan hidup yang diberikan bapak-ibumu. Mereka tidak memberimu kamar yang luas, rumah mewah, mobil, ruangan berpendingin udara, perabotan mewah, playstation. Atau kamu tidak mendapat sosok yang kamu inginkan pada diri mereka; saleh, teladan baik, santun, pengertian, perhatian, dermawan, memiliki jabatan tinggi, perusahaan, dan banyak warisan.
“Bahkan mungkin kamu membenci mereka. Itu tampak dari cara bicaramu yang ketus pada mereka. Mengucapkan ‘ah’ untuk merespon perilaku mereka yang tidak berkenan di hatimu. Atau kamu mengabaikan ucapan mereka karena kamu anggap tidak berbobot.
“Tapi, Bill, lihatlah! Buka matamu baik-baik! Gunakan akal sehatmu! Tidakkah kedua orangtuamu telah berhasil menjauhkanmu dari kehidupan kejam jalanan? Mereka tidak membiarkanmu menggelandang. Mereka tak membiarkanmu mencari uang di jalan agar hari ini dan besok bisa makan sejumput nasi.
“Mereka, sejak kau lahir, bekerja keras membanting tulang menguras keringat agar hidupmu layak. Mereka mengurangi bagian makanannya untukmu demi pertumbuhan tubuhmu. Mereka mendoakanmu siang-malam agar hidupmu sehat, pintar, dan mencapai keberuntungan.
“Tapi apa yang kau perbuat pada mereka, Bill? Kamu membentak mereka lantaran kecewa. Kamu mengabaikan mereka. Kamu selalu merasa benar karena pendidikanmu lebih tinggi dari mereka. Kamu tidak memberi toleransi jika mereka bersalah.
“Bill, buka kesadaranmu tinggi-tinggi! Siapa sesungguhnya yang telah membuat kedua orangtuamu menjagamu hingga kau dewasa kini? Siapa yang menanamkan kasih sayang dan tanggung jawab di hati mereka kepadamu?
“Tuhanmu, Allah! Dialah yang lewat tangan kedua orangtuamu memberimu keberuntungan hidup. Dia tidak menakdirkanmu hidup di jalan, mengais rezeki dari mengemis, dan mengumpulkan uang dari cara tak halal. Itulah nikmat yang Allah berikan padamu, Bill! Dan itu belum seberapa!
“Maka kenapa ketika Ia memintamu agar menghormati orangtuamu, menjaganya kala mereka renta, kamu tidak melakukannya? Di mana harga dirimu? Di mana nilai kemanusiaanmu? Maukah kau disamakan dengan binatang ternak yang melupakan orangtuanya setelah beranjak dewasa?
“Bill, jujurlah pada dirimu sendiri, tidakkah nikmat-nikmat Tuhanmu telah kau dustakan? ‘Fabiayyi aa laaa irabbikumaa tukadzdzibaan. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?’ Sebanyak 31 kali Ia mengingatkanmu dalam surat Ar-Rahman; ayat 13, 16, 18,21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, 77.
“Kau beruntung diberikan rumah yang melindungimu dari panas dan hujan. Tubuh sehat. Banyak teman. Sekolah tinggi. Pekerjaan layak. Kasih sayang saudara-saudara. Apalagi yang kurang sehingga segala perintah Tuhanmu tak kau indahkan?
“Maka, Bill, perlakukan kedua orangtuamu dengan baik. Kalau tidak setuju pendapat mereka, bantahlah dengan cara yang baik. Kecilkan suaramu di hadapan mereka. Hibur mereka kala sedih. Beri mereka seulas senyum tiap hari. Apakah itu memberatkanmu?
“Bill, keberatanmu terhadap kualitas mereka tak sebanding dengan pengorbanan mereka untukmu.”
Teman, inilah kesadaran yang saya miliki hari ini. Kesadaran yang barangkali sudah kalian rasakan jauh-jauh hari. Maka izinkan saya membagi cerita ini kepada teman-teman yang belum tersentuh kesadarannya, bahwa kita, anak, harus menghormati orangtua. Apapun kesulitannya.
Cilungup, Duren Sawit, Jakarta Timur.
Sabtu, 05 September 2009. 22.21 WIB.
Sabtu, 05 September 2009. 22.21 WIB.
Memori Tentang Sawah
Jika ada alat yang mampu mentransfer memori otak ke dalam bentuk potongan (slide) gambar, maka saya bisa memperlihatkan keindahan sawah tempat dulu saya bermain pada Anda. Sawah di mana lumpur-lumpurnya tiap hari membuat kaki dan tangan saya busik. Atau rawa dekat sawah yang ilalangnya tinggi. Atau dua empang dekat masjid yang dilengkapi jamban. Atau dua empang dekat rawa yang dikelilingi pohon bambu, jalan tanah yang landai, dan didekatnya terdapat tanah lapang di mana kami, anak-anak Kampung Cilungup, biasa bermain layang-layang, sepak bola, dan kejar-kejaran.
Kami memang agak takut mendekati kober di belakang Masjid Al-Kusuf. Di sana, entah kenapa, tidak menarik perhatian saya dan teman-teman lantaran ilalang dan pohon-pohon jambu mente yang tinggi sulit dipanjat. Batu-batu nisan dan gundukan tanah tak membuat hati kami nyaman jika berada di dekatnya.
Jika sawah dijadikan pusat arah, maka di sebelah timur dan utaranya adalah Kompleks IKIP. Di bagian baratnya Masjid Al-Kusuf, dan di bagian selatannya sekolah. Rumah saya berada di sebelah barat menyerong ke utara, sekitar 150 meter jaraknya.
Jika tidak lewat Kompleks IKIP, saya pergi ke sekolah lewat sawah. Terutama saat musim panas. Sebab jalan sawah merupakan jalan terpendek mencapai sekolah kendati, tentu saja, mentari terik menyengat kulit. Saya bersekolah di tiga jenjang yang lokasinya berdekatan; TK Permata Bunda, SD Negeri Duren Sawit 05 Pagi, dan SMP Negeri 194.
Jika musim panen tiba, akan tampak puluhan atau ratusan burung pipit berlompatan di antara bulir-bulir padi yang menguning. Dari dangau, petani yang menjaga stabilitas sawah menggoyang-goyang tali plastik yang terhubung dengan orang-orangan sawah. Terkadang pula terlihat burung bangau datang mampir mencari ikan.
Jika mentari mulai condong ke barat, orang-orang membawa pancing dan melempar kail ke tengah sawah. Jika padi sudah dipanen dan dibersihkan dari petak sawah, para pemancing itu membawa cengkaling—semacam racun ikan berbentuk bulat putih—dan mulai menangkap ikan dengan agresif. Saya sebagai bocah yang tidak punya investasi membeli cengkaling hanya menonton di pematang dan berani mengambil ikan mabuk jika orang-orang sudah beranjak pergi.
Sore hari, akan tampak murid-murid pengajian berjalan kaki menuju Masjid Al-Kusuf. Mereka membawa buku tulis, pena, mushaf Al-Qur’an, dan fotokopian diktat pelajaran. Azan ashar menggema (nyaring sekali jika didengar dari tengah sawah), shalat jamaah dijalankan, kemudian suasana pengajian yang ramai mulai terdengar. Saya pun pernah mengaji di sana.
Jika keinginan menangkap ikan tak terbendung, saya mencari ikan di got atau selokan yang banyak terdapat di sekitar Kompleks IKIP. Masih ada rawa kecil berupa lokasi tanah terabaikan yang diapit dua-tiga rumah. Saya masih ingat, suatu hari, bersama adik perempuan saya, saya berhasil menangkap dua ikan gabus besar di selokan itu. Modalnya cuma kecerdikan; membuat bendungan kecil untuk mempersempit gerak ikan, lalu mengobak-obak (mengaduk-aduk) air dengan harapan ikan terombang-ambing, kecapekan, lalu mabuk/pingsan sehingga dengan mudah kami tangkap. Saya tak punya cukup uang untuk membeli cengkaling.
Itu kenangan sekitar 20 tahun lalu. Tadi pagi saya mencoba merekonstruksi kenangan itu dengan mendatangi lokasi sawah. Sambil menunggu siswa-siswi PAUD Nusa Indah datang, saya mengajak Fajar, salah satu murid saya, menyambangi tempat itu. Saya ceritakan padanya tentang pengalaman saya masa kecil; tentang tanah dataran tinggi berumput yang dari sana dapat memandang hamparan sawah namun kini ditempati rumah mewah bertingkat dua; tentang pepadian dan kerbau, orang-orangan sawah dan burung-burung yang kini berubah menjadi hamparan pohon pisang, pohon kapuk, ilalang, got kotor, dan dominasi sampah!
“Kamu tidak beruntung, Jar. Bapak dulu senang main di sawah sini,” kata saya. “Bapak dulu sering pergi ke sekolah lewat jalan ini.”
Tapi kini semua telah berubah drastis. Tak ada jejak sawah kecuali beberapa petak kangkung liar di dalam genangan air hitam. Jalan semen membelah bekas sawah, menghubungkan Kompleks IKIP sisi timur, Kompleks IKIP sisi Utara, dan kawasan dekat masjid. Beberapa papan kepemilikan tanah berdiri angkuh. Dua empang telah diduduki bengkel mebel yang luas, yang membentang menutupi kober dan masjid. Rumah-rumah kumuh, kalau mau dibilang demikian, menempati sisi selatan sawah. Bangunan berdinding beton tak beratap berdiri begitu saja terlantar, habis dicoreti entah siapa. Mungkin terbit pertanyaan, kenapa sebagian areal bekas sawah tidak terurus?
Saat akan kembali ke lokasi PAUD bersama Fajar, saya bertemu Bang Maksum—panggilan orang-orang kepadanya memang demikian. Ia sedang berhenti di pinggir jalan. Usianya barangkali akhir 60-an atau 70-an lebih. Dengan gerobak bututnya ia mencari sampah-sampah layak pakai.
Saya ingat sekali, saat masih kecil saya sering melihatnya menggarap sawah. Ia tergolong pekerja keras. Tak hanya padi yang ia tanam. Tanaman lain seperti cabai dan pohon pisang juga ditanaminya. Kalau tidak salah ingat, ia juga meletakkan kandang ayam di pinggir sawah. Dan ia masih ingat wajah saya.
Saya bertanya padanya apa yang membuat sawah-sawah menjadi seperti itu. Katanya, sebab tak ada lagi yang mengurusnya. “Bagaimana dengan pemilik sawah?” tanya saya. Dia tidak tahu. Bahkan ia tak pernah bertemu pemilik tanah yang digarapnya sejak tahun 1982 hingga sekarang. Sawah diabaikan lantaran serangan tikus sehingga petani tak lagi punya harapan memanen padi. Sawah lambat laun dibiarkan terlantar. Sejumlah pemilik lahan yang masih ingat punya tanah di sana menjualnya kepada yang berminat. Saya sangat trenyuh mendengarnya.
Dari percakapan itu saya menyimpulkan, sebenarnya sawah akan tetap ada jika pemiliknya memberi perhatian.
Saya yakin sekali, penyebab utama terlantarnya sawah, selain perhatian yang kurang dari pemilik lahan, adalah populasi penduduk yang meningkat di sekitar sawah. Sebenarnya mereka pendatang, bukan orang asli kampung yang mayoritas Betawi atau penduduk Kompeks IKIP.
Sejak kehadiran kantor camat Duren Sawit di belakang masjid, di mana sejumlah kuburan dipindahkan, Kampung Cilungup cepat berubah. Dan saya masih ingat, di atas bangunan kantor camat itu adalah lapangan luas tempat saya bermain layang-layang dan menonton kompetisi sepak bola antarkampung.
Jika masih ada sawah, saya akan ajak murid-murid berkeliling sawah. Mengajari mereka menangkap ikan, kepiting, bergelut dengan lumpur, dan memancing. Tapi sawah sekitar satu hektar itu tak ada lagi. Dan biarlah memori tentang sawah tetap mengendap di otak saya. Selamanya.
Kami memang agak takut mendekati kober di belakang Masjid Al-Kusuf. Di sana, entah kenapa, tidak menarik perhatian saya dan teman-teman lantaran ilalang dan pohon-pohon jambu mente yang tinggi sulit dipanjat. Batu-batu nisan dan gundukan tanah tak membuat hati kami nyaman jika berada di dekatnya.
Jika sawah dijadikan pusat arah, maka di sebelah timur dan utaranya adalah Kompleks IKIP. Di bagian baratnya Masjid Al-Kusuf, dan di bagian selatannya sekolah. Rumah saya berada di sebelah barat menyerong ke utara, sekitar 150 meter jaraknya.
Jika tidak lewat Kompleks IKIP, saya pergi ke sekolah lewat sawah. Terutama saat musim panas. Sebab jalan sawah merupakan jalan terpendek mencapai sekolah kendati, tentu saja, mentari terik menyengat kulit. Saya bersekolah di tiga jenjang yang lokasinya berdekatan; TK Permata Bunda, SD Negeri Duren Sawit 05 Pagi, dan SMP Negeri 194.
Jika musim panen tiba, akan tampak puluhan atau ratusan burung pipit berlompatan di antara bulir-bulir padi yang menguning. Dari dangau, petani yang menjaga stabilitas sawah menggoyang-goyang tali plastik yang terhubung dengan orang-orangan sawah. Terkadang pula terlihat burung bangau datang mampir mencari ikan.
Jika mentari mulai condong ke barat, orang-orang membawa pancing dan melempar kail ke tengah sawah. Jika padi sudah dipanen dan dibersihkan dari petak sawah, para pemancing itu membawa cengkaling—semacam racun ikan berbentuk bulat putih—dan mulai menangkap ikan dengan agresif. Saya sebagai bocah yang tidak punya investasi membeli cengkaling hanya menonton di pematang dan berani mengambil ikan mabuk jika orang-orang sudah beranjak pergi.
Sore hari, akan tampak murid-murid pengajian berjalan kaki menuju Masjid Al-Kusuf. Mereka membawa buku tulis, pena, mushaf Al-Qur’an, dan fotokopian diktat pelajaran. Azan ashar menggema (nyaring sekali jika didengar dari tengah sawah), shalat jamaah dijalankan, kemudian suasana pengajian yang ramai mulai terdengar. Saya pun pernah mengaji di sana.
Jika keinginan menangkap ikan tak terbendung, saya mencari ikan di got atau selokan yang banyak terdapat di sekitar Kompleks IKIP. Masih ada rawa kecil berupa lokasi tanah terabaikan yang diapit dua-tiga rumah. Saya masih ingat, suatu hari, bersama adik perempuan saya, saya berhasil menangkap dua ikan gabus besar di selokan itu. Modalnya cuma kecerdikan; membuat bendungan kecil untuk mempersempit gerak ikan, lalu mengobak-obak (mengaduk-aduk) air dengan harapan ikan terombang-ambing, kecapekan, lalu mabuk/pingsan sehingga dengan mudah kami tangkap. Saya tak punya cukup uang untuk membeli cengkaling.
Itu kenangan sekitar 20 tahun lalu. Tadi pagi saya mencoba merekonstruksi kenangan itu dengan mendatangi lokasi sawah. Sambil menunggu siswa-siswi PAUD Nusa Indah datang, saya mengajak Fajar, salah satu murid saya, menyambangi tempat itu. Saya ceritakan padanya tentang pengalaman saya masa kecil; tentang tanah dataran tinggi berumput yang dari sana dapat memandang hamparan sawah namun kini ditempati rumah mewah bertingkat dua; tentang pepadian dan kerbau, orang-orangan sawah dan burung-burung yang kini berubah menjadi hamparan pohon pisang, pohon kapuk, ilalang, got kotor, dan dominasi sampah!
“Kamu tidak beruntung, Jar. Bapak dulu senang main di sawah sini,” kata saya. “Bapak dulu sering pergi ke sekolah lewat jalan ini.”
Tapi kini semua telah berubah drastis. Tak ada jejak sawah kecuali beberapa petak kangkung liar di dalam genangan air hitam. Jalan semen membelah bekas sawah, menghubungkan Kompleks IKIP sisi timur, Kompleks IKIP sisi Utara, dan kawasan dekat masjid. Beberapa papan kepemilikan tanah berdiri angkuh. Dua empang telah diduduki bengkel mebel yang luas, yang membentang menutupi kober dan masjid. Rumah-rumah kumuh, kalau mau dibilang demikian, menempati sisi selatan sawah. Bangunan berdinding beton tak beratap berdiri begitu saja terlantar, habis dicoreti entah siapa. Mungkin terbit pertanyaan, kenapa sebagian areal bekas sawah tidak terurus?
Saat akan kembali ke lokasi PAUD bersama Fajar, saya bertemu Bang Maksum—panggilan orang-orang kepadanya memang demikian. Ia sedang berhenti di pinggir jalan. Usianya barangkali akhir 60-an atau 70-an lebih. Dengan gerobak bututnya ia mencari sampah-sampah layak pakai.
Saya ingat sekali, saat masih kecil saya sering melihatnya menggarap sawah. Ia tergolong pekerja keras. Tak hanya padi yang ia tanam. Tanaman lain seperti cabai dan pohon pisang juga ditanaminya. Kalau tidak salah ingat, ia juga meletakkan kandang ayam di pinggir sawah. Dan ia masih ingat wajah saya.
Saya bertanya padanya apa yang membuat sawah-sawah menjadi seperti itu. Katanya, sebab tak ada lagi yang mengurusnya. “Bagaimana dengan pemilik sawah?” tanya saya. Dia tidak tahu. Bahkan ia tak pernah bertemu pemilik tanah yang digarapnya sejak tahun 1982 hingga sekarang. Sawah diabaikan lantaran serangan tikus sehingga petani tak lagi punya harapan memanen padi. Sawah lambat laun dibiarkan terlantar. Sejumlah pemilik lahan yang masih ingat punya tanah di sana menjualnya kepada yang berminat. Saya sangat trenyuh mendengarnya.
Dari percakapan itu saya menyimpulkan, sebenarnya sawah akan tetap ada jika pemiliknya memberi perhatian.
Saya yakin sekali, penyebab utama terlantarnya sawah, selain perhatian yang kurang dari pemilik lahan, adalah populasi penduduk yang meningkat di sekitar sawah. Sebenarnya mereka pendatang, bukan orang asli kampung yang mayoritas Betawi atau penduduk Kompeks IKIP.
Sejak kehadiran kantor camat Duren Sawit di belakang masjid, di mana sejumlah kuburan dipindahkan, Kampung Cilungup cepat berubah. Dan saya masih ingat, di atas bangunan kantor camat itu adalah lapangan luas tempat saya bermain layang-layang dan menonton kompetisi sepak bola antarkampung.
Jika masih ada sawah, saya akan ajak murid-murid berkeliling sawah. Mengajari mereka menangkap ikan, kepiting, bergelut dengan lumpur, dan memancing. Tapi sawah sekitar satu hektar itu tak ada lagi. Dan biarlah memori tentang sawah tetap mengendap di otak saya. Selamanya.
Kampung Cilungup, Duren Sawit.
Sabtu 5 September 2009. 15.06 WIB.
Sabtu 5 September 2009. 15.06 WIB.
Ibu
Wahai…anakku tersayang
Dengarkanlah pesan ibu
Mungkin ini saat terakhir ibu
Bisa memelukmu
Bisa menyentuhmu
Sholeh...lah dirimu
Slalu do’akan kedua orangtuamu
Tulus engkau dalam fikir dan laku
Agar arif dirimu
Agar mulya jiwamu
Anakku...
Air mata saya berderai saat kali pertama mendengar lagu ini. Lagu yang membuat saya menanyakan kembali keberadaan sosok ibu di hati saya. Ibu yang selama ini merawat dan membesarkan saya dengan segala kasih sayang dan omelannya. Ibu yang mengipasi saya saat saya terbaring lemah menahan sakit. Ibu yang kapanpun bersedia mendengar keluh kesah saya. Ibu yang memijiti tubuh saya kala badan ini pegal dan lemah. Ibu yang mengeroki saya waktu tubuh masuk angin. Ibu yang memarahi saya ketika saya tidak melakukan tugas. Ibu yang...oh ibu, engkau begitu hebat membesarkanku!
Lagu ini berjudul ‘Pesan Ibu’ ciptaan Fani dan Iwan, dinyanyikan oleh Yekti. Masuk dalam kompilasi video CD Lagu-Lagu Anak Akhlak Qurani yang dikeluarkan oleh PT. Edukasi Setara Dunia. Saya mendapatkannya saat acara Pameran Pendidikan di Aula Gedung A Departemen Pendidikan Nasional, Senayan, Jakarta, pertengahan Agustus lampau. Empat CD lain yang saya beli juga berkaitan dengan doa dan pelajaran bahasa Inggris untuk anak-anak yang dikemas dalam bentuk lagu dan film animasi.
Pagi ini, usai mengantar adik berangkat kerja, tiba-tiba hati saya rindu untuk mendengarkan lagu ini kembali. Dan saya menyetelnya lagi. Sendiri.
Lagu Pesan Ibu dibuat dua versi. Versi pertama berupa lagu dan animasi yang menampilkan seorang siswi SD duduk di sebuah bangku taman. Airmatanya bercucuran. Tampilan gambar dibagi dua; sebelah kanan sang siswi, sebelah kiri teks tertulis lagu ini.
Versi kedua lebih lengkap. Punya cerita. Sang siswi tiba-tiba merasakan betapa sulitnya menjadi ibu. Sosok yang begitu repot mengurus dan membesarkannya, serta mengorbankan apapun yang dimilikinya demi kebaikan anaknya.
Siswi berjalan dan sepanjang jalan menyesali perbuatannya. Ia duduk di bangku taman. Merenungi kesalahannya. Airmatanya berlinang. Lagu mengalun syahdu.
Sang ibu datang dengan khawatir. Telah sekian lama ia mencari anaknya. Sang anak, masih dengan airmata menganak-sungai, segera menghambur lalu memeluk ibunya. Ibu minta maaf karena tidak bisa membelikan kostum dan ia akan menjual mesin jahitnya. Anak menolaknya. Ia tidak ingin mesin jahit itu dijual. Ia minta maaf lantaran memaksa ibunya untuk membelikan pakaian baru. Sang ibu berkeras. Si anak berucap biarlah ia memakai baju kakaknya yang masih tampak baru. Keduanya meninggalkan taman. Begitu mengharukan.
Lagu ini ditutup dengan mengutip ayat Al-Qur’an yang berisi doa anak kepada kedua orangtuanya.
Di antara mukjizat yang dianugerahkan Allah SWT kepada manusia adalah kasih sayang tulus ke hati seorang ibu. Disemayamkannya rasa tersebut ke dalam hati, yang bisa dirunut mulai dari proses mengandung, bersalin, dan membesarkan anak. Sembilan bulan ibu kepayahan. Tidak nyaman lantaran perubahan hormon tubuhnya; mual-mual, muntah, ngidam. Tidur tak nyaman. Makan tak nyaman. Apa-apa tak nyaman.
Setelah anak besar, belum tentu sang anak mengingat apa yang telah dilakukan ibunya. Mereka membantahnya, melukai hatinya, menelantarkannya. Seakan anak tidak peduli darah dan daging yang menyusun tubuhnya terbentuk dari kasih sayang seorang ibu. Otak, kaki, tangan serta seluruh panca indra yang menjadikannya manusia, merupakan rangka-rangka doa yang terpanjat sepanjang masa. Pakaian, celana, dan asesorisnya, merupakan perasan keringat dan sabungan nyawa. Anak lupa, kampung halamannya adalah rahim ibunya.
Maka jangan biarkan ibumu sedih karena tutur katamu. Jangan biarkan ia menangis lantaran kecewa pada perilakumu. Jangan biarkan ia gelisah sebab kamu tak berada dalam jangkauan matanya. Kalau demikian, usaplah airmatanya. Ciumlah punggung tangannya. Lalu ulaskan senyum termanis di hadapannya.
Dengarkanlah pesan ibu
Mungkin ini saat terakhir ibu
Bisa memelukmu
Bisa menyentuhmu
Sholeh...lah dirimu
Slalu do’akan kedua orangtuamu
Tulus engkau dalam fikir dan laku
Agar arif dirimu
Agar mulya jiwamu
Anakku...
Air mata saya berderai saat kali pertama mendengar lagu ini. Lagu yang membuat saya menanyakan kembali keberadaan sosok ibu di hati saya. Ibu yang selama ini merawat dan membesarkan saya dengan segala kasih sayang dan omelannya. Ibu yang mengipasi saya saat saya terbaring lemah menahan sakit. Ibu yang kapanpun bersedia mendengar keluh kesah saya. Ibu yang memijiti tubuh saya kala badan ini pegal dan lemah. Ibu yang mengeroki saya waktu tubuh masuk angin. Ibu yang memarahi saya ketika saya tidak melakukan tugas. Ibu yang...oh ibu, engkau begitu hebat membesarkanku!
Lagu ini berjudul ‘Pesan Ibu’ ciptaan Fani dan Iwan, dinyanyikan oleh Yekti. Masuk dalam kompilasi video CD Lagu-Lagu Anak Akhlak Qurani yang dikeluarkan oleh PT. Edukasi Setara Dunia. Saya mendapatkannya saat acara Pameran Pendidikan di Aula Gedung A Departemen Pendidikan Nasional, Senayan, Jakarta, pertengahan Agustus lampau. Empat CD lain yang saya beli juga berkaitan dengan doa dan pelajaran bahasa Inggris untuk anak-anak yang dikemas dalam bentuk lagu dan film animasi.
Pagi ini, usai mengantar adik berangkat kerja, tiba-tiba hati saya rindu untuk mendengarkan lagu ini kembali. Dan saya menyetelnya lagi. Sendiri.
Lagu Pesan Ibu dibuat dua versi. Versi pertama berupa lagu dan animasi yang menampilkan seorang siswi SD duduk di sebuah bangku taman. Airmatanya bercucuran. Tampilan gambar dibagi dua; sebelah kanan sang siswi, sebelah kiri teks tertulis lagu ini.
Versi kedua lebih lengkap. Punya cerita. Sang siswi tiba-tiba merasakan betapa sulitnya menjadi ibu. Sosok yang begitu repot mengurus dan membesarkannya, serta mengorbankan apapun yang dimilikinya demi kebaikan anaknya.
Siswi berjalan dan sepanjang jalan menyesali perbuatannya. Ia duduk di bangku taman. Merenungi kesalahannya. Airmatanya berlinang. Lagu mengalun syahdu.
Sang ibu datang dengan khawatir. Telah sekian lama ia mencari anaknya. Sang anak, masih dengan airmata menganak-sungai, segera menghambur lalu memeluk ibunya. Ibu minta maaf karena tidak bisa membelikan kostum dan ia akan menjual mesin jahitnya. Anak menolaknya. Ia tidak ingin mesin jahit itu dijual. Ia minta maaf lantaran memaksa ibunya untuk membelikan pakaian baru. Sang ibu berkeras. Si anak berucap biarlah ia memakai baju kakaknya yang masih tampak baru. Keduanya meninggalkan taman. Begitu mengharukan.
Lagu ini ditutup dengan mengutip ayat Al-Qur’an yang berisi doa anak kepada kedua orangtuanya.
Di antara mukjizat yang dianugerahkan Allah SWT kepada manusia adalah kasih sayang tulus ke hati seorang ibu. Disemayamkannya rasa tersebut ke dalam hati, yang bisa dirunut mulai dari proses mengandung, bersalin, dan membesarkan anak. Sembilan bulan ibu kepayahan. Tidak nyaman lantaran perubahan hormon tubuhnya; mual-mual, muntah, ngidam. Tidur tak nyaman. Makan tak nyaman. Apa-apa tak nyaman.
Setelah anak besar, belum tentu sang anak mengingat apa yang telah dilakukan ibunya. Mereka membantahnya, melukai hatinya, menelantarkannya. Seakan anak tidak peduli darah dan daging yang menyusun tubuhnya terbentuk dari kasih sayang seorang ibu. Otak, kaki, tangan serta seluruh panca indra yang menjadikannya manusia, merupakan rangka-rangka doa yang terpanjat sepanjang masa. Pakaian, celana, dan asesorisnya, merupakan perasan keringat dan sabungan nyawa. Anak lupa, kampung halamannya adalah rahim ibunya.
Maka jangan biarkan ibumu sedih karena tutur katamu. Jangan biarkan ia menangis lantaran kecewa pada perilakumu. Jangan biarkan ia gelisah sebab kamu tak berada dalam jangkauan matanya. Kalau demikian, usaplah airmatanya. Ciumlah punggung tangannya. Lalu ulaskan senyum termanis di hadapannya.
Duren Sawit, Jakarta Timur.
3 September 2009. 08.35 WIB.
Tren Jilbab
Di SMA Negeri 2 Banjarmasin, Kalimantan Selatan, saya tertegun. Ada satu hal unik yang tidak saya temui di Jakarta: banyak siswi berjilbab mengeluarkan rambut depannya dan disisir rapi; diponi, disisir samping. Apakah ini tren baru di kalangan pelajar? Tapi saya tidak menemukannya di Jakarta. Juga di Bukittinggi. Jadi tren saja di Banjarmasin. Di SMAN 2 Banjarmasin.
Mungkin itu bagian dari ekspresi. Sama halnya dengan penggunaan jilbab lain: jilbab gaul, jilbab pentol korek, jilbab seksi. Tapi, orang yang mengerti sepakat, jilbab bukan sekadar alat penutup kepala. Ia padu padan dengan pakaiannya; tidak menonjolkan lekuk tubuh.
Saya jadi ingat peristiwa sepanjang tahun 80-an—dari buku yang saya baca. Pemerintah menerbitkan peraturan yang melarang penggunaan jilbab bagi siswa sekolah negeri: Surat Keputusan Nomor 052/C/Kep/D/82. Demontrasi protes menggelombang. Siswi-siswi nekad dikeluarkan pihak sekolah. Ada yang membawa kasus ke pengadilan. Mahasiswa ikut protes. Masyarakat bersimpati. Pemerintah terdesak. Muncul SK 100/C/Kep/D/1991. Siswi bebas berjilbab. Sebuah perjuangan panjang.
Tapi kebanyakan pelajar, remaja, dan orangtua sekarang tak tahu soal itu. Kalaupun tahu sebatas sejarah saja. Kemerdekaan yang harus dinikmati.
Dan kini semua orang bebas berekspresi. Asal tidak melanggar ketertiban umum, bebas-bebas saja; bebas joget, bebas mabuk, bebas pacaran, bebas obat-obatan, seks bebas. Bebas asal tidak ketahuan. Kadang menjadi dilema bagi penegakan norma.
Pemakaian jilbab wajib hukumnya. Ada di Al-qur’an dan Hadits. Tapi tak rinci soal detail berjilbab. Makanya tiap wilayah/negara punya budaya sendiri soal alat penutup aurat.
Anak-anak juga punya tren berjilbab. Sebenarnya ini hanya kreasi desainer saja: jilbab bertelinga kelinci, kucing, dan beberapa binatang lain. Dipadu dengan wajah lugu anak-anak, pemakaian jilbab ini tampak lucu dan menyenangkan.
Apa rambut perempuan termasuk aurat? Mungkin itu tidak lagi penting kalau memperlakukan jilbab sebagai tren. Tidak mengaitkannya dengan fungsi berjilbab: turut memperbaiki akhlak. Mungkin nanti, atas nama tren, rambut hitam mereka yang menyembul di bagian depan jilbab, menjadi warna-warni; merah, kuning, hijau, biru, ungu, kombinasi. Atau jilbab tak lagi berwarna polos, melainkan bercorak binatang dinosaurus, tengkorak, dan hal-hal mengerikan lain.
Duren Sawit, 31 Agustus 2009. 23.30 WIB.
Mungkin itu bagian dari ekspresi. Sama halnya dengan penggunaan jilbab lain: jilbab gaul, jilbab pentol korek, jilbab seksi. Tapi, orang yang mengerti sepakat, jilbab bukan sekadar alat penutup kepala. Ia padu padan dengan pakaiannya; tidak menonjolkan lekuk tubuh.
Saya jadi ingat peristiwa sepanjang tahun 80-an—dari buku yang saya baca. Pemerintah menerbitkan peraturan yang melarang penggunaan jilbab bagi siswa sekolah negeri: Surat Keputusan Nomor 052/C/Kep/D/82. Demontrasi protes menggelombang. Siswi-siswi nekad dikeluarkan pihak sekolah. Ada yang membawa kasus ke pengadilan. Mahasiswa ikut protes. Masyarakat bersimpati. Pemerintah terdesak. Muncul SK 100/C/Kep/D/1991. Siswi bebas berjilbab. Sebuah perjuangan panjang.
Tapi kebanyakan pelajar, remaja, dan orangtua sekarang tak tahu soal itu. Kalaupun tahu sebatas sejarah saja. Kemerdekaan yang harus dinikmati.
Dan kini semua orang bebas berekspresi. Asal tidak melanggar ketertiban umum, bebas-bebas saja; bebas joget, bebas mabuk, bebas pacaran, bebas obat-obatan, seks bebas. Bebas asal tidak ketahuan. Kadang menjadi dilema bagi penegakan norma.
Pemakaian jilbab wajib hukumnya. Ada di Al-qur’an dan Hadits. Tapi tak rinci soal detail berjilbab. Makanya tiap wilayah/negara punya budaya sendiri soal alat penutup aurat.
Anak-anak juga punya tren berjilbab. Sebenarnya ini hanya kreasi desainer saja: jilbab bertelinga kelinci, kucing, dan beberapa binatang lain. Dipadu dengan wajah lugu anak-anak, pemakaian jilbab ini tampak lucu dan menyenangkan.
Apa rambut perempuan termasuk aurat? Mungkin itu tidak lagi penting kalau memperlakukan jilbab sebagai tren. Tidak mengaitkannya dengan fungsi berjilbab: turut memperbaiki akhlak. Mungkin nanti, atas nama tren, rambut hitam mereka yang menyembul di bagian depan jilbab, menjadi warna-warni; merah, kuning, hijau, biru, ungu, kombinasi. Atau jilbab tak lagi berwarna polos, melainkan bercorak binatang dinosaurus, tengkorak, dan hal-hal mengerikan lain.
Duren Sawit, 31 Agustus 2009. 23.30 WIB.
Rabu, 18 Mei 2011
Bocah
Mereka berisik, gaduh, seolah itu tempat bermain yang mengasyikkan. Kadang berlarian mengejar teman. Kadang mencandai kawan di kanan-kirinya. Kadang berteriak “amin” sekerasnya mendahului jamaah lain.
Mereka bersarung. Mereka berpeci. Mereka bocah-bocah di dalam masjid. Masjid Jami Nurul Yaqin di Kampung Cilungup I Duren Sawit Jakarta Timur. Saat kali pertama shalat tarawih, jumlah mereka hampir menyamai jamaah orang dewasa. Dua-tiga hari dan seterusnya menyusut menyamai jumlah orang dewasa hingga setengahnya.
Kadang di antara wajah-wajah lugu itu saya menemukan murid saya. Dan tadi seorang murid yang wajahnya saya lupa karena sudah lama tak bersua bertanya dengan ragu, “Bapak guru PAUD ya?” Bocah itu saya dekati lantaran kakak perempuannya akan menyuapinya sebuah jajanan. Ia menolak disuapi demi menanyakan hal itu. “Iya. Kamu....” Saya berusaha mengingat-ingat bocah berpeci dan bersarung tak sempurna itu. Sambil membelai kepalanya dan mengulas senyum.
Saya selalu ingat perkataan imam masjid setahun lalu tentang bocah-bocah. “Biar saja mereka datang. Tidak apa berisik. Dan jangan diusir!” Ia berkata seakan membela mereka dari perilaku beberapa jamaah yang tak segan-segan mengusir mereka lantaran berisik.
Saya yakin bocah-bocah datang atas inisiatif sendiri. Tanpa paksaan orangtua. Sebab, bisa jadi, ketika mereka di masjid, orangtua mereka sedang asyik-masyuk menonton televisi di rumah. Atau nongkrong di jalan. Kendati motivasinya tidak untuk shalat, melainkan bermain saja. Atau sekadar berkumpul dengan teman. Ya, mereka menjadikan masjid sebagai tempat berkumpul dan bercanda.
Biar begitu mereka tak berhak diusir. Sebab, keberadaan mereka lebih baik di masjid ketimbang di depan televisi: menonton sinetron atau melihat orang dewasa bernyanyi. Lebih baik di masjid ketimbang ikut nongkrong di jalan bersama sejumlah remaja. Lebih baik di masjid daripada main petasan. Lebih baik di masjid daripada di rental playstation.
Di masjid awalnya mereka melakukan gerakan-gerakan shalat. Takbir. I’tidal. Sujud. Teriak ‘Amin’. Mereka belajar bagaimana shalat. Melihat orang khusyuk. Memerhatikan makmum mengikuti gerakan imam. Melihat jamaah diam mendengar imam membaca surat. Mereka, secara otodidak, belajar gerakan-gerakan shalat. Sebab mungkin orangtua mereka lupa mengajarkan bagaimana gerakan shalat. Mereka datang untuk belajar. Sambil bermain. Itu yang sebenarnya.
Keberadaan bocah-bocah mengungkit kesadaran: perhatikan kami, anak-anakmu, bagaimana bersikap baik kepada Tuhan. Sebab mereka telah banyak belajar bagaimana mendustai orangtua dan melukai teman lewat televisi. Belajar bagaimana bersikap munafik dan jahat dari orang-orang dewasa di sekelilingnya. Belajar menafikan keberadaan Tuhan lewat perilaku buruk orang-orang tua.
Biarkan mereka bercanda. Gaduh. Lalu perlahan ajak mereka bicara: di sini rumah Allah, bersikap baiklah kepada-Nya.
Kasihan anak-anak Kampung Cilungup. Tak lagi punya lahan bermain. Tanah-tanah lapang telah disulap jadi rumah megah. Dan kontrakan-kontrakan. Juga kebun-kebun tak lagi ada. Beda ketika saya kecil. Tanah lapang, sawah, rawa, dan kebun masih banyak. Main apapun bisa: layang-layang, anggar, gambaran, kuda gedubrak, kelereng, bengkat, gentrong, galasin, senjata rahasia ninja, petak umpat, benteng, cari jejak, petasan. Pagi, siang, malam, bebas main. Tidak ada yang memarahi. Warganya baik-baik.
Banyak pohon yang bisa dipanjat di kebun: rambutan, juwet, buni, rukem, nangka, ceremai, kecapi, mangga, pepaya, petai, jengkol, kelapa. Kober (pekuburan umum) pun menyediakan pohon jambu mente untuk dipanjat. Juga banyak tempat mencari ikan: empang, rawa, sawah, selokan Kompleks IKIP, dan got Kompleks Kimia Farma.
Soal perpetasanan ada kemajuan. Tahun lalu dan sebelumnya, jamaah harus ekstra sabar. Udara pengap dan gerakan shalat supercepat bisa ditoleransi. Tapi suara petasan di samping dan depan masjid cukuplah mengganggu. Jantung tak nyaman berdetak. Belum lagi aroma petasan yang terbawa angin ke dalam masjid. Tapi beberapa hari ini, tak ada suara petasan menyusup ke telinga jamaah. Ini sebuah kemajuan.
Tapi bocah-bocah tetap bermain. Di dalam masjid. Juga di luar masjid; berlarian, beli jajanan. Mereka belajar memperlakukan masjid.
Mereka bersarung. Mereka berpeci. Mereka bocah-bocah di dalam masjid. Masjid Jami Nurul Yaqin di Kampung Cilungup I Duren Sawit Jakarta Timur. Saat kali pertama shalat tarawih, jumlah mereka hampir menyamai jamaah orang dewasa. Dua-tiga hari dan seterusnya menyusut menyamai jumlah orang dewasa hingga setengahnya.
Kadang di antara wajah-wajah lugu itu saya menemukan murid saya. Dan tadi seorang murid yang wajahnya saya lupa karena sudah lama tak bersua bertanya dengan ragu, “Bapak guru PAUD ya?” Bocah itu saya dekati lantaran kakak perempuannya akan menyuapinya sebuah jajanan. Ia menolak disuapi demi menanyakan hal itu. “Iya. Kamu....” Saya berusaha mengingat-ingat bocah berpeci dan bersarung tak sempurna itu. Sambil membelai kepalanya dan mengulas senyum.
Saya selalu ingat perkataan imam masjid setahun lalu tentang bocah-bocah. “Biar saja mereka datang. Tidak apa berisik. Dan jangan diusir!” Ia berkata seakan membela mereka dari perilaku beberapa jamaah yang tak segan-segan mengusir mereka lantaran berisik.
Saya yakin bocah-bocah datang atas inisiatif sendiri. Tanpa paksaan orangtua. Sebab, bisa jadi, ketika mereka di masjid, orangtua mereka sedang asyik-masyuk menonton televisi di rumah. Atau nongkrong di jalan. Kendati motivasinya tidak untuk shalat, melainkan bermain saja. Atau sekadar berkumpul dengan teman. Ya, mereka menjadikan masjid sebagai tempat berkumpul dan bercanda.
Biar begitu mereka tak berhak diusir. Sebab, keberadaan mereka lebih baik di masjid ketimbang di depan televisi: menonton sinetron atau melihat orang dewasa bernyanyi. Lebih baik di masjid ketimbang ikut nongkrong di jalan bersama sejumlah remaja. Lebih baik di masjid daripada main petasan. Lebih baik di masjid daripada di rental playstation.
Di masjid awalnya mereka melakukan gerakan-gerakan shalat. Takbir. I’tidal. Sujud. Teriak ‘Amin’. Mereka belajar bagaimana shalat. Melihat orang khusyuk. Memerhatikan makmum mengikuti gerakan imam. Melihat jamaah diam mendengar imam membaca surat. Mereka, secara otodidak, belajar gerakan-gerakan shalat. Sebab mungkin orangtua mereka lupa mengajarkan bagaimana gerakan shalat. Mereka datang untuk belajar. Sambil bermain. Itu yang sebenarnya.
Keberadaan bocah-bocah mengungkit kesadaran: perhatikan kami, anak-anakmu, bagaimana bersikap baik kepada Tuhan. Sebab mereka telah banyak belajar bagaimana mendustai orangtua dan melukai teman lewat televisi. Belajar bagaimana bersikap munafik dan jahat dari orang-orang dewasa di sekelilingnya. Belajar menafikan keberadaan Tuhan lewat perilaku buruk orang-orang tua.
Biarkan mereka bercanda. Gaduh. Lalu perlahan ajak mereka bicara: di sini rumah Allah, bersikap baiklah kepada-Nya.
Kasihan anak-anak Kampung Cilungup. Tak lagi punya lahan bermain. Tanah-tanah lapang telah disulap jadi rumah megah. Dan kontrakan-kontrakan. Juga kebun-kebun tak lagi ada. Beda ketika saya kecil. Tanah lapang, sawah, rawa, dan kebun masih banyak. Main apapun bisa: layang-layang, anggar, gambaran, kuda gedubrak, kelereng, bengkat, gentrong, galasin, senjata rahasia ninja, petak umpat, benteng, cari jejak, petasan. Pagi, siang, malam, bebas main. Tidak ada yang memarahi. Warganya baik-baik.
Banyak pohon yang bisa dipanjat di kebun: rambutan, juwet, buni, rukem, nangka, ceremai, kecapi, mangga, pepaya, petai, jengkol, kelapa. Kober (pekuburan umum) pun menyediakan pohon jambu mente untuk dipanjat. Juga banyak tempat mencari ikan: empang, rawa, sawah, selokan Kompleks IKIP, dan got Kompleks Kimia Farma.
Soal perpetasanan ada kemajuan. Tahun lalu dan sebelumnya, jamaah harus ekstra sabar. Udara pengap dan gerakan shalat supercepat bisa ditoleransi. Tapi suara petasan di samping dan depan masjid cukuplah mengganggu. Jantung tak nyaman berdetak. Belum lagi aroma petasan yang terbawa angin ke dalam masjid. Tapi beberapa hari ini, tak ada suara petasan menyusup ke telinga jamaah. Ini sebuah kemajuan.
Tapi bocah-bocah tetap bermain. Di dalam masjid. Juga di luar masjid; berlarian, beli jajanan. Mereka belajar memperlakukan masjid.
Billy Antoro
Cilungup, Duren Sawit, 31 Agustus 2009. 10.30 WIB.
Cilungup, Duren Sawit, 31 Agustus 2009. 10.30 WIB.
Transaksi
Allah SWT dengan segala kebesaran-Nya bertransaksi dengan manusia. Allah beri surga, manusia beri hidup dan segala kepemilikannya. Akte transaksi tercantum dalam kitab Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Plus stempel janji yang dijamin keasliannya.
Lalu turunlah manusia ke bumi. Beranak-pinak menikmati kehidupan; orangtua, saudara, keluarga, harta, perniagaan, rumah. Sebagian terpagut pada aneka keindahan itu, sebagian lagi beramal saleh.
Lalu turunlah para Nabi dan Rasul. Seru peringatan agar menyembah Tuhan Yang Esa. Tatanan baru dimunculkan, menghadapi logika kebenaran, struktur masyarakat, dan sistem ekonomi yang sudah mapan. Mereka ditentang, diteror, dicap teroris, dibunuh.
Mereka manusia biasa. Wahyu Allah membuat mereka luar biasa; tanggung jawab yang berat, beban hidup tak tertanggungkan, asa tak kian putus, keyakinan tak kian pupus. Mereka hadir karena banyak manusia lupa pada transaksi itu. Juga pada ikrar pengakuan ketuhanan sebelum lahir.
Mereka menderita. Mereka terluka. Mereka tersenyum. Mereka abadi.
Salah satu dari mereka Muhammad SAW. Selama 23 tahun ia berdakwah; meniti benang-benang tauhid pada kain rusak dan tak layak pakai. Lalu ia mengubah kain itu menjadi indah dan layak pakai.
Ia menderita. Dicap gila. Didakwa teroris. Diludahi. Dilempari batu dan kotoran hewan. Tapi ia sangat ingat pada transaksi itu. Ia tak membalas mereka. Ia mengasihi mereka. Ia menyeru mereka.
Maka kembalilah mereka, berbondong-bondong, pada pangkuan tauhid. Ingat pada transaksi. Dan harta, nyawa, serta segala yang dicintainya, rela dipasrahkannya. Cahaya Islam telah menjadikan mereka laron yang lupa pada dirinya, hanya ingat pada Sang Pencipta.
Namun, berpuluh-ratus-ribu tahun kemudian, penderitaan itu masih hadir. Terlalu banyak yang lupa pada transaksi. Kejahatan dan aib di tiap zaman Nabi diulang. Musyrik. Membunuh. Berzina. Menyalahi timbangan. Suka pada sesama jenis. Plus modifikasi dan inovasi keburukan kontemporer.
Mereka lupa pada transaski. Lupa pada sejarah. Yang ingat banyak yang diam. Sebagian stres lalu lupa ingatan dan berharap disapa Malik.
Kemudian yang terjadi kemiskinan. Kelaparan. Penderitaan. Transaksi sulit teringat di musim ini. Negara miskin penduduknya busung lapar, negara kaya penduduknya juga busung lapar. Malah ada yang mati kelaparan. Ironi, itu lagu anak jalanan, dimainkan pejabat diaminkan preman.
Islam punya zakat. Infak. Sedekah. Masih tentang transaksi. Transaksi dunia. Sesama manusia. Tapi ini turunan transaksi akhirat. Bunganya berlipat ganda. Bonusnya surga.
Soal ini penyair Taufik Ismail bikin puisi. Judulnya ‘Sajak Anak Muda Serba Sebelah’. Dibacanya itu sajak di hadapan ratusan siswa SMA. Di Kota Bukittinggi kampung halamannya. Di SMA 1 Bukittinggi 5 Agustus 2009 tepatnya. Tentang Si Toni salah satu generasi muda.
Si Toni yang dihabisi. Seluruh anggota tubuhnya sebelah dikurangi. Yang tersisa kuping, tangan, mata, ginjal, dan kaki bagian kiri.
“Toni adalah salah satu generasi muda,” kata Taufik Ismail dengan suara tegas, “anak muda yang tidak mendapat pendidikan yang layak.” Hingga naluri dan otak terkoyak. Menjadi tertawaan orang banyak.
“Si Toni banyak,” tukas Taufik Ismail. “Keluarkan zakat dan infak kalian! Berikan pada Si Toni, agar dia mendapat pendidikan yang layak seperti kalian.” Ratusan siswa terhenyak. Bangunkan api rasa yang tertidur nyenyak.
Bisalah orang curang dalam transaksi. Mengurangi takaran mengatur timbangan. Tapi timbangan Allah tak akan bisa dimanipulasi. Biarpun ia kaya harta berlimpahan.
Lalu turunlah manusia ke bumi. Beranak-pinak menikmati kehidupan; orangtua, saudara, keluarga, harta, perniagaan, rumah. Sebagian terpagut pada aneka keindahan itu, sebagian lagi beramal saleh.
Lalu turunlah para Nabi dan Rasul. Seru peringatan agar menyembah Tuhan Yang Esa. Tatanan baru dimunculkan, menghadapi logika kebenaran, struktur masyarakat, dan sistem ekonomi yang sudah mapan. Mereka ditentang, diteror, dicap teroris, dibunuh.
Mereka manusia biasa. Wahyu Allah membuat mereka luar biasa; tanggung jawab yang berat, beban hidup tak tertanggungkan, asa tak kian putus, keyakinan tak kian pupus. Mereka hadir karena banyak manusia lupa pada transaksi itu. Juga pada ikrar pengakuan ketuhanan sebelum lahir.
Mereka menderita. Mereka terluka. Mereka tersenyum. Mereka abadi.
Salah satu dari mereka Muhammad SAW. Selama 23 tahun ia berdakwah; meniti benang-benang tauhid pada kain rusak dan tak layak pakai. Lalu ia mengubah kain itu menjadi indah dan layak pakai.
Ia menderita. Dicap gila. Didakwa teroris. Diludahi. Dilempari batu dan kotoran hewan. Tapi ia sangat ingat pada transaksi itu. Ia tak membalas mereka. Ia mengasihi mereka. Ia menyeru mereka.
Maka kembalilah mereka, berbondong-bondong, pada pangkuan tauhid. Ingat pada transaksi. Dan harta, nyawa, serta segala yang dicintainya, rela dipasrahkannya. Cahaya Islam telah menjadikan mereka laron yang lupa pada dirinya, hanya ingat pada Sang Pencipta.
Namun, berpuluh-ratus-ribu tahun kemudian, penderitaan itu masih hadir. Terlalu banyak yang lupa pada transaksi. Kejahatan dan aib di tiap zaman Nabi diulang. Musyrik. Membunuh. Berzina. Menyalahi timbangan. Suka pada sesama jenis. Plus modifikasi dan inovasi keburukan kontemporer.
Mereka lupa pada transaski. Lupa pada sejarah. Yang ingat banyak yang diam. Sebagian stres lalu lupa ingatan dan berharap disapa Malik.
Kemudian yang terjadi kemiskinan. Kelaparan. Penderitaan. Transaksi sulit teringat di musim ini. Negara miskin penduduknya busung lapar, negara kaya penduduknya juga busung lapar. Malah ada yang mati kelaparan. Ironi, itu lagu anak jalanan, dimainkan pejabat diaminkan preman.
Islam punya zakat. Infak. Sedekah. Masih tentang transaksi. Transaksi dunia. Sesama manusia. Tapi ini turunan transaksi akhirat. Bunganya berlipat ganda. Bonusnya surga.
Soal ini penyair Taufik Ismail bikin puisi. Judulnya ‘Sajak Anak Muda Serba Sebelah’. Dibacanya itu sajak di hadapan ratusan siswa SMA. Di Kota Bukittinggi kampung halamannya. Di SMA 1 Bukittinggi 5 Agustus 2009 tepatnya. Tentang Si Toni salah satu generasi muda.
Si Toni yang dihabisi. Seluruh anggota tubuhnya sebelah dikurangi. Yang tersisa kuping, tangan, mata, ginjal, dan kaki bagian kiri.
“Toni adalah salah satu generasi muda,” kata Taufik Ismail dengan suara tegas, “anak muda yang tidak mendapat pendidikan yang layak.” Hingga naluri dan otak terkoyak. Menjadi tertawaan orang banyak.
“Si Toni banyak,” tukas Taufik Ismail. “Keluarkan zakat dan infak kalian! Berikan pada Si Toni, agar dia mendapat pendidikan yang layak seperti kalian.” Ratusan siswa terhenyak. Bangunkan api rasa yang tertidur nyenyak.
Bisalah orang curang dalam transaksi. Mengurangi takaran mengatur timbangan. Tapi timbangan Allah tak akan bisa dimanipulasi. Biarpun ia kaya harta berlimpahan.
Billy Antoro
Duren Sawit, 26 Agustus 2009.
Duren Sawit, 26 Agustus 2009.
Mengenang Rendra
Gelap merayap di langit Banjarmasin pada Rabu 12 Agustus 2009 ketika halaman Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan dipenuhi muda-mudi. Mereka duduk di atas karpet, menghadap panggung kecil yang membelakangi papan bertulis “Malam Renungan&Doa”. Wakil Gubernur Kalimantan Selatan Rosehan NB berada tengah-tengah mereka.
Sastrawan besar W.S. Rendra meninggal dunia pada 6 Agustus 2009. Karya, jasa, dan pengaruhnya pada seni dan budaya nusantara kembali diungkap, ditelaah, dan direnungkan dalam acara itu. Beberapa sastrawan mengungkapkan testimoni, orasi, dan pentas seni mengenai segala hal yang berkaitan dengan ‘Si Burung Merak’.
Salah satu sastrawan yang hadir adalah Putu Wijaya. Berpakaian hitam-hitam dengan topi putih khasnya, Putu Wijaya bercerita tentang pengalamannya berinteraksi dengan W.S. Rendra.
Itu dimulai ketika ia mengagumi puisi-pusi Rendra saat duduk di bangku SMA. Kali pertama ia bertemu Rendra di Denpasar pada 1964. Dan ia merasa puisi-puisinya dipengaruhi oleh Rendra.
Putu Wijaya juga bercerita tentang keterlibatannya di Bengkel Teater, grup teater bentukan Rendra, dan berbagai pementasan yang kebanyakan bertema kritik sosial dan budaya. Secara singkat Putu Wijaya menyampaikan beberapa ‘ajaran’ Rendra.
“Rendra mengajak kita mempertimbangkan tradisi.” Ia, kata Putu Wijaya, mengajak kita melihat esensi tradisi tiap daerah. Di Indonesia ada ribuan tradisi. Buang yang palsu, ambil yang bagus lalu analisis dan reposisi.
Kedua, Rendra mengajarkan kegagahan di dalam kemiskinan. “Orang miskin harus gagah, menjaga harga diri.” Harga diri harus dijaga, tidak boleh dibiarkan diinjak-injak orang lain lantaran tersandera kemiskinan.
“Dia orang yang mengajarkan kita agar berani melawan. Rendra bahkan berani melawan setan!”
Pernah suatu hari Rendra bersama teman-temannya, termasuk Putu Wijaya, bertandang ke Taman Ismail Marzuki (TIM)—taman budaya yang didirikan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. TIM bekas kebun binatang dan angker. Saat itu beberapa orang berteriak-teriak, kesurupan. Banyak yang gentar termasuk Putu wijaya. Kemudian Rendra dengan suara lantang berseru, “Siapa yang mengganggu teman-teman saya, keluar! Hadapi saya!”
Keempat, Rendra mengajak kita agar tidak mudah menyerah. Keinginan harus gigih diperjuangkan.
Putu Wijaya ingat Rendra pernah berkata soal kebaruan. Memang, katanya, tidak ada yang baru. Tapi kalau kita memiliki posisi tertentu, maka kita akan lihat hal baru. “Rendra sangat lihai, pintar melihat sesuatu dari sudut pandang yang lain.”
Putu Wijaya berharap agar Rendra jangan hanya dikenang, dijadikan dongeng dalam memori orang-orang. Ia harus dikenalkan pada orang-orang, terutama generasi muda, yang belum mengenal Rendra. Jadikan Rendra sebagai ilmu pengetahuan.
Bagi Putu Wijaya, Rendra sangat komplit. “Bagi saya dia seorang guru, teman, sekaligus musuh.” Rendra senang berbagi ilmu dan pengalaman kepada teman-temannya. Ia juga enak diajak bicara. Kadang hal-hal kecil dibahasnya dengan nada guyon. Kalau ingin berhasil, “Dia orang yang harus saya langkahi.” Dan tidak ada orang yang bisa menggantikan dirinya.
Soal guru-murid, Putu Wijaya masih ingat Rendra pernah berkata, “Murid berhasil kalau berani menaiki kepala gurunya.” Artinya, seorang murid harus bisa melampaui kemampuan gurunya dan berani berbeda jika itu dianggapnya benar.
Sebelum ditutup dengan acara renungan dan doa, sastrawan Kalimantan Selatan Micky Hidayat membacakan maklumat. “Maklumat seniman-sastrawan-budayawan Kalimantan Selatan, agar W.S. Rendra diangkat sebagai Pahlawan Kebudayaan Indonesia.” Maklumat akan dikirim kepada Presiden, DPR, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Menteri Pendidikan Nasional, Dewan Kesenian Jakarta, dan berbagai instansi lain.
Pukul 23.30 acara usai. Gelap merayap di langit Banjarmasin, memberi kesadaran bagi hadirin Taman Budaya bahwa perjuangan W.S. Rendra harus terus dilanjutkan!
Sastrawan besar W.S. Rendra meninggal dunia pada 6 Agustus 2009. Karya, jasa, dan pengaruhnya pada seni dan budaya nusantara kembali diungkap, ditelaah, dan direnungkan dalam acara itu. Beberapa sastrawan mengungkapkan testimoni, orasi, dan pentas seni mengenai segala hal yang berkaitan dengan ‘Si Burung Merak’.
Salah satu sastrawan yang hadir adalah Putu Wijaya. Berpakaian hitam-hitam dengan topi putih khasnya, Putu Wijaya bercerita tentang pengalamannya berinteraksi dengan W.S. Rendra.
Itu dimulai ketika ia mengagumi puisi-pusi Rendra saat duduk di bangku SMA. Kali pertama ia bertemu Rendra di Denpasar pada 1964. Dan ia merasa puisi-puisinya dipengaruhi oleh Rendra.
Putu Wijaya juga bercerita tentang keterlibatannya di Bengkel Teater, grup teater bentukan Rendra, dan berbagai pementasan yang kebanyakan bertema kritik sosial dan budaya. Secara singkat Putu Wijaya menyampaikan beberapa ‘ajaran’ Rendra.
“Rendra mengajak kita mempertimbangkan tradisi.” Ia, kata Putu Wijaya, mengajak kita melihat esensi tradisi tiap daerah. Di Indonesia ada ribuan tradisi. Buang yang palsu, ambil yang bagus lalu analisis dan reposisi.
Kedua, Rendra mengajarkan kegagahan di dalam kemiskinan. “Orang miskin harus gagah, menjaga harga diri.” Harga diri harus dijaga, tidak boleh dibiarkan diinjak-injak orang lain lantaran tersandera kemiskinan.
“Dia orang yang mengajarkan kita agar berani melawan. Rendra bahkan berani melawan setan!”
Pernah suatu hari Rendra bersama teman-temannya, termasuk Putu Wijaya, bertandang ke Taman Ismail Marzuki (TIM)—taman budaya yang didirikan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. TIM bekas kebun binatang dan angker. Saat itu beberapa orang berteriak-teriak, kesurupan. Banyak yang gentar termasuk Putu wijaya. Kemudian Rendra dengan suara lantang berseru, “Siapa yang mengganggu teman-teman saya, keluar! Hadapi saya!”
Keempat, Rendra mengajak kita agar tidak mudah menyerah. Keinginan harus gigih diperjuangkan.
Putu Wijaya ingat Rendra pernah berkata soal kebaruan. Memang, katanya, tidak ada yang baru. Tapi kalau kita memiliki posisi tertentu, maka kita akan lihat hal baru. “Rendra sangat lihai, pintar melihat sesuatu dari sudut pandang yang lain.”
Putu Wijaya berharap agar Rendra jangan hanya dikenang, dijadikan dongeng dalam memori orang-orang. Ia harus dikenalkan pada orang-orang, terutama generasi muda, yang belum mengenal Rendra. Jadikan Rendra sebagai ilmu pengetahuan.
Bagi Putu Wijaya, Rendra sangat komplit. “Bagi saya dia seorang guru, teman, sekaligus musuh.” Rendra senang berbagi ilmu dan pengalaman kepada teman-temannya. Ia juga enak diajak bicara. Kadang hal-hal kecil dibahasnya dengan nada guyon. Kalau ingin berhasil, “Dia orang yang harus saya langkahi.” Dan tidak ada orang yang bisa menggantikan dirinya.
Soal guru-murid, Putu Wijaya masih ingat Rendra pernah berkata, “Murid berhasil kalau berani menaiki kepala gurunya.” Artinya, seorang murid harus bisa melampaui kemampuan gurunya dan berani berbeda jika itu dianggapnya benar.
Sebelum ditutup dengan acara renungan dan doa, sastrawan Kalimantan Selatan Micky Hidayat membacakan maklumat. “Maklumat seniman-sastrawan-budayawan Kalimantan Selatan, agar W.S. Rendra diangkat sebagai Pahlawan Kebudayaan Indonesia.” Maklumat akan dikirim kepada Presiden, DPR, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Menteri Pendidikan Nasional, Dewan Kesenian Jakarta, dan berbagai instansi lain.
Pukul 23.30 acara usai. Gelap merayap di langit Banjarmasin, memberi kesadaran bagi hadirin Taman Budaya bahwa perjuangan W.S. Rendra harus terus dilanjutkan!
14 Agustus 2009
Mbah Surip, Sang Penghibur Sejati
Kaget sekali saya saat mendengar berita meninggalnya Mbah Surip pada Selasa silam, 4 Agustus 2009. Saya seperti tidak memercayai berita infotainment sore itu. Mbah Surip, sang penyanyi sederhana itu, tutup usia ketika sedang naik daun.
Saya, yang hingga kini berada di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, tiba-tiba merasa kehilangan. Bagi saya, Mbah Surip merupakan seorang penghibur sejati. Ia hadir dalam kepolosan dan tiada dalam kepolosan pula.
Sebenarnya saya tidak begitu mengenal Mbah Surip—toh dia pun pasti tidak mengenal saya karena kami tidak pernah berinteraksi langsung. Saya mulai menikmati lantunan lagu-lagu riangnya sekitar tujuh tahun lalu saat masih kuliah di Universitas Negeri Jakarta. Mbak Surip sering tampil menghibur hadirin Kenduri Cinta yang digawangi budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun).
Kenduri Cinta yang digelar rutin sejak 1998 hingga kini tiap Jumat kedua saban bulan di parkiran Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, seperti kekurangan ruh jika Mbah Surip tak memperdengarkan suara berat khasnya. Jika acara diskusi terasa mendekati titik jenuh, Cak Nun atau pembawa acara lain selalu meminta Mbah Surip melantunkan lagu-lagu segarnya, seperti Tak Gendong dan Bangun Tidur Lagi.
Pastilah, saat Mbah Surip mentas, hadirin yang semula duduk-duduk di pinggir jalan atau menggerombol dekat pedagang kaki lima, mendekati area acara. Mbah Surip seperti magnet yang menarik orang-orang agar mendekati dan menikmati sajian hiburannya. Tak pernah kehadirannya tidak mengundang tawa hadirin. Ia hadir semua tertawa.
Hadirin tertawa, bukan menertawakan. Andaipun menertawakan, mereka menertawakan diri sendiri. Mbah Surip mengajak orang-orang menertawakan dirinya sendiri; mereka yang mengaku beriman, terbaik, terpandai. Dan selalu saja Mbah Surip selalu dalam keadaan tertawa—mulutnya terbuka lebar. Entah dia sedang menertawakan orang-orang yang tertawa atau menertawainya, atau ia sedang menertawakan dirinya sendiri. Tak ada yang tahu pasti.
Namun Cak Nun selalu mengajak orang-orang menertawakan dirinya sendiri. Orang-orang yang selalu mengeluh dalam kefakiran, orang-orang yang merasa dirinya hebat setelah menolong orang lain, orang-orang yang merasa dirinya berhak atas penghormatan saat memegang jabatan. Ia seperti ingin mengajak hadirin memaknai Mbak Surip yang tampil nyentrik ala Jamaika namun selalu terkesan sederhana.
Pernah, suatu kali, Cak Nun memberi pemaknaan filosofis terhadap lirik lagu Tak Gendong Kemana-mana. Ternyata, pemaknaan tersebut begitu mendalam yang barangkali tidak disadari hadirin sebelumnya. Bagaimana seorang pemimpin memosisikan dirinya sebagai seorang ‘penggendong’, pengayom bagi orang-orang yang memberinya kekuasaan. Ya, seorang pemimpin adalah penuntun, pemangku, penggendong. Tidak boleh semena-mena.
Menggendong artinya melayani dengan sepenuh hati, seperti seorang ibu menggendong bayinya. Ia menjaga bayinya agar tetap nyaman dalam pelukannya. Menimang-nimangnya dengan sepenuh hati agar kelak sang bayi tumbuh besar menjadi seorang pemimpin. Ia menjauhkan bayi dari terik mentari, gigitan nyamuk, dan dinginnya udara. Ia bersedia mempertaruhkan nyawanya demi keselamatan bayi. Dan ia merasa berdosa jika tiba-tiba bayinya menangis lantaran terganggu.
Mbah Surip pergi ketika perhatian orang-orang tertuju padanya. Dulu dia diremehkan, dipandang sebelah mata. Namun, saat ia mendapatkan perhatian publik, ia tetap sederhana. Popularitas tak mampu membuat prinsip hidup dan kesederhanaannya luntur. Seakan ia ingin menertawakan orang-orang yang menyangka dia akan berubah setelah menjadi musisi terkenal.
Mbah Surip, lewat Ring Back Tone telepon seluler dan video klip, menghibur banyak orang. Royalti tak pernah ia kecap. Ia belum bisa menikmati kerja kerasnya.
Itulah kenapa saya mengatakannya seorang penghibur sejati. Ia tak membutuhkan tepuk tangan, penghargaan materi, dan perhatian orang-orang. Ia hanya ingin memberi seluruh hidupnya untuk menghibur orang lain. Namun, di balik hiburan itu, ia mengajak orang-orang untuk merenung dan akhirnya menertawakan dirinya sendiri karena banyak orang lupa diri.
Saya, yang hingga kini berada di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, tiba-tiba merasa kehilangan. Bagi saya, Mbah Surip merupakan seorang penghibur sejati. Ia hadir dalam kepolosan dan tiada dalam kepolosan pula.
Sebenarnya saya tidak begitu mengenal Mbah Surip—toh dia pun pasti tidak mengenal saya karena kami tidak pernah berinteraksi langsung. Saya mulai menikmati lantunan lagu-lagu riangnya sekitar tujuh tahun lalu saat masih kuliah di Universitas Negeri Jakarta. Mbak Surip sering tampil menghibur hadirin Kenduri Cinta yang digawangi budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun).
Kenduri Cinta yang digelar rutin sejak 1998 hingga kini tiap Jumat kedua saban bulan di parkiran Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, seperti kekurangan ruh jika Mbah Surip tak memperdengarkan suara berat khasnya. Jika acara diskusi terasa mendekati titik jenuh, Cak Nun atau pembawa acara lain selalu meminta Mbah Surip melantunkan lagu-lagu segarnya, seperti Tak Gendong dan Bangun Tidur Lagi.
Pastilah, saat Mbah Surip mentas, hadirin yang semula duduk-duduk di pinggir jalan atau menggerombol dekat pedagang kaki lima, mendekati area acara. Mbah Surip seperti magnet yang menarik orang-orang agar mendekati dan menikmati sajian hiburannya. Tak pernah kehadirannya tidak mengundang tawa hadirin. Ia hadir semua tertawa.
Hadirin tertawa, bukan menertawakan. Andaipun menertawakan, mereka menertawakan diri sendiri. Mbah Surip mengajak orang-orang menertawakan dirinya sendiri; mereka yang mengaku beriman, terbaik, terpandai. Dan selalu saja Mbah Surip selalu dalam keadaan tertawa—mulutnya terbuka lebar. Entah dia sedang menertawakan orang-orang yang tertawa atau menertawainya, atau ia sedang menertawakan dirinya sendiri. Tak ada yang tahu pasti.
Namun Cak Nun selalu mengajak orang-orang menertawakan dirinya sendiri. Orang-orang yang selalu mengeluh dalam kefakiran, orang-orang yang merasa dirinya hebat setelah menolong orang lain, orang-orang yang merasa dirinya berhak atas penghormatan saat memegang jabatan. Ia seperti ingin mengajak hadirin memaknai Mbak Surip yang tampil nyentrik ala Jamaika namun selalu terkesan sederhana.
Pernah, suatu kali, Cak Nun memberi pemaknaan filosofis terhadap lirik lagu Tak Gendong Kemana-mana. Ternyata, pemaknaan tersebut begitu mendalam yang barangkali tidak disadari hadirin sebelumnya. Bagaimana seorang pemimpin memosisikan dirinya sebagai seorang ‘penggendong’, pengayom bagi orang-orang yang memberinya kekuasaan. Ya, seorang pemimpin adalah penuntun, pemangku, penggendong. Tidak boleh semena-mena.
Menggendong artinya melayani dengan sepenuh hati, seperti seorang ibu menggendong bayinya. Ia menjaga bayinya agar tetap nyaman dalam pelukannya. Menimang-nimangnya dengan sepenuh hati agar kelak sang bayi tumbuh besar menjadi seorang pemimpin. Ia menjauhkan bayi dari terik mentari, gigitan nyamuk, dan dinginnya udara. Ia bersedia mempertaruhkan nyawanya demi keselamatan bayi. Dan ia merasa berdosa jika tiba-tiba bayinya menangis lantaran terganggu.
Mbah Surip pergi ketika perhatian orang-orang tertuju padanya. Dulu dia diremehkan, dipandang sebelah mata. Namun, saat ia mendapatkan perhatian publik, ia tetap sederhana. Popularitas tak mampu membuat prinsip hidup dan kesederhanaannya luntur. Seakan ia ingin menertawakan orang-orang yang menyangka dia akan berubah setelah menjadi musisi terkenal.
Mbah Surip, lewat Ring Back Tone telepon seluler dan video klip, menghibur banyak orang. Royalti tak pernah ia kecap. Ia belum bisa menikmati kerja kerasnya.
Itulah kenapa saya mengatakannya seorang penghibur sejati. Ia tak membutuhkan tepuk tangan, penghargaan materi, dan perhatian orang-orang. Ia hanya ingin memberi seluruh hidupnya untuk menghibur orang lain. Namun, di balik hiburan itu, ia mengajak orang-orang untuk merenung dan akhirnya menertawakan dirinya sendiri karena banyak orang lupa diri.
Kamis, 6 Agustus 2009, pukul 01.10 WIB.
Di tengah Kota Bukit Tinggi yang gelap karena listrik mati.
Di tengah Kota Bukit Tinggi yang gelap karena listrik mati.
Merawat Memori
Di satu sore menjelang maghrib Nuri mendatangi Bul-Bul lalu berkata, “Duhai Bul-Bul, akankah kau berikan aku waktu satu menit saja untuk bercengkrama dengan mawarmu?”
Bul-Bul menatap Nuri, berusaha menyelidiki sikapnya. “Aku yakin engkau sedang mengalihkan masalahmu, temanku. Sudahlah, aku tahu engkau baru saja melewati satu masa yang membuatmu sedikit bersedih. Dan, kau tahu, aku tak mungkin meninggalkan mawar-mawar ini.”
“Kalau kau tahu aku baru saja mengalaminya, kenapa tidak kau beri aku kesenangan? Bukankah kau menganggapku teman?”
“Aku rela saja memberikannya, tapi itu justru malah menyiksamu, kawan. Sudahlah, nikmati saja hidup ini. Seperti roda, nasib selalu berganti suasana. Mawarku ini pun tak menjamin membuatmu tenang setelah menyesap aromanya.”
Nuri mendongak menatap awan. “Andai kau izinkan, aku ingin menyesap wangi mawar sambil menatap langit biru itu.”
“Tidak, tidak,” sergah Bul-Bul, “aku khawatir itu malah akan membuatmu mabuk.”
“Aku sudah lama mabuk, kawan. Lihatlah kebun anggur di sebelah sana. Aku sama sekali tak tertarik mengambilnya karena anggur yang selama ini ku teguk tak mungkin dikalahkan oleh khasiat anggur-anggur lain.”
“Kau tidak sedang bergurau, kan, kawan? Ah, mungkin kau sedang putus asa! Tapi biarpun kau tawarkan anggur sejuta rasa mabuk milikmu, tak akan memalingkanku dari mawar ini.”
”Terserah kamulah, kawan.” Nuri merasa usahanya sia-sia. ”Aku sudah bertanya pada rajawali tentang masalahku ini. Katanya, kalau mau keluar dari masalah, maka aku harus melintasi padang pasir yang luas.”
”Kau memercayainya?” Suara Bul-Bul terdengar menyelidik. ”Di sana hanya pasir dan unta yang akan kau temui. Oase mana yang akan melepas dahagamu?”
”Oh Bul-Bul, haruskah aku menceritakanmu tentang kisah Nabi Ibrahim yang tak pernah putus asa di negeri padang pasir?”
”Sudahlah, dulu ibuku sering menceritakannya. Dari kisahnya aku hanya tertarik pada cara manusia mulia itu berpikir tentang bintang, bulan, dan matahari.”
”Ya, ya, itulah yang barangkali ingin rajawali inginkan dariku. Ia ingin aku mengikuti cara Bapak Para Nabi itu mengenal Pencipta Alam. Ya Tuhan, aku baru menyadarinya!”
“Kau yakin dengan mengikuti sarannya hatimu akan tenang?”
”Apa aku tadi berkata hatiku sedang tidak tenang?” Nuri menghela napas perlahan. ”Sudahlah, itu tidak penting!”
”Kau memang tidak mengatakannya, tapi sikapmu yang berkata demikian. Sumber dari segala kegundahan dan masalah adalah hati yang kotor. Kalau hatimu kotor, percayalah semua makanan haram akan kau pandang halal.”
”Apa kau sedang menceramahiku, Bul-Bul?” Nuri merasa tidak senang.
”Ha..ha..ha...” Bul-Bul tertawa hingga tubuhnya berguncang. ”Bahkan sekarang kau sedang memberitahuku tentang kekalutan hatimu, kawan!”
”Jangan permainkan aku, Bul-Bul! Aku bisa saja merampas mawar itu darimu dengan mudah. Tapi aku, kau tahu, tidak akan melakukannya.”
”Sekarang kau menganggap dirimu berhati baik. Oh Nuri, sudahlah, tenangkan dirimu. Sekarang senyumlah, karena sebentar lagi masalahmu akan pergi.”
”Bagaimana kau tahu masalahku akan segera pergi?”
”Hah? Kau bertanya padaku soal itu? Kau sudah tahu jawabannya, Nuri! Begini saja. Mari kita duduk di dahan ini sambil menikmati udara sore yang dingin. Lalu, kalau langit biru itu tak bisa mengantarkanmu melupakan masalah, kuberikan mawar ini agar bisa menghapus memori yang menyesakkan pikiranmu.”
”Aku tak bermaksud menghapus memori itu, Bul-Bul. Tidak! Bahkah aku tak mengizinkan mawarmu menyentuh memoriku tentangnya. Biarlah ia berlabuh di sebagian isi otakku. Mungkin, suatu saat, aku akan kembali menyapanya jika sikapnya berubah.”
“Kau yakin, saudaraku?”
“Kenapa lagi-lagi kau utarakan pertanyaan seperti itu? Aku berjalan sesuai keyakinanku sebagaimana kau yakini mawar adalah belahan jiwamu. Tapi, soal ide duduk bersama menikmati udara dingin dan memandangi langit sore, aku setuju. Sudah lama kita tak membicarakan hal-hal kecil namun sangat penting bagi hidup kita.” Nuri meloncat-loncat di atas dahan pohon pinang. ”Kau mau menemaniku, Bul-Bul?”
Bul-Bul mengulas senyum pada Nuri. “Kau teman baikku, Nuri. Jika itu membuatmu bahagia, aku akan senang melakukannya. Aku tak akan meminta apa-apa darimu kecuali perhatian seorang teman. Dan, hari ini, aku akan memberikannya padamu.”
Bogor, 2 Agustus 2009. 00.37 WIB
Langganan:
Postingan (Atom)